26/06/11

Lemah-lembut dan Amanah dalam Memimpin

عَنْ عَائِشَةَ - رضي الله عنها- قَالَتْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا : ))اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ )) رواه مسلم .

Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di rumahku ini: .”Ya Allah…barangsiapa menjadi wali/ berkuasa atas suatu urusan umatku lalu ia mempersulit mereka maka persulitlah ia, dan barangsiapa yang memegang urusan umatku lalu ia lemah-lembut kepada mereka maka lemah lembutlah kepadanya." HR Muslim. 

Hadits yang mulia ini mengandung faedah yang besar dan agung, diantaranya: 

1.    Hadits ini adalah peringatan keras kepada orang-orang yang memiliki wewenang dan kekuasan lalu mempersulit urusan manusia. Mafhum dari hadits: sangat dianjurkan untuk berbuat lembut kepada yang dipimpin. 
2.    Para ulama berkata: Pemimpin itu adalah seorang yang mengayomi, amanah, senantiasa memperbaiki apa-apa yang dibawah  tanggung jawab dan pengawasannya.  
3.    Wajib atas pemimpin untuk:

·         Berbuat adil dan menegakkan kemashlahatan diin serta dunia setiap orang yang ada di bawah pengawasannya.
·         memudahkan urusan orang-orang yang dipimpinnya.
·         bermuamalah dengan lemah-lembut, memaafkan, mengutamakan peringanan dalam memenuhi hak yang dipimpin, agar mereka tidak mendapatkan kesulitan.
·         berbuat kepada yang dipimpin seperti apa yang ia ingin Allah berbuat kepadanya.
4.    Kepemimpinan yang dimaksud dalam hadits bersifat umum, baik penguasa wilayah/ bangsa atau seperti dalam rumah tangga, madrasah, dll
5.    Doa dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atas orang-orang yang berbuat kesulitan kepada umatnya, mencakup kesulitan di dunia dan akhirat.

((Rujukan: Syarhul Muslim An-Nawawy, Syarh Ryadhish Shalihin Al-Utsaimin, Syarh Zaadil Mustaqni’ Asy-Syinqithy, Subulus Salam Ash-Shan’any )




Kaya Jiwa

عن أَبي هريرة - رضي الله عنه - ، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( لَيْسَ الغِنَى عَن كَثرَةِ العَرَض ، وَلكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

Hadits yang mulia ini mengandung faedah-faedah besar diantaranya:

1.       Hadits ini memiliki dua sisi penafsiran:

Pertama: Hakekat kaya bukanlah banyaknya perhiasan dunia yang dimiliki. Sebab, banyak manusia yang Allah berikan keluasan harta namun mereka fakir jiwanya . Ia tidak merasa cukup dengan yang telah ia peroleh sehingga berusaha keras mencari-cari tambahan dan tidak perduli dari mana datangnya. Jiwa yang tamak  ini  menjadikannya seperti seorang yang fakir (butuh) kepada harta.
Adapun seseorang yang merasa terpenuhi dan cukup dengan sesuatu yang sedikit, tidak bersemangat dan memaksa untuk mencari tambahan, seakan-akan ia kaya dan berkecukupan. 

Sisi kedua: Kekayaan itu adalah jiwa yang merasa cukup; baik  yang disifati kaya itu memiliki harta yang banyak atau tidak. Kekayaan jiwa adalah ridha kepada ketentuan Allah dan berserah diri pada perintah-Nya. Seorang hamba memahami apa yang di sisi Allah lebih baik untuk orang yang shalih. Dan di dalam segala ketentuan-Nya ada sesuatu yang lebih baik  bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

2.       Kebaikan harta bukan pada zatnya namun dilihat dari penggunaannya. Seseorang yang memiliki harta banyak tidak dikatakan kaya sampai dilihat apa yang ia lakukan dengan hartanya.

Jika ia  memiliki jiwa yang kaya, maka ia akan terus mengggunakan hartanya dalam hal-hal kebaikan dan mendekatkan diri pada Allah dengan bersedekah yang wajib dan mustahab.
Jika dalam dirinya ada kefakiran, dia akan menahan dan mencegah hartanya bahkan tidak mengeluarkan untuk hal-hal yang wajib baginya, karena ia merasa takut kehilangan hartanya.

Jiwa yang seperti ini, hakekatnya, jiwa yang fakir lahir-batin. Sebab, harta yang ada di tangannya itu tidak bermanfaat, tidak di dunia dan dan tidak pula di akhirat bahkan bisa jadi membahayakannya di hari kiamat nantinya. wal'iyadzubillah.

3.       Jika seseorang tidak membawa jiwanya pada kekayaan (rasa cukup), maka jiwa tersebut akan menuntutnya lebih dari kebutuhannya. 

4.       Hadits ini terkandung anjuran untuk qana'ah (merasa cukup atas apapun pemberian Allah). Barangsiapa yang merasa cukup dengan bagian dirinya dan tidak tamak kepada apa yang ada di tangan (dimiliki) orang lain, ia tidak butuh dan tidak tergantung pada mereka. 

5.       Kekayaan jiwa adalah kekayaan yang dicintai oleh Allah, maka hiasilah jiwamu dengannya. 

6.       Kekayaan dan kefakiran adalah ujian dari Allah. Barangsiapa yang bersyukur dalam kekayaan dengan menggunakannya dalam ketaatan dan bersabar dalam kefakiran dengan merasa cukup atas apa yang ia dapatkan, maka ia telah beruntung dan kaya di dunia dan akhirat. 

7.       Mana yang lebih afdhal: Orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar?

Jawab: Berkata Syaikhul Islam: "Yang paling afdhal dari keduanya adalah yang paling bertakwa. Lalu jika keduanya seimbang dalam ketakwaan maka sama derajatnya." 

8.       Yang kaya secara dzatnya hanyalah Allah Yang Maha Kaya yang Maha  tidak butuh kepada sesuatu bahkan segala sesuatu butuh kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ ﴿١٥﴾

Hai manusia, kamulah yang berkehendak (butuh) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Q.S. Faathir: 15.

9.       Kekayaan yang sempurna hanya milik Allah Ta'ala, siapapun yang ingin meraih kekayaan yang sempurna, tidak akan pernah mencapainya. Dan tidak ada satu kenikmatan pun kecuali itu datang dari Allah semata, maka bersyukurlah dengan menggunakan nikmat itu di jalan kebaikan. Wallahu a’lam bishshawab.

 (( Rujukan : Syarhul Bukhori Ibnu Baththal,  Tuhfatul Ahwadzy,  Syarh Bulughul Maram Syaikh 'Athiyah Muhammad Salim, Syarhun Nawawi 'ala Muslim, Faidhul Qadir Al-Munawy, Subulussalam, Ighatsatul Lahfan Ibnul Qayyim, I'lamul Muwaqi'in Ibnul Qayyim,Badai'ul Fawaid .))

Dunia : Penjara Mukmin, Surga Orang Kafir

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ » رواه مسلم

Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- dia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir)) H.R. Muslim.
Faedah-faedah dari  hadits yang mulia ini diantaranya:

1.       Hadits ini memiliki dua tafsiran:

v  Dimisalkan dunia seperti penjara bagi mukmin yaitu seorang mukmin, keimanannya mengikat dirinya dari hal-hal yang terlarang adapun orang kafir berbuat apa saja yang ia kehendaki.

v  Makna kedua: seorang mukmin walaupun ia orang yang paling nikmat hidupnya di dunia jika dibandingkan apa yang Allah janjikan baginya di surga, maka dunia itu seperti penjara. Dan orang kafir kebalikannya. Sesungguhnya ia walaupun ketika di dunia adalah orang yang paling sengsara, itu jika dibandingkan dengan siksa neraka maka dunia itu surga baginya.
2.       Dunia menjadi penjara bagi orang mukmin yang meninggalkan kelezatan dunia dan syahwatnya. Adapun yang tidak meninggalkan kelezatan syahwat yang diharamkan dan bersenang-senang dengannya maka dunia itu penjara apa baginya? 
3.       Dunia menjadi penjara mukmin itu bertingkat-tingkat sesuai dengan keadaan seseorang dalam menjalani kewajiban-kewajiban dan meninggalkan keharaman-keharaman di dalamnya. 
4.       Hikmah dari hadits ini: agar seorang mukmin tidak condong kepada jalan orang-orang kafir yang bebas lepas dalam menjalani kehidupan dunia sehingga tidak ada halal-haram bagi mereka.  
5.       Dunia hakekatnya adalah negeri ujian bagi orang-orang mukmin. Orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, merekalah yang memahami hakekat dunia dan hakekat keberadaannya di dunia.
6.       Jika telah jelas bagi seorang mukmin bahwa dunia adalah negeri cobaan maka hendaknya seorang mukmin bersabar atas hukum Allah dan ridha terhadap takdir dan ketentuan-Nya.
7.       Wajib atas seorang mukmin untuk menjadikan kehidupannya di dunia seperti orang yang di penjara yang penuh dengan peraturan dan batasan-batasan yaitu syariat-syariat Allah.
8.       Adanya anjuran bagi seorang mukmin untuk berpaling dari kecintaan kepada dunia dan untuk tidak tenggelam dalam gemerlap dunia. Dan terkandung di dalamnya anjuran untuk merindukan akhirat.
9.       Seorang kafir hanya mendapat kebaikan di kehidupan dunia.
(Lihat: Syarh Muslim An-Nawawiy, Badai'ul Fawaid Ibnul Qayyim, Jami'ul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab, Qa'idah fil Mahabbah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mirqatul Mafatih Mula Ali Al-Qariy, Bahjatun Nazhirin Al-Hilaly)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes