31/01/12

Kemuliaan Wanita dan Penjagaan Kehormatannya Tidak Cukup untuk Menggantikan Hijab

Kami banyak mendengar seruan-seruan yang ditujukan kepada wanita (muslimah) untuk menanggalkan hijabnya, dengan slogan:
“Wanita yang mulia mampu untuk hidup diantara para lelaki dengan kemuliaannya, di dalam benteng yang kokoh, yang leher-leher (para lelaki) tidak akan mampu menjulur kepadanya”
Dan sebagian wanita terperdaya dengan kalimat ini, maka apa tanggapan Anda tentang hal ini?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – menjawab:
“Tanggapan kami bahwa ini adalah seruan yang batil berbenturan dengan Al-Qur’an, sunnah, akal, dan sifat dasar manusia.
Sesungguhnya setiap wanita yag menampakkan wajahnya, membuka tempat-tempat fitnah dalam dirinya, para lelaki –siapapun mereka – mesti terpikat dengannya. Dan ia(si wanita) pasti akan terganggu bagaimanapun ia menjaga kehormatannya. Dan terkadang syaithan menyesatkan dan mengarahkannya kepada perbuatan keji, baik karena hawa nafsunya sendiri akibat seringnya digoda oleh orang-orang fasik atau paksaan kepadanya sehingga ia melakukan apa yang mereka (para lelaki itu) menginginkan (darinya).
Dan jika si wanita adalah seorang yang mulia, maka kemuliaannya akan bertambah apabila ia berhijab dengan hijab yang syar’I, yang di awalnya mencakup menutup wajah.
Dan ini suatu yang dimaklumi secara akal dan fitrah serta perilaku dasar manusia, bahwa para lelaki itu condong kepada wanita.
Dan tidak ada yang lebih mulia dan lebih menjaga kehormataan daripada wanita-wanita para shahabat. Bersamaan dengan itu, mereka diperintahkan untuk berhijab.”
(An-Nibraas min Fatawal Mar’ati fil Hijab waz Ziynah wat Tajmil wal Libaas, hal. 50)

Menggunakan Kaos Kaki dan Sarung Tangan ketika Keluar Rumah

Apakah wajib atas seorang wanita untuk menggunakan  kaos kaki dan sarung tangan saat keluar dari rumah atau itu hanya sunnah saja?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – menjawab:
“Wajib atasnya ketika keluar dari rumah untuk menutupi dua telapak tangan, kedua kaki, dan wajahnya dengan penutup apapun.
Namun yang paling utama (dalam menutupi telapak tangannya) untuk ia memakai sarung tangan, sebagaimana kebiasaan dari para shahabat wanita – semoga Allah meridhai mereka – ketika keluar (rumah).
Dan dalil atas hal itu, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam – tentang (cara berpakaian) wanita yang ihram:
 )) لاَ تَلْبَسُ الْقُفَازَيْنِ((
Ia (wanita yang ihram) tidak mengenakan sarung tangan.
Ini menunjukkan bahwa termasuk kebiasaan mereka mengenakan itu.”
(An-Nibraas min Fatawal Mar’ati fil Hijab waz Ziynah wat Tajmil wal Libaas, hal. 51)

Waktu Shalat di Rumah bagi Wanita

Kapan wanita melakukan shalat di rumah, setelah adzan atau setelah iqomah?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Jika telah masuk waktu maka boleh bagi para wanita yang di rumah untuk shalat dan tidak menunggu iqomah.
Bahkan, (boleh) untuk mereka shalat ketika mendengar suara adzan – jika muadzin mengumandangkan adzan ketika telah masuk waktu shalat.
Dan boleh bagi mereka untuk mengakhirkan (shalat) dari awal waktunya. Wallahu a’lam.
(Fatawa Khaashshatub bil Mar’atil Muslimah, hal. 37)

Bolehkah Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?

Apakah boleh bagi seorang wanita untuk membaca Al-Qur’an secara ghaib(dengan hafalan) ketika haidh?
Dan jika ini tidak boleh maka apakah ia berdosa jika mengajarkan anak-anaknya Al-Qur’an –terlebih mereka telah masuk sekolah – ketika ia haid?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Tidak boleh bagi seorang wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an, tidak dari mushaf dan tidak pula dengan hafalan. Sebab ia sedang dalam hadats akbar(besar).
Dan siapa yang sedang berhadats besar – seperti haidh dan junub – tidak boleh baginya membaca Al-Qur’an. Sebab,Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – dahulunya tidak membaca Al-Qur’an jika sedang junub.
Dan haidh adalah hadats besar semisal junub, penghalang dari membaca Al-Qur’an.
Namun dalam keadaan ia takut akan lupa, jika wanita haidh telah hafal banyak surat-surat Al-Qur’an, atau ia sedang menghafal Al-Qur’an dan khawatir apabila tidak membacanya maka ia akan lupa – sebab masa haidh (terkadang) panjang sehingga ia akan lupa dari apa yang ia telah hafal dari Al-Qur’an.
Dalam keadaan seperti ini, tidak mengapa untuk ia membaca sebab ini termasuk perkara darurat yang seandainya ia meninggalkan membaca Al-Qur’an, ia akan lupa.
Demikian juga seorang pelajar wanita (siswi/ santriwati), jika datang waktu ujian dalam mata pelajaran (hafalan) Al-Qur’an sedangkan ia sedang haidh dan panjang waktu haidhnya serta tidak mungkin untuk ia melaksanakan ujian setelah selesai haidnya, maka tidak apa-apa untuk membacanya untuk menghadapi ujian.
Sebab, seandainya dia meninggalkannya,benar-benar ujian akan luput darinya dan ia akan gagal dalam pelajaran Al-Qur’an. Dan ini memudharatkannya.
Sehingga dalam kondisi ini, boleh bagi pelajar wanita/ siswi/  santriwati untuk membaca Al-Qur’an dalam rangka menghadapi ujian, dengan hafalan dan melihat dari mushaf.
Namun, dengan syarat tidak menyentuhnya kecuali dari balik pembatas.
Adapun seorang wanita yang haidh membaca Al-Qur’an untuk mengajar, maka ini tidak boleh karena bukan permasalahan darurat. Wallahu a’lam.
(Fatawa Khashshsatun bil Mar’atil Muslimah, Al-Fauzan, hal. 30 – 31)

Sifat Takbir ketika Shalat bagi Wanita

Apakah ada perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam takbir ketika shalat?
Juga dalam membaca dengan sirriyyah(pelan) dan jahriyyah(keras)?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Takbir dalam shalat, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita di dalamnya. Takbiratul ihram rukun atas laki-laki dan wanita. Dan takbir-takbir yang lain wajib bagi laki-laki dan wanita.
Tidak ada perbedaan dalam hal itu. Namun, seorang wanita tidak mengangkat suaranya saat bertakbir ketika ada laki-laki yang bukan mahram.
Adapun membaca dengan sirriyyah dan jahriyyah seperti itu pula, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Shalat pada malam hari jahriyyah, pada siang hari sirriyyah.
Kecuali, jika wanita mendapati laki-laki di dekatnya yang akan mendengar suaranya, maka membaca dengan sirr(pelan) dan tidak mengangkat(suara)nya, dikhawatirkan (para lelaki) terfitnah dengan suaranya.
Adapun jika tidak ada laki-laki, maka tidak mengapa untuk membaca dengan jahr(keras) ketika shalat malam.”
(Fatawa Khashshatun bil Mar’atil Muslimah, al-Fauzan, hal. 32 – 33)

30/01/12

Hukum Menikahi Wanita Hamil akibat Zina


الحمد لله رب العالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ولي الصالحين، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا،
وبعد:
Maraknya perbuatan zina telah mencarut-marut dan merobek-robek sendi-sendi akhlak kaum muslimin.
Seorang muslim yang mempelajari diinnya dengan baik akan mengetahui bahwa ini bagian tanda akhir zaman sebagaimana kabar benar dari lisan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا
Sesunguhnya diantara tanda-tanda akan tegaknya Hari Kiamat:
Diangkatnya ilmu, menguatnya kebodohan, diminumnya khamr, dan perbuatan zina yang  merebak. Hadits Anas riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dan yang miris, banyak pemuda-pemudi Islam yang melakukan free sex (seks bebas versi kehidupan hewan pengumbar nafsu), demi bergaya hidup ala orang-orang kafir. Wal’iyadzubillah.
Dan suatu kemakluman bahwa keharaman akan membuahkan keharaman – yang terkadang lebih besar dari keharaman yang awal.
Lihatlah bagaimana perbuatan keji ini membuahkan keharaman lain seperti: aborsi, membuang bayi hasil zina, membunuh wanita yang dihamili, dan yang sejenisnya. Kita berlindung kepada Allah dari segala kejelekan semacam ini.
Diantara sekian keharaman yang melilit gaya hidup free sex ini, muncul kesalahan yang menumpuk keharaman di atas keharaman yaitu: bahwa seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan lalu hamil, ia dengan gentle (jantan) akan “bertanggung-jawab” dengan menikahi wanita yang hamil akibat berzina dengannya.
Lalu, benarkah perbuatan ini dalam timbangan syariat?
Mari kita simak pembahasan ilmiah dari Asy-Syaikh Abu ‘Ammar Ali Al-Al-Hudzaify berikut ini:

Pendapat Ulama tentang Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina
الحمد لله رب العالمين، و صلى الله وسلم و بارك على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين، وبعد:
Sebelum menikah dengan wanita pezina, selayaknya (mengetahui) hal berikut:
Pertama:   
Tidak disyariatkan menikahi wanita pezina secara mutlak sebab Allah Ta’ala berfirman:
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ﴿٣﴾
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu (menikahi wanita pezina) diharamkan atas orang-orang yang mukmin. Q.S. An-Nuur: 3.
(Tidak boleh menikahi wanita pezina) baik yang menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya atau yang selainnya, kecuali terpenuhinya dua perkara:
Pertama: (Wanita itu) bertaubat dari perzinaannya.
Dan Syaikhul Islam (ibnu Taimiyah) membolehkan untuk ia (wanita pezina itu) diuji atas (kebenaran) taubatnya, sebagaimana dalam penjelasannya yang panjang dan bukan di sini tempat untuk membahasnya.
Dan ulama yang lain melarang dari melakukan ujian(terhadap wanita pezina yang mengaku telah bertaubat), diantara mereka (yang berpendapat seperti ini) adalah Ibnu Qudamah sebagaimana dalam kitab Al-Mughni.
Kedua: Selesai ‘Iddah (waktu) yang diharamkan untuk Menyetubuhinya.
Maka, jika ia(wanita pezina itu) hamil, maka ‘iddahnya selesai (untuk boleh dinikahi) dengan melahirkan.
Dan jika ia tidak hamil maka iddahnya satu kali haidh, menurut pendapat yang shahih. Dan ini madzhab (pendapat) Malik, satu riwayat dari Ahmad, dan pilihan Syaikhul Islam.
Kedua:
Jika wanita pezina itu telah bertaubat dan selesai ‘iddahnya lalu dilakukan akad dengannya.
Permasalahan ini, di dalamnya ada tiga pendapat:
Pertama: disyariatkan untuk melakukan akad kepadanya dan dukhul (menyetubuhi) nya. Ini madzhab Asy-Syafi’i.
Kedua: disyariatkan untuk melakukan akad dan tidak boleh dukhul sampai selesai ‘iddahnya.
Dan ini madzhab Abu Hanifah, Ibnu Hazm berpendapat dengannya, dan ini pilihan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.
Ketiga: tidak disyariatkan melakukan akad kepadanya. Jika telah melakukan akad maka itu batil (tidak sah).
Ini madzhab Malik, Ahmad, Ishaq, pilihan Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim di Zaadul Ma’ad, dan ini pendapat yang shahih.
Dan tidak ada perbedaan yang menjadi suami adalah yang menzinainya atau selainnya.
Berdasarkan ini, maka fatwa (yang benar) bahwa akad itu batil, yaitu fatwa dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh kepada seseorang yang menikahi seorang wanita yang ia telah menzinainya lalu melakukan akad dengannya, sebagaimana di dalam kitab Taudhihul Ahkaam (jilid 3 hal. 408).
Dan aku mendengar Syaikh kami Muhammad bin Abdulwahhab al-Wushoby memfatwakan ini kepada seseorang yang telah melakukan akad dengan laki-laki yang telah menzinai wanita itu dan ia hamil dengan sebab perzinahan itu. Beliau berkata:
“Akadnya batil (tidak sah).”
Ketiga:
Setelah (wanita pezina) bertaubat dari zina dan selesai iddah, dibolehkan bagi laki-laki yang menzinainya untuk menikah dengannya dan melakukan akad sebagaimana ia boleh melakukan dengan wanita mana pun. Maka, mesti ada wali dan dua saksi.

Keempat:
Anak yang dihasilkan sebelum pernikahan dan datang dari jalan perzinahan, maka ia dinisbahkan (nasabnya) kepada si wanita saja. Dan sang bapak tidak memiliki hubungan apapun dengannya, tidak wajib untuk menafkahinya, dan tidak disyariatkan untuk ia mengakuinya (sebagai anaknya), kecuali berdasarkan pendapat yang disebutkan sebagian ulama bahwa disyariatkan untuk mengakuinya (sebagai anak).
Namun, pendapat yang shahih yang disebutkan kelompok yang lain bahwa tidak disyariatkan untuk mengakuinya. Dan itu pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dan berdasarkan ini, maka tidak boleh untuk ia memasukkannya bergabung bersama anak-anak perempuannya yang dilahirkan setelah (menikah dengan) akad syar’i.
Dan pendapat yang lain – yaitu pendapat bolehnya untuk mengakui (sebagai anak) -, Syaikh Al-‘Utsaimin berkata: “Tidak pantas untuk berfatwa dengannya.”
Syaikh memaksudkan bahwa itu membuka pintu zina, karena seorang pemuda akan berzina dengan seorang pemudi, lalu orang  tua pemudi takut dari terbukanya aib, maka ia menikahkan pemuda itu dengannya. Kemudian, ia (pemuda itu) mengakuinya (sebagai anaknya) setelah pernikahan dengan pemudi itu.
Maka, memfatwakan disyariatkannya mengakui (anak zina sebagai anaknya) akan membuka pintu bermudah-mudahan dalam berzina. Dan ini pendapat yang shahih.


29/01/12

Ikhlash VS Cinta Pujian


Al-Imam Ibnul Qayyim - semoga Allah merahmatinya - berkata:
“Ikhlash tidak akan pernah bersatu di dalam hati dengan cinta pujian, sanjungan, dan tamak kepada apa yang ada pada manusia. Sebagaimana tidak akan pernah menyatu antara air dengan api dan rasa letih dengan gugusan bintang di langit.
Maka, jika jiwamu berbicara kepadamu untuk ikhlash lalu ia menghadap kepada rasa tamak, maka sembelihlah ia dengan pisau al-ya’s (putus-asa). Dan (jika) ia menghadap kepada pujian dan sanjungan, maka tinggalkanlah keduanya dengan zuhudnya  orang-orang yang mencintai dunia karena akhirat.
Kemudian, jika telah istiqomah penyembelihan tamak dan zuhud terhadap pujian dan sanjungan, pasti mudah atasmu berbuat ikhlash.
Dan jika kamu berkata:
“Dan apa yang mempermudah untuk bisa menyembelih sifat tamak dan cinta pujian serta sanjungan?!”
Aku jawab:
·         Adapun menyembelih sifat tamak, maka yang akan mempermudahmu:
ilmumu yang yakin bahwa tidak ada sesuatu yang ditamaki kecuali ia berada di tangan Allah semata, perbendaharaan-perbendaharaan-Nya tidak ada yang memilikinya selain Dia. Dan tidak seorang hamba pun diberi sesuatu darinya kecuali Dia(pemberinya).
·         Adapun zuhud (meninggalkan) terhadap pujian dan sanjungan, akan mempermudahmu: ilmumu bahwa tidak seorangpun yang pujiannya memberi manfaat dan memperindah, tidak pula celaan yang memudharatkan dan memperjelek, kecuali (pujian dan celaan) Allah semata. 
Sebagaimana seorang Arab pedalaman berkata kepada Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh pujianku itu baik, celaanku itu jelek.” Maka beliau bersabda:
ذَاكَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ
Itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebab itu, tinggalkanlah pujian dari seseorang yang pujiannya tidak memperindah keadaanmu, dan celaan seseorang yang celaannya tidak menjelekkanmu.
Dan cintailah pujian dari yang setiap keindahan itu ada dalam pujian-Nya, dan seluruh yang jelek terdapat pada celaan-Nya.
Dan ia tidak akan mampu untuk itu kecuali dengan kesabaran dan keyakinan.
Lalu, ketika kamu kehilangan rasa sabar dan yakin, kamu akan seperti seseorang yang ingin bepergian mengarungi lautan tanpa kendaraan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ ﴿٦٠﴾
Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. Q.S. Ar-Ruum: 60.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ ﴿٢٤﴾
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. Q.S. As-Sajdah: 24.”
(Al-Fawaa’id, Ibnul Qayyim, hal. 187 – 188)

Seseorang Bersama yang Ia Cintai

Dari Abu Musa a’-Asy’ariy – semoga Allah meridhainya – beliau berkata: “Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
(( المَرْءُ مَعَ مَنْ أحَبَّ ))
Seseorang bersama orang yang ia cintai (di Akhirat). H.R. Bukhari dan Muslim.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sady – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Hadits ini (terkandung) di dalamnya:
Anjuran untuk menguatkan kecintaan kepada para rasul dan mengikuti mereka sesuai dengan tingkatan mereka.
Dan (terkandung) peringatan dari mencintai musuh mereka, sebab sesungguhnya cinta itu menunjukkan ikatan yang kuat antara yang mencintai dengan yang dicintai, kecocokan dengan akhlaknya, dan meneladaninya. Sehingga ia(cinta) itu menjadi tanda adanya (hal tersebut) itu dan juga pemantik untuk (tejadinya) hal itu.
Dan begitu pula, siapa yang mencintai (sesuatu) karena Allah Ta’ala, maka kecintaannya itu sendiri adalah termasuk hal yang mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Karena, sesungguhnya Allah Maha Bersyukur, akan memberi kepada seorang yang mendekatkan diri (kepada-Nya) dengan suatu yang lebih besar – berlipat ganda – berdasarkan (tingkatan) usahanya.
Dan termasuk rasa syukur-Nya Ta’ala(kepada hamba yang mendekatkan diri kepada-Nya): mengikutkannya dengan orang yang ia cintai walau sedikit amalannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم
مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً ﴿٦٩﴾
Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Q.S. An-Nisaa’: 69.
Oleh sebab ini, Anas (bin Malik) berkata:
“Tidaklah kami bergembira seperti kegembiraan dengan sabda Beliau: “Seseorang bersama dengan yang ia cintai (pada hari Kiamat).”
Dia (Anas) berkata: “Maka, aku mencintai Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, dan Umar. Dan aku berharap semoga aku bersama mereka (di akhirat).”
Dan Allah Ta’ala berfirman:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ﴿٢٣﴾
 (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya. Q.S. Ar-Ra’d: 23.
Dan Allah Subhanahu berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ﴿٢١﴾
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Q.S. Ath-Thuur: 21.
Dan ini sesuatu yang kasat mata lagi teruji, jika seorang hamba mencintai pelaku kebaikan, kamu melihatnya bergabung dengan mereka, bersemangat untuk menjadi semisal mereka.
Dan jika mencintai ahli kejelekan, ia pasti bergabung bersama mereka dan melakukan amalan sesuai amalan mereka.
Dan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
«المَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ ، فَلْيَنْظُرْ أحَدُكُم مَنْ يُخَالِلْ»
Seseorang di atas agama teman dekatnya, maka lihatlah kepada siapa kalian berteman!
( H.R. Abu Daud, dan dishahihkankan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil)
Dan sabdanya:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ يَبِيْعَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً
وَ مَثَلُ الْجَلِيسِ السَّوْءِ كَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Dan permisalan teman duduk yang baik seperti penjual minyak wangi, baik ia akan memberimu (minyak wangi) atau menjualnya kepadamu, atau kamu mendapati aroma yang harum darinya.
Dan permisalan teman duduk yang jelek seperti pandai besi, baik ia akan membakar bajumu atau kamu mendapati bau busuk darinya.  
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan jika ini terjadi dalam kecintaan antara makhluk satu dengan lainnya, lalu bagaimana dengan seseorang yang mencintai Allah dan mengedepankan kecintaan kepada-Nya di atas segala sesuatu?
Maka, ia benar-benar bersama Allah dan mendapatkan kedekatan yang sempurna dari-Nya, yaitu kedekatan al-muhibbin(para pecinta Allah) dan Allah senantiasa bersamanya, sebab:
إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ ﴿١٢٨﴾
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Q.S. An-Nahl: 128.
Dan jenis kebaikan yang tertinggi adalah mencintai Yang Maha Pemurah Maha Dermawan lagi Maha Penyayang, dengan kecintaan yang diiringi ma’rifah  (pengetahuan) tentang-Nya.
Maka, kita memohon kepada Allah untuk ia memberi rezeki kecintaan kepada-Nya, mencintai amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi lagi Maha Dermawan.
Dan dengan (pertolongan) Allah semata datangnya taufik.”
(Bahjaatu Quluubil Abraar, As-Sa’dy, hal. 147 -148)

27/01/12

Hati Berpenyakit

Asy-Syaikh Muhammad al-Amin Asy-Syinqithy – semoga Allah meridhainya – berkata :
“Dan ketahuilah bahwa hati berpenyakit di dalam Al-Qur’an digunakan dalam dua jenis:
Pertama: (hati yang terjangkiti) penyakit kemunafikan, syak (keraguan), dan kufur. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً ﴿١٠﴾
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Q.S. Al-Baqarah: 10.
Dan firman-Nya di sini:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ ﴿٥٣﴾
Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Q.S. Al-Hajj: 53.
Yaitu: kekufuran dan keraguan.
Kedua: penggunaan hati berpenyakit untuk yang cenderung kepada perbuatan fahisyah(keji) dan zina. Dan yang termasuk makna ini, firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 32.
Yaitu: (Hatinya) condong kepada berbuat zina dan semisalnya.
(Sumber rujukan: Adhwa’ul Bayan, hal. 1163)

Tiga Jenis Hati

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – ia berkata:
“Hati itu ada tiga: sehat-lembut, keras, dan lemah.
-          Maka, (hati) yang tunduk kepada al-haq(kebenaran) dan kokoh di atasnya itulah (hati) yang kuat, lembut lagi sehat.
-          Yang tunduk (kepada kebenaran) namun tidak kokoh di atasnya, itulah (hati)yang lemah.
-          Dan yang tidak tunduk kepadanya secara keseluruhan, itulah hati yang keras.
Wallahu a’lam.”
(Majmu’ul Fawaid wa Iqtinaadhul Awabid, hal.  223)

21/01/12

Jenjang dan Tingkatan Ilmu


Ibnu Juma’ah – semoga Allah merahmatinya – berkata (Adabul Muta’allim wal ‘Alim, hal. 59):
Ilmu itu tiga jengkal:
Siapa yang masuk jengkal pertama, ia akan takbbur(sombong).
Dan siapa yang masuk jengkal kedua, ia akan tawadhu’ (rendah hati).
Dan yang masuk ke jengkal ketiga, ia tahu bahwa ia tidak tahu(tidak berilmu).

Dan Ibnul qayyim – semoga Allah merahmatinya – berkata (Miftaahud Daaris sa’adah):
Ilmu itu memiliki enam tingkatan:
Yang pertama: baik dalam bertanya.
Kedua: diam (mendengarkan ilmu) dengan baik.
Ketiga: pemahaman yang baik.
Keempat: menghafal.
Kelima: mengajarkan.
Keenam – dan ini buahnya - : mengamalkan dan menjaga batasan-batasannya (ilmu).
(Muntaqol Fawaid, al-Hasyidiy, hal. 17 – 18)

20/01/12

Mengajarkan Ilmu di Rumah


Ibnul Hajj – semoga Allah merahmatinya – berkata (Al-Madkhal 1/ 209):
“  Selayaknya bagi penuntut ilmu untuk merindukan bagi keluarganya apa-apa yang mereka butuhkan, sebab ia mengajarkan orang-orang yang selain mereka mencari pahala dari membimbing mereka.
Maka, orang-orang dekatnya dan yang di bawah pengawasannya lebih utama (untuk mendapat pengajaran). Karena, mereka berada di bawah kepemimpinannya dan orang-orang dekatnya, sebagaimana telah lewat hadits:
(( كُلُّكُمْ رَاعٍ ...))
Masing-masing kalian adalah pemimpin. Al-Hadits.
Maka, hendaknya ia memberi bagian mereka, bersegera mengajarkan hal yang paling utama dalam agama, kali pertama, yang paling bermanfaat dan paling mulia.
Ia ajarkan kepada mereka tentang iman dan Islam. Dan terus memperbarui (mengulang) ilmu itu atas mereka walaupun mereka telah mengetahuinya.
Dan ia ajarkan kepada mereka tentang ihsan, sifat wudhu’ dan mandi(janabah),tayammum, shalat, dan seluruh  yang terkandung dalamnya apa-apa yang wajib, sunnah, dan (terdapat) keutamaan serta setiap hal yang mereka butuhkan dari urusan agama mereka. Dari yang terpenting kemudian yang terpenting berikutnya.
(Muntaqol Fawaid, Al-Hasyidiy, hal.14)

14/01/12

Kunci Sukses Menuntut Ilmu

Al-Imam asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Tidaklah seseorang menuntut ilmu dengan kekuasaan dan pemuliaan diri(jiwa) kemudian ia akan berhasil.
Akan tetapi, yang mencarinya (ilmu) dengan jiwa yang hina, kehidupan yang sempit, melayani ilmu, dan jiwa yang rendah hati – dia pasti berhasil.”
(Muntaqol Fawa’id, Faishal al-Hasyidiy, hal. 35)

Ilmu itu Bukan Umbar Kata-kata


Adz-Dzahabi – semoga Allah merahmatinya – berkata ketika menyebutkan biografi Utsman Ad-Darimy (Siyar A’lamin Nubala’, 13/ 323):
“Sesungguhnya ilmu itu bukan banyaknya periwayatan namun ia adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. Dan syaratnya (untuk masuk ke dalam hati): Ittiba’ dan lari dari hawa nafsu serta kebid’ahan.”
Ibnu Rajab – semoga Allah merahmatinya – berkata (Bayanu fadhli ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf, hal 57 – 58):
“Dan kebanyakan orang-orang yang datang terakhir telah terfitnah dengan ini. Mereka berprasangka bahwa yang banyak perkataan, debat, dan argumennya dalam permasalahan-permasalahan agama, maka ia yang lebih berilmu daripada yang tidak demikian itu.
Ini suatu kebodohan semata.
Lihatlah kepada pembesar-pembesar dan ulama-ulama dari kalangan Shahabat seperti: Abu Bakr, Umar, ‘Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Yazid bin Tsabit, bagaimana keadaan mereka dahulu?!
Perkataan mereka lebih sedikit daripada Ibnu ‘Abbas dan mereka lebih berilmu darinya.
Seperti itu juga perkataan Tabi’in lebih banyak daripada perkataan para Shahabat, dan para Shahabat lebih berilmu daripada mereka.
Demikian pula perkataan Tabi’ut Tabi’in lebih banyak daripada perkataan Tabi’in dan Tabi’in lebih berilmu daripada mereka.
Maka, ilmu itu bukan banyaknya periwayatan dan bukan pula perkataan yang banyak. Namun, ia adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati yang seorang hamba memahami kebenaran dengannya, membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dengannya, dan menyampaikan ilmu itu dengan ungkapan sederhana yang tercapai maksud (ucapan dengannya).”
(Muntaqol Fawaid, Faisol al-Hasyidiy, hal. 22 – 23)


Kebebasan Berpikir dalam Timbangan Syariat

Kami mendengar dan membaca kalimat “kebebasan berfikir” dan selainnya dari kalimat-kalimat menyesatkan di sebagian koran atau majalah. Dan itu merupakan seruan kepada kebebasan dalam berakidah.
Lalu, apa tanggapan anda tentangnya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – berkata:
Tanggapan kami atasnya: bahwa yang membolehkan bagi seseorang bebas berakidah, meyakini agama-agama apa yang ia kehendaki, maka ia telah kafir.
Sebab, setiap yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh untuk mengambil agama selain agama (yang dibawa) Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam -, diminta taubatnya. Jika bertaubat (maka ia bebas), jika tidak maka wajib membunuhnya.
Dan agama itu bukan kumpulan pemikiran namun ia adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla yang Dia turunkan kepada rasul-rasul-Nya agar manusia berjalan di atasnya.
Dan kalimat ini , yang saya maksud : kata “pikiran/ gagasan” yang dimaksud dengannya “diin/agama”, wajib untuk dihapus dari kamus buku-buku Islam. Karena, ia mengantarkan kepada makna yang rusak, yaitu dikatakan Islam itu: pikiran/ gagasan, nashrani: pikiran, yahudi itu: pikiran.
Yang saya maksud dengan nashrani: yang orang-orangnya menyebutnya dengan al-masihiyyah(pengikut Al-Masih).
Dengan demikian, ia (kalimat itu)mengantarkan syariat-syariat itu sekedar dijadikan pemikiran-pemikiran (berasal dari) bumi yang dianut oleh siapa yang menghendaki.
Dan faktanya, bahwa agama-agama samawi adalah benar-benar agama yang datang dari langit, dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla, yang  orang-orang meyakini bahwa ia (agama-agama samawi) itu adalah wahyu dari Allah, yang hamba-hamba-Nya beribadah dengannya. Dan tidak boleh untuk digunakan kata “pikiran/ gagasan” untuknya.
Dan ringkasan dari jawaban:
Bahwa siapa yang berkeyakinan boleh untuk seseorang mengambil agama sesuai keinginannya, ia bebas dalam agamanya, maka ia telah kafir kepada Allah ‘Azza wa Jalla karena Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ ﴿٨٥﴾
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya. Q.S. Ali-Imraan: 85.
Dan Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ ﴿١٩﴾
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Q.S. Ali-Imraan: 19.

Maka, tidak boleh bagi seseorang untuk menyakini bahwa agama selain Islam boleh (untuk dianut), boleh bagi seseorang untuk menghambakan diri (kepada Allah) dengannya.
Bahkan, jika ia berakidah seperti ini, maka para ulama telah jelas-jelas mengatakan bahwa ia telah kafir (sebab keyakinan itu) keluar dari agama (Islam).”
(Al-Manahiy al-Lafzhiyyah, al-Utsaimin, hal. 116)

Merdeka atau Diperbudak?

Apa hukum perkataan seseorang “Saya bebas merdeka”?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Jika orang yang berkata itu seorang yang merdeka dan ia memaksudkan bahwa ia bebas dari perbudakan/ hamba sahaya, maka ya (benar) dia bebas dari perbudakan makhluk.
Adapun jika yang ia inginkan bahwa ia merdeka dari ‘ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka benar-benar jelek pemahamannya tentang makna penghambaan dan tidak mengetahui makna kebebasan.
 Sebab, penghambaan kepada selain Allah itulah perbudakan.
Adapun penghambaan seseorang kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla itulah kebebasan.
Hingga,  sesungguhnya jika ia tidak menghinakan diri kepada Allah, pasti ia menghinakan diri kepada selain-Nya.
Sehingga, disini ia telah memperdaya  dirinya sendiri jika berkata: saya merdeka. Yaitu : ia bebas dari ketaatan kepada Allah dan tidak menegakkan(ketaatan kepadanya).”

Dan asy-Syaikh –semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang ucapan seorang pelaku maksiat yang ketika diingkari perbuatannya berkata, “Saya bebas dalam segala perilaku saya?
Beliau menjawab:
“Ini tidak benar. Kita katakan,” Kamu tidak bebas dalam bermaksiat kepada Allah.
Bahkan jika kamu memaksiati Rabbmu, maka kamu telah keluar dari kemerdekaan – yang  engkau sedang mengaku-akunya – di dalam penghambaan kepada Allah menuju perbudakan kepada syaithan dan hawa nafsu.”
(Al-Manahiy al-Lafzhiyyah, Al-Utsaimin, hal. 117)

08/01/12

Hukum Shalat di Belakang musyrik atau fasik?


Apakah sah shalat di belakang seorang imam yang beristighatsah kepada orang-orang yang telah mati dan memohon bantuan kepada mereka?
Dan bagaimana dengan seseorang yang berdusta dan sengaja berdusta serta suka mengganggu orang-orang shalih, sedang ia mengimami orang-orang. Apakah ia dikedepankan (untuk mengimami) di dalam shalat jika terkenal dengan kedustaan dan kefasikan?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjawab:
Tidak sah shalat di belakang seorang  pelaku kesyirikan syirik akbar(besar) yang mengeluarkannya dari agama.
Berdoa kepada orang-orang yang telah mati dan beristighatsah kepada mereka, ini syirik akbar mengeluarkan (pelakunya) dari agama(Islam).
Maka, orang ini bukan muslim. Tidak sah shalat itu bagi dirinya dan tidak pula bagi yang shalat di belakangnya.
Tidak lain, dipersyaratkan untuk menjadi imam: seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ia mengamalkan agama Islam secara lahir dan batin.
Adapun laki-laki yang lain(yang disebutkan kedua) dan perbuatannya, maka ini suatu perbuatan dosa besar: dusta.
Melakukan suatu dosa besar yang di bawah kesyirikan dan mengganggu orang-orang muslim, ini termasuk dosa besar tidak berkonsekuensi kekufuran.
Dan ia tidak pantas untuk dijadikan seorang imam.
Namun, seseorang yang datang (untuk shalat) dan mendapati orang-orang sedang shalat sedangkan ia (lelaki fasik) itu mengimami mereka, maka (tidak mengapa) ia shalat di belakangnya dan tidak shalat bersendirian, sampai ia mendapati seorang imam yang shalih lagi istiqomah maka ia pergi kepadanya (untuk shalat di belakangnya).

(As’ilah wa ajwibah fil iman wal kufri, hal 68 – 69 )

01/01/12

Amalan itu Rukun dan Bagian di dalam Iman atau Syarat Penyempurna ?

Apakah amalan-amalan itu rukun dan bagian di dalam iman atau ia syarat penyempurna  di dalamnya?
Asy-Syaikh Abdul  Aziz Ar-Rajihy – semoga Allah menjaganya – berkata:
“Iman itu perkataan dengan lisan dan perkataan dengan hati, amalan dengan hati dan dengan anggota badan sebagaimana terdahulu.
Dan tidak dikatakan: ia (amalan-amalan itu) syarat kesempurnaan atau ia keluar (bukan bagian) dari iman atau ia suatu keharusan dari kelaziman-kelaziman iman atau konsekuensi (tuntutan) dari iman atau ia (amalan-amalan) itu dalil/ bukti atas iman; ini seluruhnya datang dari murji’ah.”
(As’ilah wa Ajwibah fil iman wal kufri, Ar-Rajihy, hal 14 – 15.

Kemudahan setelah Kesulitan

 Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya berkata - :
“Ini kabar gembira dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi kepada Rasul – shalallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam – dan kepada seluruh umatnya.
Dan kesulitan terjadi pada Rasulullah – ‘alaihish shalatu wassalam – ketika di Makkah dan di Tha’if. Demikian pula ketika di Madinah dari orang-orang-orang munafik.
Maka Allah berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Yaitu: Sebagaimana Kami telah melapangkan untukmu dadamu, Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.

Dan ini nikmat yang besar. Demikian pula kesulitan ini yang menyempitkanmu, mesti ada kemudahan untuknya.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini : “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Dan pemaknaan perkataan beliau – semoga Allah meridhainya – bersamaan dengan penyebutan (di dalam ayat) kesulitan dua kali dan kemudahan dua kali, ahli balaghah berkata:
Pemaknaan perkataan beliau bahwa kesulitan tidak disebutkan kecuali sekali (dalam firman-Nya):
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
Kalimat الْعُسْرِ diawal diulang dalam ayat kedua dengan “ال” alif lam  , maka “ال” disini untuk ‘ahd adz-dzikry (sesuatu yang dipahami dan disepakati dalam benak pikiran).
Adapun kata “kemudahan” tidak datang dalam bentuk mu’arraf (dengan “ال”), bahkan nakirah (tanpa “ال”).
Dan kaedahnya: jika isim diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf, maka yang kedua itu sama dengan yang pertama kecuali jarang sekali.
Dan jika isim diulang dua kali dalam bentuk nakirah, maka yang kedua bukan yang pertama.
Karena (ayat) yang kedua nakirah, maka dia bukan yang pertama.
Dengan demikian, di dalam dua ayat yang mulia tersebut ada dua kemudahan dan satu kesulitan sebab الْعُسْرِ /kesulitan diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Perkataan ini adalah kabar dari Allah Yang MAha Mulia dan Maha Tinggi, dan berita-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi adalah sesempurna dan sejujur-jujur pengabaran -. Dan janji-Nya tidak akan luput.
Maka, setiap kali suatu perkara menyulitkanmu maka tunggulah kemudahan.
Adapun dalam permasalahan-permasalahan syar’i maka itu terlihat jelas. Di dalam shalat: shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring. Ini kemudahan.
Jika sulit berdiri, duduklah! Jika duduk sulit atasmu maka shalatlah dalam keadaan kamu berbaring!
Dan ketika berpuasa, jika kamu mampu dan tidak dalam safar maka puasalah! Jika tidak mampu, berbukalah!
Jika kamu sedang safar(bepergian), berbukalah!
Dalam ibadah haji, jika kamu mampu melakukan perjalanan kepadanya maka berhajilah! Jika tidak mampu, maka tidak ada kewajiban haji atasmu.
Bahkan, jika kamu telah berangkat haji namun tertahan dan tidak mungkin menyempurnakannya maka tahalul dan menyembelihlah! Dan batalkan haji!
Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ﴿١٩٦﴾
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat. Q.S. Al-Baqarah : 196.

Dengan demikian, seluruh kesulitan yang didapati seseorang dalam beribadah, dia akan mendapati pemudahan dan kemudahan.

Seperti itu juga, dalam qadha’ dan qadar, yaitu ketentuan Allah atas seseorang dari berbagai musibah, kesulitan hidup, kesempitan dada dan yang lainnya, janganlah berputus asa karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Dan pemudahan (urusan) terkadang tampak secara lahir, misal: seseorang dalam keadaan fakir, maka urusan-urusannya menyempitkannya. Lalu, Allah memudahkan baginya kecukupan.
Misal yang lain: seseorang sakit, kecapekan, yang sakit itu sangat memberatkannya. Kemudian Allah sembuhkan ia darinya. Ini pemudahan yang tampak.

Disana, ada pemudahan yang maknawi, yaitu pertolongan Allah untuk seseorang bersabar. Ini pemudahan.
Jika Allah telah menolongmu di atas kesabaran, pasti segala kesulitan akan mudah bagimu. Dan permasalahan yang sulit ini yang seandainya turun ke atas gunung pasti merobohkannya, itu dengan pertolongan Allah atasmu untuk bersabar maka menjadi sesuatu yang mudah.

Dan kemudahan itu bukanlah maknanya sesuatu itu akan terselesaikan secara sempurna saja.
  • ·         Kemudahan itu (dengan) keluar dan hilangnya kesulitan. Ini kemudahan yang kasat mata.
  • ·         Dan (kemudahan itu) dengan Allah menolong seseorang untuk bersabar sehingga permasalahan yang sangat sulit menjadi sesuatu yang mudah atasnya. Kita katakan ini sebab kita meyakini kebenaran janji Allah.

(Tafsir Juz ‘Amma, Al-Utsaimin, hal 217 – 218.)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes