26/03/12

Hati yang Khusyuk (tunduk) Mengingat Allah

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴿١٦﴾
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk (tunduk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.  Q.S. Al-Hadiid: 16.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata dalam tafsirnya:
“Yaitu: belumkah datang waktu yang dengannya hati-hati mereka melembut dan khusyuk (tunduk) mengingat Allah, yang itu berupa Al-Qur’an dan mematuhi perintah-perintah serta larangan-larangan-Nya. Dan juga (ketundukan) kepada kebenaran yang telah dibawa Nabi Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam .
Dan ini terkandung di dalamnya:
-          Anjuran untuk bersungguh-sungguh diatas ketundukan hati kepada Allah dan apa yang Dia turunkan dari Al-Qur’an dan al-hikmah(sunnah).
-          Agar orang-orang yang beriman mengingat nasehat-nasehat ilahi dan hukum-hukum syar’i di setiap waktu.
-          Dan untuk mereka intropeksi (menilai) diri mereka  di atasnya.

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka,
Yaitu: Janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka yang mengharuskan ketundukan hati dan kepatuhan yang sempurna. Lalu, mereka tidak konsisten dan tidak kokoh di atasnya.
Bahkan, berlalu zaman yang panjang dan kelalaian terus-menerus bersama mereka, sehingga sirna keimanan mereka dan musnah keyakinan mereka.
فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
Lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Maka, hati-hati itu butuh untuk setiap saat diingatkan kepada apa yang Allah turunkan (dari kebenaran) dan (untuk hati itu) berbicara tentang hikmah. Dan tidak pantas untuk lalai darinya karena itu adalah sebab mengerasnya hati dan pandangan yang jumud(kaku).
(Taisirul Kariimir Rahman, As-Sa’di, hal. 999 – 1000)

25/03/12

Lima Sifat Orang Jahil

Asy-syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad as-Salman -  semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Lima perilaku yang dengannya seseorang diketahui kejahilannya:
1.       Marah dalam sesuatu perkara yang tidak ada apa-apa padanya.
2.       Percaya kepada setiap orang.
3.       Berbicara dalam  sesuatu hal yang tidak bermanfaat.
4.       Memberi nasehat yang tidak sesuai keadaan.
5.       Tidak mengenal siapa yang musuh atau temannya.”
(Iyqazhu Ulil himamil ‘Aliyah ilaa Ightinaamil Ayyaamil Khaliyyah, Syaikh Abdul ‘Aziz As-Salam, hal. 127.)

Obat dari Waswas

Saya seorang pemuda yang sering merasakan waswas dari syaithan. Apa yang harus saya lakukan untuk mengusirnya?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Waswas syaithan itu diusir dengan beristi’adzah(memohon perlindungan) kepada Allah dari syaithan dan tidak berpaling kepada rasa waswasnya.
Dan waswas itu tidak akan memudharatkan seseorang, selama ia tidak mengucapkannya. Sehingga, wajib atas muslim untuk menjauhi dan meninggalkannya serta tidak berpaling kepadanya. Dan ia memohon perlindungan (isti’adzah)kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk.”
Dan dalam pertanyaan lain:
Saya seorang pemudi berusia dua puluh tahun, seorang mukmin walillahil hamd. Permasalahan waswas dan mendekati kegilaan telah melelahkan saya dari penyakit jiwa yang telah berlangsung selama tiga atau empat tahun ini. Sedangkan saya tidak berhasil untuk menepisnya. Saya ingin bertanya:
Apakah Allah menguasakan syaithan yang terkutuk ini atas hamba-hamba-Nya sebagai ujian bagi mereka atau bagaimana? Bagi yang tidak mampu mengusirnya, apa yang harus ia lakukan? Kami memohon nasehat.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Hakekatnya, waswas itu adalah penyakit berbahaya, ia termasuk tipu daya syaithan kepada bani Adam. Ia (syaithan) menghendaki untuk menyempitkan, menyesatkan, dan menyibukkan manusia dari melakukan ketaatan kepada Rabb mereka.
Oleh karena ini, Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam – untuk memohon perlindungan dari perasaan waswas ini. Dan Dia telah menurunkan satu surat lengkap dalam masalah itu.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾
001. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
002. Raja manusia.
003. Sembahan manusia.
004. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
005. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
006. dari (golongan) jin dan manusia. Q.S. An-Naas: 1 – 6.
Sehingga, syaithan itu memberikan rasa waswas kepada bani Adam dan terlebih kepada orang-orang mukmin. Namun, itu bisa diobati dengan dua hal:
1.       Seorang mukmin tidak berpaling kepada perasaan waswas ini, bahkan berpaling darinya dengan sebenar-benarnya. Sebab, itu dari syaithan dan tidak memudharatkannya.
2.       Ia menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Karena, apabila seorang mukmin sibuk berdzikir kepada Allah, syaithan pasti menjauh darinya. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman tentangnya(syaithan):
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾
004.(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
Yaitu: ia memberi waswas kepada hamba Allah ketika lalai dari berdzikir kepada Allah. Dan ia bersembunyi – yaitu menjauh – darinya, sewaktu hamba itu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karenanya, Dia menyifatinya dengan waswas(bisikan) yang bersembunyi.
Dan yang saya nasehatkan kepada penanya dan yang semisalnya, untuk ia mengamalkan dua perilaku berikut ini:
Pertama: tidak berpaling kepada waswas ini, dan tidak memperhatikan serta  terpengaruh kepadanya, yang dengan itu akan hilang waswas tersebut darinya, dengan ijin Allah. Sebab, seandainya manusia memberi perhatian dan berpaling kepadanya, waswas itu akan bertambah dan syaithan akan semakin kokoh darinya.
Kedua: memperbanyak berdzikir kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, membaca Al-Qur’an, dan isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari (godaan) syaithan serta membaca ayat kursi dan mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas). Dan ia terus mengulang-ulang hal tersebut. Dengan ini, akan hilang waswas tersebut, dengan ijin Allah.
(Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan)

Hukum Shalat Dua Raka'at sebelum Tidur?

Saya memiliki kebiasaan yaitu saya menegakkan shalat dua raka’at sebelum tidur yang aku membaca al-Fatihan dan surat-surat pendek di dalamnya. Maka, apakah itu boleh atau bid’ah?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Adab-adab yang bersumber dari Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – yang disukai (mustahab) untuk diamalkan (sebelum tidur) yaitu:
1.       ia berwudhu’ dan tidur dalam keadaan bersuci,
2.       tidur di atas sisi tubuh yang kanan,
3.       membaca ayat Kursi dan dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, al-mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas),
4.       dan untuk ia berdoa dengan doa yang datang (periwayatannya) dari Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan doa-doa itu banyak jenisnya.
Adapun shalat sebelum tidur dan selalu seperti ini , maka aku tidak mengetahui ada sumbernya dari sunnah Nabi. Namun, jika ia melakukan sebagai shalat sunnah (setelah) wudhu’, maka tidak mengapa sebab adanya dalil tentang itu.”
(Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan)

Dua Sebab Mengambil Sesuatu yang Diharamkan

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Tidaklah seorang hamba mengambil sesuatu yang diharamkan atasnya kecuali karena dua hal:
Pertama: ia berprasangka buruk kepada Rabbnya, bahwa apabila ia menaati dan mengedepankan-Nya, Dia tidak akan memberinya sesuatu yang halal yang lebih baik darinya (yang haram).
Kedua: ia mengetahui tentang (haramnya) itu, dan bahwa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan menggantikan yang lebih baik untuknya. Namun:
·         Syahwatnya mengalahkan kesabarannya(dari menjauhi keharaman).
·         Hawa nafsunya menaklukkan akalnya.
Maka, yang pertama disebabkan ilmunya yang lemah. Dan yang kedua, dikarenakan kelemahan akal dan pandangannya.
(Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 71 – 72)

Menggantungkan Ayat Kursi untuk Mencari Barakah dan Berlindung dari Syaithan?


Apakah boleh bagi seorang muslim untuk menggantungkan ayat kursi atau ayat-ayat lainnya atau doa-doa di lehernya atau di rumahnya atau mobilnya atau kantornya, untuk mencari barakah dan meyakini bahwa itu adalah alat/ media pengusir syaithan?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan – semoga Allah merahmatinya - :

"Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menggantungkan ayat kursi atau ayat-ayat Al-Qur'an lainnya atau dzikir-dzikir syar'i di lehernya untuk berlindung dari kejahatan syaithan atau mengharap kesembuhan dari suatu penyakit dengannya.

Ini pendapat yang paling shahih dari dua pendapat(dalam permasalahan ini), sebab Nabi – shalallahu 'alaihi wasallam – melarang dari menggantungkan tamimah(jimat), dan ini termasuk jenisnya.

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab – semoga Allah merahmatinya – dalam kitab at-Tauhid berkata:

"Tamimah adalah sesuatu yang digantungkan/ diikatkan kepada anak-anak untuk melindungi mereka dari 'ain (pandangan orang hasad)."

Dari Ibnu Mas'ud – semoga Allah meridhainya – ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah – shalallahu 'alaihi wasallam bersabda - :

"Sesungguhnya ruqyah(yang tidak syar'i), tamimah, dan tiwalah adalah kesyirikan." H.R. Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan al-Hakim serta adz-Dzahabi menyepakatinya.

Sehingga, menggantungkan ayat-ayat di lehernya atau di bagian badan lainnya itu tidak boleh, berdasarkan pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, disebabkan keumuman larangan menggantungkan tamimah(jimat). Dan perbuatan ini termasuk dari jenisnya. Dan juga menutup celah yang mengantarkan untuk digantungkan sesuatu selain Al-Qur'an, memalingkan dari merendahkan dan tidak menghormatinya.

Adapun menggantungkan ayat-ayat di selain badan seperti mobil atau dinding rumah atau kantor untuk mencari barakah dan mengusir syaithan, maka yang seperti ini, saya tidak mengetahui ada yang membolehkannya. Karena, itu termasuk menggunakan tamimah yang terlarang dan terdapat unsur penghinaan terhadap Al-Qur'an. Dan itu tidak dilakukan oleh salaf.

Dahulu, mereka (salaf) tidak menggantungkan ayat-ayat di dinding untuk mencari barakah dan berlindung dari kejelekan dengan menggantungkannya.

Mereka hanyalah menghafal Al-Qur'an di dada-dada mereka, menuliskannya di mushaf-mushaf mereka, mengamalkannya, dan mempelajari hukum-hukumnya, serta men-tadabburi(merenungi) makna-maknanya, sebagaimana itu yang telah diperintahkan Allah."

(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan)

16/03/12

Hidayah untuk yang Berjihad Mencari Keridhaan Allah

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ﴿٦٩﴾
Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan (hidayah) kepada mereka jalan-jalan Kami. Q.S. Al-Ankabuut: 69.
Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Allah Yang Maha Suci (dalam ayat ini) mengaitkan hidayah dengan jihad. Maka, manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad(kesungguhan)nya.
Dan jihad yang paling wajib: jihad memerangi jiwa, hawa nafsu, syaithan, dan jihad  (menghadapi ) dunia.
Lalu, siapa yang telah berjihad melawan empat hal ini karena Allah, Allah pasti menunjukinya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan kepada surga-Nya.
Dan siapa yang meninggalkan jihad ini, pasti lepas hidayah(petunjuk) itu darinya, sesuai dengan apa yang ia telantarkan dari jihad tersebut.
Al-Junaid berkata (dalam menafsirkan ayat):
“Dan orang-orang yang telah berjihad (menghadapi) hawa nafsu mereka untuk (mencari keridhaan) Kami dengan bertaubat, Kami benar-benar akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan keikhlasan.
Dan tidak mungkin untuk berjihad melawan musuhnya dalam lahiriahnya, kecuali orang-orang yang telah berjihad memerangi musuh-musuhnya ini dengan batinnya.
Maka, siapa yang memenangkan hawa  nafsunya, ia telah menolong musuhnya. Dan siapa yang mengalahkan hawa nafsunya, ia telah ditolong dari musuhnya.”
(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, hal. 87)


Tiga Jalan Menuju Neraka – kita berlindung kepada Allah darinya –

Manusia masuk ke dalam neraka melalui tiga pintu:
1.       Pintu syubhat(kesamaran), yang mewariskan keraguan pada agama Allah.
2.       Pintu syahwat, yang mewariskan pengedepanan hawa nafsu di atas menaati-Nya dan apa-apa yang diridhai-Nya.
3.       Pintu gadhab(kemarahan), yang mewariskan permusuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim, hal. 85)

Tiga Tingkatan Takwa

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Takwa itu tiga tingkatan:
Pertama: Penjagaan hati dan anggota badan dari dosa-dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Kedua: Penjagaan keduanya dari perkara-perkara yang makruh.
Ketiga: Penjagaan dari sesuatu yang berlebihan dan tidak memiliki arti.
Maka, yang pertama itu memberikan kehidupan bagi seorang hamba, yang kedua memberi manfaat bagi kesehatan dan kekuatannya, dan yang ketiga menghasilkan kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan baginya.
(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim, hal. 59)

15/03/12

Hukum Menjamak Shalat Jum’at dan Shalat Ashar

Apakah sah untuk menjamak antara shalat Jum’at dan shalat ‘Ashar ketika mukim atau safar?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – menjawab:
“Gambaran (permasalahan) ini ketika mukim:
Seorang yang sakit menghadiri shalat Jum’at dan menyulitkannya untuk shalat ‘Ashar pada waktunya. Kemudian, ia menjamak(keduanya).
Dan bentuknya ketika safar:
Apabila seorang musafir melewati suatu negeri yang sedang ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya dan ia ikut shalat Jum’at bersama mereka.
Adapun ketika safar(bepergian), maka tidak ada shalat Jum’at di dalamnya, karena Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – ketika safar tidak menegakkan shalat Jum’at.
Sampai-sampai, ketika di Arafah, Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – mendapati hari Jum’at, bersamaan dengan itu tidak menegakkan shalat Jum’at. Bahkan, Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – melaksanakan shalat Zhuhur dan menjamaknya dengan shalat ‘Ashar.
Akan tetapi, tidak sah untuk menjamak shalat ‘Ashar dengan Shalat Jum’at. Karena, sunnah hanya menyebutkan shalat ‘Ashar dijamak dengan shalat Zhuhur.
Dan shalat Jum’at bukan shalat zhuhur, sebagaimana yang diketahui, bahkan berbeda dari shalat zhuhur lebih dari dua puluh bentuk.
Demikian pula, ia dianggap shalat tersendiri seperti shalat Shubuh, tidak dijamak dengan shalat yang lainnya.
Maka, tidak boleh untuk seseorang menjamak shalat Ashar dengan shalat Jum’at, walaupun bagi yang dibolehkan baginya untuk menjamak (missal: musafir atau orang sakit).”
Liqaa’atul Baabil Maftuh, Syaikh al-Utsaimin, jilid 2 hal. 451 – 452.

14/03/12

Berapa Usia Anak yang Seorang Wanita Harus Berhijab darinya?


Wahai syaikh yang mulia, aku telah banyak melihat perselisihan dalam permasalahan masuknya anak laki-laki kepada para wanita (yang bukan mahram).
Orang-orang selain penuntut ilmu, aku telah melihat tafrith (bermudah-mudahan). Mereka mengizinkan bagi yang telah berusia dua belas atau empat belas tahun, dan terkadang lebih besar dari itu, untuk masuk kepada para wanita (yang bukan mahramnya).
Mereka memandang bahwa yang demikian itu tidak mengapa.
Dan aku juga melihat, di sisi lain, sebagian ikhwah yang berpegang teguh kepada agama Allah ‘Azza wa Jalla, terlalu keras dalam permasalahan itu. Sampai-sampai, mereka melarang anak-anak yang berusia lima tahun, bahkan yang berumur empat tahun. Mereka mendakwa bahwa anak ini memiliki kecerdasan dan ia memperhatikan atau mampu membedakan yang cantik dan yang jelek dari para wanita itu.
Kemudian, apakah batasan dalam permasalahan itu beserta dalilnya, wahai syaikh?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya -  menjawab:
“Batasannya disebutkan Allah ‘Azza wa jalla di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ إلى قوله - أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
Dan janganlah mereka (wanita yang beriman) menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka – sampai dengan firman-Nya – atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Inilah batasannya.
Jika terlihat dari anak, bahwa ia memperhatikan para wanita atau menyentuhnya atau yang semisalnya atau ia condong kepada yang cantik daripada yang lain, dipahami bahwa ia telah mengerti tentang aurat wanita.
Dan ini tidak terjadi kecuali pada anak berusia sepuluh tahun ke atas.
Kecuali, jika anak itu tumbuh di lingkungan yang selalu membicarakan tentang wanita dan (permasalahan terkait) syahwat. Maka, mungkin bagi anak itu untuk memperhatikan aurat wanita sebelum berusia sepuluh tahun.
Ini terkait penampakan wajah wanita di hadapannya. Adapun terkait khalwat (berduaan) dengan wanita , maka wajib untuk berlindung darinya.
Demikian itu, disebabkan ia (si anak)– walaupun tidak ada sesuatu yang menyebabkan untuk berhijab darinya -, namun jika ia berduaan dengan seorang wanita, mungkin si wanita itu sendiri memiliki kerusakan dalam dirinya. Lalu, ia mencoba untuk membangkitkan syahwatnya (anak itu). Ya, dan mungkin untuk dia(si wanita) menguasakan anak itu atas dirinya atau yang semisal itu.
Sehingga, khalwat itu satu permasalahan dan menyingkap wajahnya bagi anak-anak itu suatu (permasalahan) yang lain pula.
Yaitu: bahwa khalwat lebih wajib untuk berlindung darinya agar si wanita tidak bersenda gurau dengan anak itu.
Dan jika kita telah mengetahui bahwa ada wanita yang memasukkan kera kepadanya untuk bersenang-senang dengannya, maka bagaimana dengan anak berusia tujuh atau delapan tahun?
Liqa’atul Baabil Maftuuh, Asy-Syaikh al-Utsaimin, 2/ 208 – 209.

Berapa Usia Anak yang Seorang Wanita Harus Berhijab darinya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya menjawab:
“Allah Ta’ala berfirman dalam konteks menjelaskan siapa yang boleh untuk wanita menampakkan perhiasan kepadanya (diantaranya):
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Dan seorang anak, jika ia telah mengerti tentang aurat wanita yang membuatnya memperhatikannya dan banyak berbicara tentangnya, maka tidak boleh bagi seorang wanita untuk membuka (wajahnya) di hadapannya.
Dan ini berbeda berdasarkan perbedaan pergaulan si anak. Karena, seorang anak kecil terkadang memiliki permasalahan terhadap wanita ketika ia duduk bersama orang-orang yang banyak membicarakan mereka(para wanita). Dan seandainya tidak demikian ini, ia benar-benar lalai, tidak memperhatikan para wanita.
Yang terpenting, Allah telah membatasi permasalahan ini dengan firman-Nya:
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Yaitu: ini termasuk yang halal bagi wanita untuk menampakkan perhiasannya, apabila ia (si anak) tidak mengerti aurat para wanita dan tidak memperhatikan urusan mereka.”
Majmua’atun As’ilatun Tahimmul Usratul Muslimah, al-Utsaimin, hal. 148.

Kapan anak-anak dilarang untuk masuk kepada wanita ajnabi (bukan mahramnya)? Ataukah ia tidak dilarang hingga ia baligh?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:
“Ia dilarang setelah baligh. Namun, seandainya ia dalam persangkaan (telah memiliki) syahwat (terhadap wanita) atau ada fitnah dari sisinya atau si wanita, maka ia dilarang masuk kepadanya (para wanita) dan berkhalwat dengannya, sebagai penjagaan dari fitnah. “
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Fatawa al-Lajnah Ad-daimah, Soal ke-2 dari Fatwa no. 6985.
Dinukilkan dari:

11/03/12

Empat Langkah Menuju Tarjih

Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul – semoga Allah menjaganya – berkata:
“Setiap permasalahan ilmiah yang dilalui (seorang penuntut ilmu) berada di atas empat tahapan, yang setelah(melewati)nya seorang penunutut ilmu akan mengetahui mana (pendapat) yang rajih (kuat) dalam permasalahan-permasalahan yang terjadi silang pendapat di dalamnya.
Dan tahapan-tahapan itu:
Pertama: dalil yang tetap (shahih).
Kedua: metode istidlal yang shahih terkait dalil itu.
Ketiga: (dalil itu) selamat dari yang me-mansukh-nya.
Keempat: selamat dari pertentangan (dengan dalil lain).

Empat tahapan ini akan dilewati setiap permasalahan yang butuh pengamatan dan tarjih di dalamnya.
Permasalahan-permasalahan ilmu itu banyak namun termasuk dari pelandasan (yang baik)  bagi seorang penuntut ilmu, untuk ia menjaga ushul/ landasan ini.
Yaitu: ia melihat setiap permasalahan dengan menjaga ushul ini:
Yang pertama: tetap(shahih)nya dalil-dalil dalam pemasalahan itu.
Kemudian yang kedua: ia melihat keabsahan dalam beristidlal dengan dalil-dalil tersebut.
Lalu, yang ketiga: selamatnya dalil-dalil ini dari pe-mansukh.
Setelahnya, yang keempat: selamatnya (dalil-dalil itu) dari pertentangan.

Kita akan mendatangkan satu contoh:
Pembatal-pembatal wudhu’ itu banyak, kita akan ambil salah satunya – misalkan – pembatal wudhu’ karena muntah.
Seorang penuntut ilmu membaca batalnya wudhu’ disebabkan muntah. Ia berkata: “Aku ingin melihat (pendapat yang rajih dalam) permasalahan ini.”
Kita katakan: “Ya. Lihatlah dalam permasalahan ini, apakah ada dalil yang tetap (shahih) bahwa muntah itu membatalkan wudhu’?”
Ia menjawab: “Ya. Seorang ulama menyebutkan hadits :
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ، فَتَوَضَّأَ»
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam muntah, lalu Beliau berwudhu’.
( Hadits Abu Darda’, riwayat at-Tirmidzy dan al-Hakim)

Dan hadits ini shahih.
Jika demikian, langkah pertama telah ditetapkan: “adanya dalil yang tetap (shahih)”.
Kemudian, ia melihat langkah kedua: “keabsahan beristidlal (dengan dalil itu).”
Apakah shahih untuk beristidlal dengan dalil ini bahwa muntah itu pembatal wudhu’?
Dia melihat, apakah di dalam hadits terdapat penunjukan yang jelas bahwa wudhu’ Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – pada saat itu dikarenakan muntah?
Tidak ditemukan di dalam hadits, penunjukan yang jelas bahwa wudhu’ Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – disebabkan muntah.
Kenapa?
Karena tidak ada di dalamnya kecuali sekedar perbuatan?
Dan “sekedar perbuatan” di sisi ulama, tidak menunjukkan kepada wajib. Bahkan, menunjukkan kepada istihbab(sunnah).
Dan yang mereka maksud dengan “sekedar perbuatan” yaitu: perbuatan yang datang dari Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam –  yang tidak memberi penjelasan terhadap suatu ayat atau hadits yang (bermakna) global.
Apakah kita mengambil dari hadits ini: wajib bagi seseorang yang muntah untuk ia berwudhu’?
Tidak. Kita tidak mengambil (hukum) ini dari hadits tersebut.
Dengan demikian, kita katakan: “Hadits ini bersamaan dengan keabsahan penunjukan bahwa mengeluarkan muntah membatalkan wudhu’, ada pandangan (tertentu) di dalamnya.”
Dan sisi pandangan itu: bahwa hadits itu tidak mengandung kecuali sekedar perbuatan (dari Rasul) yang tidak menunjukkan kepada wajib.
Dengan ini, penuntut ilmu telah menerapkan langkah pertama dan langkah kedua. Dan permasalahan ini telah selesai dalam bentuk yang seperti ini serta tidak butuh untuk melaksanakan langkah ketiga dan keempat.
Dan terkadang datang permasalahan-permasalahan yang di dalamnya terdapat hadits-hadits yang tarik-menarik. Kita ambil contoh kedua, dari permasalahan pembatal wudhu, misalnya hadits:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Siapa yang menyentuh farji(kemaluan)nya, maka berwudhu’lah!

Kita katakan: praktekkanlah kaedah!
Ia (si penuntut ilmu) pun membahas kemudian mendapati hadits ini terdapat perbedaan pendapat tentang (keshahihan)nya. Dan yang rajih bahwa itu hadits yang hasan.
Maka, ia telah selesai dari ushul yang pertama.
Kemudian ia masuk ke langkah yang kedua: apakah sah beristidlal dengan hadits itu?
Kita katakan: ya, sah untuk beristidlal dengannya. Zhahir-nya menunjukkan bahwa wudhu’ batal dengan sebab menyentuh kemaluan.
Setelahnya ia masuk ke langkah yang ketiga: ia melihat keselamatan hadits dari pe-mansukh.
Di sini, dalam hadits ini , sebagian ulama menyebutkan bahwa ia mansukh. Dan yang me-mansukh-kannya adalah hadits Thalq – semoga Allah meridhainya -:
“Aku bertanya kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam tentang menyentuh kemaluan (apakah membatalkan wudhu’?), Beliau bersabda:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بَضْعَةٌ مِنْكَ
                                       Tidaklah ia (kemaluan) itu kecuali bagian dari dirimu.                                     

Sebagian ulama berkata: hadits ini datang terakhir dan hadits itu (yang awal) datang pertama. Sehingga, yang terakhir me-mansukh yang pertama.
Jika demikian, hadits yang kedua me-mansukh hadits yang pertama.
Dan kamu akan menemui sebagian ulama berpendapat:
Saya tidak menerima pendapat tentang mansukh karena hukum asalnya tidak ada mansukh. Namun, hadits ini bertentangan dengan yang pertama.
Kemudian, ia berpindah ke langkah yang keempat: selamat dari pertentangan. Lalu, ia berkata: “Hadits ini bertentangan dengan hadits yang pertama. Dan aku akan menjama’ (menggabungkan) keduanya:
Ø  Siapa yang menyentuh kemaluannya dengan syahwat, batal wudhunya sebagai pengamalan hadits:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Siapa yang menyentuh farji(kemaluan)nya, maka berwudhu’lah!

Ø  Dan siapa yang menyentuh kemaluannya sebagaimana ia menyentuh anggota tubuhnya yang lain – yaitu tanpa syahwat – wudhu’nya tidak batal, sebab Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بَضْعَةٌ مِنْكَ
                Tidaklah ia (kemaluan) itu kecuali bagian dari dirimu.
Dan ulama yang lain – termasuk Muhammad bin Yahya adz-Dzuhly syaikh dari Al-Bukhari- berpendapat:
Aku membawa hadits yang pertama kepada istihbab (untuk berwudhu karena menyentuh kemaluan) tidak kepada wajib, sebab adanya qarinah (keterkaitan) dari hadits kedua. Dan aku menjama’ kedua hadits dengan metode ini. Dan ini pilihan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, dia berkata:
“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’, tidak lain mustahab untuk berwudhu’, sebagai bentuk penggabungan dari dua hadits.”
Dan ini pendapat Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana disebutkan al-Hakim dalam Ma’rifaatu ‘Uluumil Hadits.
Demikian, inilah permasalahan-permasalahan ilmu yaitu penerapan empat langkah di dalamnya.
Dan tujuan dari ushul (landasan menuntut ilmu) ini, bahwa: mengabaikan dari menjaga empat langkah ini, ketika melihat permasalahan-permasalahan ilmiah, akan membuat penuntut ilmu terjatuh ke dalam suatu yang dinamakan:
عَدَمُ التَّحْرِيْرِ لِلْمَسَائِل
tidak memerdekakan (memecahkan jawaban dari )permasalahan-permasalahan.
Dan termasuk perkara yang penting bagi penuntut ilmu, untuk ia berusaha memecahkan permasalahan ilmu yang dihadapinya.
Dan itu mungkin (untuk dilakukan) dengan metode penjagaan terhadap langkah-langkah ini ketika melihat setiap permasalahan, yang bermacam-macam pendapat dan dalil di dalamnya.
v  Dan yang dimaksud dengan “melihat tetap(shahih)nya dalil” , bahwa seorang penuntut ilmu melihat kepada dalil, apakah ia tetap(shahih) atau tidak?

·         Jika dalil itu adalah ayat Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu tsabit mutawatir tidak perlu dilihat tetap(keshahihan)nya.
·         Jika (dalilnya) adalah hadits, maka dilihat tetap(shahih)nya dan derajat diterima atau tertolaknya.
·         Jika (dalilnya) adalah ijma’, dilihat keshahihan ijma’ itu dan tidak ada yang penyelisihan dalam permasalahan itu.
·         Jika (dalilnya) dari qiyas, dilihat keabsahan syarat-syarat qiyas dan ketetapannya. Jika tidak (shahih atau tetap), maka itu adalah qiyas dengan terdapat perbedaan(dalam hukum).
Ini (penjelasan) global dari apa yang dimaksud dengan tetap(shahih)nya dalil. Dan dibawahnya terdapat rincian yang banyak.
v  Dan yang dimaksud  “melihat keabsahan istidlal”: untuk ia melihat apakah dalil sesuai dengan yang didakwakan atau tidak?
Seberapa banyak orang yang beristidlal dengan dalil yang shahih, (sedangkan hadits itu) tidak sesuai dengan dakwaannya. Bahkan ada yang berdalil dengan ayat Al-Qur’an namun (kandungan) ayat itu tidak sesuai dengan dakwaannya. Yang demikian itu, dikarenakan ketidak absahan istidlal (dengan dalil tersebut)!!
v  Dan yang dimaksud dengan melihat “keselamatan dari pe-mansukh”: ia melihat dalil yang ia beristidlal dengannya dalam suatu dakwaan, apakah ia tsabit muhkam (memiliki ketetapan hukum) atau termasuk yang di-mansukh.
Dan ia menerapkan kaedah-kaedah nasikh dan mansukh dalam hal itu.
v  Dan yang dimaksud melihat “keselamatan (dalil) dari pertentangan”: dalil  yang datang (dalam suatu permasalahan), tidak ada (dalil lain) yang menyelisihinya.
Dan ia menerapkan (dalam tahapan ini) kaedah mukhtalaful hadits (hadits-hadits yang zhahirnya bertentangan)  dan permasalahannya.
Dan setelah (melewati) langkah-langkah ini, ia akan  selamat dalam memperoleh pendapat yang rajih(kuat).
(at-Ta’shil fi Thalabil ‘Ilmi, Muhammad Bazmul, hal. 43, dan dinukilkan dari

08/03/12

Seluruh Manusia dalam Kerugian, kecuali...?

Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab – semoga Allah merahmati keduanya – ditanya tentang tafsir surat al-‘Ashr, maka beliau menjawab:
“Pembahasan tentangnya itu panjang, namun kami akan menyebutkan apa yang dijelaskan para ulama tentang(tafsir)nya secara ringkas.
·         Mereka menyebutkan bahwa makna العصر (al’Ashr) adalah ad-dahr (masa) yang Allah Yang Maha Suci telah menciptakannya.
Dan boleh bagi Allah untuk bersumpah dengan makhluk-Nya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Adapun makhluk, tidak boleh baginya untuk bersumpah kecuali dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi – Shalalallahu ‘alaihi wasallam - :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan Allah atau diamlah!
(Hadits Abdullah bin ‘Umar, riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

·         Dan jawaban dari sumpah (dalam ayat ke-1):
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Q.S. Al-‘Ashr: 2.
Al-Insaan adalah isim untuk menunjukkan jenis, yaitu seluruh anak keturunan Adam.

·         Kemudian Allah mengecualikan (manusia yang dalam kerugian), Dia berfirman:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا ﴿٣﴾
kecuali orang-orang yang beriman, Q.S. Al-Ashr: 3.
(yaitu beriman) kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan beriman kepada hari akhir. Dan mereka meyakininya dengan hati-hati mereka.
Dan mereka membenarkan apa yang Allah kabarkan di dalam kitab-Nya serta apa yang datang dari lisan-lisan para rasul-Nya adalah kebenaran yang tiada kebimbangan dan keraguan di dalamnya.



وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ﴿٣﴾
dan mengerjakan amal saleh,
yaitu: beramal dengan anggota tubuh mereka sesuai dengan yang Dia syariatkan di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam -.
Dan amal shalih harus terkandung dua syarat di dalamnya:
Pertama: ia dikerjakan murni (ikhlash) untuk mencari wajah Allah.
Kedua: ia dilaksanakan sesuai syariat (yang diajarkan) Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً ﴿١١٠﴾
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya. Q.S. al-Kahfi: 110.
Maka, firman-Nya:
عَمَلاً صَالِحاً
amal yang shalih. Yaitu: yang disyariatkan.
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.
Itulah ikhlash (beramal) untuk wajah Allah.

Maka dalam ayat ini terdapat dua tingkatan:
Pertama: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Beramal shalih, yaitu mengilmui apa yang Allah turunkan dan mengamalkannya.
Sehingga, jika seseorang telah mengetahui   apa yang Allah turunkan, maka wajib atasnya untuk mengamalkannya.
Dan selanjutnya, jika ia telah mengerjakan amal shalih, maka wajib atasnya:
 Tingkatan ketiga, yaitu: nasehat-menasehati untuk menaati kebenaran.
Yaitu: Ia menasehati yang selainnya untuk mengikuti al-haq (kebenaran) dan mengajarkan kepada orang-orang yang tidak memiliki ilmu dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadanya.
Berbeda dengan orang-orang yang Allah menyebutkan tentang mereka (dalam firman-Nya):
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً ﴿١٧٤﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Q.S. Al-Baqarah: 174.

Kemudian, jika seorang yang beriman telah mengerjakan apa yang Allah perintahkan untuk saling menasehati dalam menaati kebenaran, yaitu menyeru kepada yang ma’ruf yang Allah perintahkan dan mencegah dari kemungkaran yang Allah melarangnya, maka wajib atasnya:
Tingkatan keempat, yaitu: bersabar dari gangguan dan perbuatan jelek dari makhluk kepadanya, sebagaimana telah bersabar para nabi dan rasul Allah. Demikian pula para ulama setelahnya, mereka di atas (kesabaran) itu.

Sehingga, inilah empat tingkatan yang apabila seorang hamba mengamalkannya, ia pasti termasuk dari wali-wali Allah yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.
Kita memohon kepada Allah untuk melimpahkan rezeki kepada kita dan saudara-saudara kita untuk memahami(tafsir)nya (surat al-‘Ashr,pen.) dan mengamalkannya.
Allah telah menyebutkan kalimat-kalimat pendek dalam surat ini, namun ia mengandung makna-makna yang dalam, sebagaimana perkataan al-Imam asy-Syafi’i:
“Seandainya orang-orang mengamalkan (kandungan) surat ini, benar-benar ia memberi kecukupan bagi mereka.”
Dan ia (benar demikian) sebagaimana perkataan beliau – semoga Allah merahmatinya -.”
( Sumber: ad-Durarus Saniyyah fil ajwibatin NAjdiyyah, 13/ 442. Dinukilkan dari:

05/03/12

Allah telah Menetapkan Rezeki dan Menguji Hamba dengannya

Sesungguhnya Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap orang, lalu mengapa ada manusia yang mati kelaparan?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak  - semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Segala pujian yang sempurna bagi Allah. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki dan sebaik-baik pembagi rezeki. Dan tidak satu makhluk pun kecuali Allah-lah yang menganugerahkan rezeki padanya.
Dan sesungguhnya rezeki dari Allah itu tidak bisa didapat oleh orang yang bersemangat (memperolehnya) dan tidak bisa ditolak oleh yang tidak menginginkannya.
Dan termasuk dari hikmah Allah Ta’ala yaitu membedakan rezeki-rezeki diantara hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia telah membedakan dalam bentuk penciptaan dan akhlak mereka .
Dia Yang Maha Tinggi membentangkan rezeki kepada yang Dia kehendaki. Dan Dia meluaskan rezeki kepada suatu kaum dan menyempitkannya kepada yang lain.
Dia Yang Maha Tinggi menanggung rezeki –rezeki para hamba-Nya berdasarkan ilmu dan ketetapannya yang telah terdahulu. Dan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah mengetahui dan menetapkan bahwa sebagian hamba-hamba-Nya diluaskan rezekinya dan yang lain disempitkan. Dan terdapat hikmah-hikmah Allah yang sangat besar dalam (ketentuan Allah) itu yang tidak tercerna akal-akal (manusia).
Diantara hikmah-Nya Yang Maha Tinggi dalam keluasan dan kesempitan (rezeki): sebagai ujian kepada hamba-hamba-Nya dengan nikmat dan musibah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴿٣٥﴾
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Q.S. Al-Anbiyaa’: 35.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ﴿١٦﴾
015. Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Rabbku telah memuliakanku".
016. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Rabbku menghinakanku". Q.S. Al-Fajr: 15 – 16.
Kemudian Allah berfirman:
كَلاَّ ﴿١٧﴾
Sekali-kali tidak demikian. Q.S. Al-Fajr: 17.
Yaitu: perkaranya tidak sebagaimana prasangka orang ini. Bahkan pemberian nikmat dan penyempitan rezeki itu kepada yang Dia kehendaki, tidak lain adalah ujian, bukan pemulian atau penghinaan.
Dan dengan ujian ini, akan jelas siapa yang bersyukur (atas nikmat) dan siapa yang bersabar (dari kesempitan) dan siapa yang tidak. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.

04/03/12

Harta Bermanfaat: dari dan untuk yang Halal

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin - semoga Allah merahmatinya - berkata:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Segala pujian yang sempurna bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – penghujung para nabi dan pimpinan orang-orang bertakwa, dan atas keluarga, shahabat, dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Pembalasan.
Amma ba’du
Dalam pertemuan malam ini, Rabu malam, tanggal  empat bulan Rajab tahun 1420 H, saudara kita Taufiq ash-Sha’igh telah mendatangiku untuk pertemuan dengan warga di kompleks pemukimannya dari kalangan ikhwah yang berkecukupan harta dan yang selainnya.
Dengan melihat, yang aku harapkan – insya Allah –, terciptanya kemashlahatan, maka aku hadir. Dan aku memohon kepada Allah untuk menjadikannya pertemuan yang diberkahi.
Saudara-saudara…
Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ﴿٢٩﴾
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian. Q.S. Al-Baqarah: 29.
Seluruh yang ada di bumi dari tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, hasil bumi, dan yang lainnya, Allah telah menciptakannya bagi kita, untuk kebaikan dan kemanfaatan kita.
Dan kita seluruhnya diciptakan untuk tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾
056. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengibadahi-Ku. 057. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Q.S. Adz-Dzaariyyat: 56.

Jika demikian keadaannya, dan itu adalah fakta, maka teruslah kita berjalan di atas sesuatu yang kita ambil manfaat dari ciptaan Allah, sesuai dengan yang Allah syariatkan. Sebab, Allah telah menciptakan kita untuk mengibadahi-Nya. Dan peribadahan kepadanya itu dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Tidak layak bagi kita, orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, untuk tersibukkan dari tujuan penciptaan kita (ibadah) dengan sesuatu yang diciptakan untuk kita. Sebagaimana itu keadaan dari kebanyakan manusia.
Kamu akan mendapati kebanyakan perhatian mereka adalah harta dan bagaimana cara untuk menggapainya. Lalu, ia meraih jalan menuju harta sesuai kehendaknya, bukan berdasarkan apa yang Allah kehendaki darinya secara syar’i.
Dan ia bertindak semaunya dalam penggunaan harta, sesuai dengan keinginannya. Sehingga, ia akan merugi di dunia dan akhirat. Sesungguhnya harta ini, yang kamu berusaha untuk mendapatkannya, pada kenyataannya ia diciptakan untukmu. Lalu bagaimana kamu menjadikan dirimu sebagai pelayan bagi harta itu? Seharusnya, harta itu yang menjadi pelayanmu.
Sesungguhnya harta yang dikumpulkan manusia itu ada tiga jenis:
-          Jenis harta yang diinfakkan di jalan Allah. Yaitu: (digunakan) di dalam apa-apa yang mendekatkan diri kepada Allah. Inilah orang yang mengetahui kadar harta dan menggunakannya untuk  menaati Pelindungnya.
Sebaik-baik harta yang baik adalah yang berada di tangan orang shalih. Dia mengambilnya dari yang halal dan digunakan pada tempatnya yang halal.
-          Jenis yang lain: harta yang dimanfaatkan untuk perkara-perkara yang Allah bolehkan (mubah). Ini, tidak memberi kebaikan dan kejelekan baginya selama tidak ada unsur keharaman dalam mendapatkannya atau penggunaannya.
Maka, seandainya harta itu diperoleh dari yang haram dalam pengambilannya, seperti mendapatkannya dari hasil riba atau perjudia,n semisal asuransi atau dengan penipuan dan manipulasi, ia – harta itu – akan memberi kejelekan dan bukan kebaikan baginya.
Sebagaimana datang dalam hadits bahwa Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
Jika ia bersedekah dengannya (harta yang haram), maka tidak diterima. Jika memberi nafkah dengannya, tidak diberkahi. Dan apabila ia meninggalkannya (sebagai warisan), itu adalah bekalnya menuju neraka.
Jika ia memperoleh harta dengan jalan yang haram dan mewariskannya, maka harta itu menjadi tanggungan baginya dan pembagian yang berlebih bagi anak-anaknya. Karena suatu kepastian, baik kamu mewariskan harta dan tersisa (harta itu) sepeninggalmu atau kamu kehilangan harta itu ketika hidupmu. Dan itu pasti. Maka, bagaimana kamu mencari harta dengan cara yang haram?
Dan ada jenis ketiga: mencari harta dari jalan yang halal namun menggunakannya untuk sesuatu yang haram. Orang ini selamat dalam cara memperolehnya, namun tidak selamat dalam penggunaannya.
Oleh karenanya, aku katakan: harta itu laksana pedang yang memiliki dua sisi tajam.    Sehingga, seseorang akan ditanya sumber penghasilannya dan penggunaannya.
Hendaknya kita berhati-hati dalam hal ini. Kita berhati-hati dari menghasilkan harta yang haram dan menggunakannya untuk yang haram.
Senikmat-nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki orang shalih. Dan sebaik-baik infak harta di masa sekarang ini:
·         Membangun mesjid-mesjid, baik secara individu atau gabungan. Sebab, siapa yang membangun sebuah mesjid, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.
Dan karena mesjid-mesjid itu adalah rumah-rumah Allah – Subhanahu wa Ta’ala yang dilaksanakan di dalamnya berdzikir kepada Allah, shalat, membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu syar’I, tempat tinggal bagi yang tidak memiliki rumah. Maka, seluruh (kegiatan di dalam)nya adalah baik.
Dan (membangun masjid) ini lebih baik daripada wakaf yang dia mewakafkannya kepada keturunannya yang mereka akan berselisih dan bertengkar untuknya di masa yang akan datang. Sebagaimana ini fakta bagi yang meneliti keadaan terkini.
·         Dan yang termasuk darinya, yaitu sebaik-baik penginfakan harta di jaman ini: membangun gedung-gedung yang diwakafkan untuk kepentingan umum, seperti tahfidz (penghafalan) Al-Qur’an, al-jam’iyyah al-khairiyyah (lembaga sosial), dan yang semisalnya.
Karena ini (pahalanya) tetap dan seseorang selamat dari pertanggungjawaban terhadap anak-keturunannya. Dan ia tidak khawatir akan terjadi perselisihan dan sengketa di antara keturunannya.
Terkadang, seorang melihat dengan sudut pandang yang dangkal dan berkata: “Sesungguhnya anak-anak ku yang laki-laki dan perempuan tidak mungkin akan berselisih.”
Akan tetapi, kita katakan: “Siapa yang menggantikan (dalam mengurusi) mereka itu? Yang akan menggantikanmu (dalam mengurusi permasalahan) anak-anak itu dan anak-anak mereka setelahnya, yang kemudian keretakan akan melebar dan terjadi perpecahan serta boikot?” sebagaimana kita telah mengetahui ini dari meneliti (pengalaman).
·         Dan diantaranya:  menginfakkan harta untuk mencetak buku-buku yang populer di antara manusia seperti kitab-kitab tafsir, hadits, tauhid, fikih, dan yang lainnya dari apa-apa yang menopang hal tersebut.
Namun, dalam permasalahan terakhir ini, janganlah ia mencetak suatu kitab kecuali setelah mempresentasikannya kepada ulama yang ahli dalam keilmuan, amalan, ketaatan, dan amanahnya.
·         Dan yang lainnya: memberi infak kepada sanak-kerabatnya. Infak kepada karib-kerabat lebih baik daripada memerdekakan seorang budak.
Salah seorang Ummahatul Mukminin menyebutkan kepada Nabi Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – bahwa ia telah memerdekakan seorang budak perempuannya. Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – pun bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
Sesungguhnya, seandainya kamu memberikannya kepada paman-pamanmu, pahalanya itu lebih besar untukmu. (Hadits Maimunah bintu Al-Harits, Muttafaqun ‘alaih)
Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – mengedepankan silaturrahim (dengan memberikan budak kepada kerabat) di atas memerdekakan budak itu.
Banyak dari manusia sekarang ini – bahkan kebanyakannya – tidak memperhatikan dan bersilaturrahim kepada sanak-kerabatnya, bersamaan Allah telah mewajibkan untuk seseorang itu berwasiat kepada mereka jika ia (wafat) meninggalkan harta.
Allah ‘azza wa Jalla berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿١٨٠﴾
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Q.S. Al-Baqarah: 180.

Tidak termasuk dalam ayat yang mulia ini: warisan. Sebab, Allah telah memberikan warisan kepada mereka (ahli waris). Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Tidak ada wasiat bagi ahli waris. (Hadits Abu Umamah al-Bahily, riwayat Ibnu Majah)
·         Dan diantaranya: menginfakkan harta untuk memberi minum, seperti mengadakan mesin-mesin pendingin (water cooler), sumur-sumur, dan yang semisalnya.
Sesungguhnya, ini termasuk apa yang disabdakan Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam -:
مَنْ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللَّهُ مِنَ الرَّحِيقِ الْمَخْتُومِ
Siapa yang memberi minum seorang muslim yang sedang kehausan, Allah pasti akan memberinya minum dari rakhiqum makhtum (minuman khamr murni di surga).
(Hadits Abu Sa’id al-Khudri, riwayat Abu Daud dan al-Baihaqi)

Pahala dan keutamaan yang besar dalam amalan yang ringan.

·         Dan diantaranya: memperbaiki jalan yang sulit melintasinya, seperti adanya galian-galian atau lubang-lubang atau debu atau yang semisalnya. Dan ini termasuk di dalam sabda Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam -:
إمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ  صَدَقَةٌ
Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.
(Hadits  Abu Hurairah, Muttafaqun ‘alaih)
Makna imathah: yaitu menyingkirkan. Menyingkirkan ganguan dari jalan adalah sedekah.
Dan berbagai jenis kebaikan dan kebajikan yang menggunakan harta itu banyak. Maka, sepantasnya bagi seseorang untuk mengambil bagian di setiap amal kebaikan.
Pada suatu hari, Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
“Siapa diantara kalian yang mendatangi pagi dengan berdiri (shalat malam)?” Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – berkata: “Siapa yang telah menjenguk orang sakit?” Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – kembali berkata: “Siapa yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Dan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – berkata: “Siapa yang hari ini telah mengikuti (pemakaman) jenazah?” Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidaklah terkumpul hal-hal tersebut dalam diri seseorang kecuali ia pasti masuk surga.”
Pintu-pintu kebaikan itu banyak.
Dan ketika Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – menyebutkan tentang pintu-pintu surga, Abu Bakr berkata: “Wahai Rasulullah, tidaklah seseorang masuk ke dalam satu pintu surga dengan darurat – yaitu: suatu hal yang mudah untuk masuk melalui satu pintu. Kemudian, apakah ada seseorang yang dipanggil (untuk masuk) melewati semua pintu-pintu surga itu?”
Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – menjawab: “Ada. Dan aku berharap kamu termasuk dari mereka.”
Yaitu: di sana ada pintu shalat, pintu sedekah, pintu puasa, pintu jihad….
Sehingga, kebaikan itu banyak – walhamdulillah – dan pintu-pintunya berbilang. Dan hendaknya kita bersemangat untuk mendapat bagian dari setiap pintu itu.
Aku memohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan taufik kepada kami dan kalian untuk (bisa melakukan) ini. Dan semoga Dia menyempurnakan nikmatnya atas kami dan kalian untuk agama Islam dan keamanan negeri. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.





01/03/12

Problema Global Terbesar

Apa problema terbesar yang dihadapi manusia di dunia global sekarang ini?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – semoga Allah merahmatinya menjawab:
“Permasalahan global terpenting yang saya yakini: sedikitnya para ulama sunnah di negeri seorang muslim yang menjelaskan kepadanya akidah yang benar, membimbingnya kepada sebab-sebab keselamatan, dan memperingatkan dari sebab-sebab kebinasaan dengan perspektif dalil-dalil syar’i dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya – ‘alaihish shalatu wassalam -.
Setelahnya, yang menjadi problem terbesar yang dihadapi seorang muslim: sedikitnya didapati orang-orang pilihan yang menenangkan mereka, memberi teladan dengan akhlak mulia dan perjalanan hidup yang terpuji serta menolong mereka dalam menaati Allah.
Dan selayaknya bagi seorang mukmin bersemangat dalam bertanya kepada ulama yang terkenal memiliki akidah lurus dan perjalanan hidup terpuji. Dan ia senantiasa bersama mereka hingga ia memahami diinnya dengan baik.
Dan hendaknya ia bersemangat untuk bergaul dengan orang-orang pilihan dan berhati-hati dari teman yang jelek, sehingga ia bertemu dengan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi dalam keadaan demikian itu.”
(Majallatul buhutsil ‘Ilmiyyah, vol. 4 hal. 133 – 134, dinukilkan dari Muntaqal Fawaaid, Al-Hasyidi, hal 191 – 192.)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes