26/05/12

Sebab-sebab Kerasnya Hati dan Jalan Keluarnya


Bagaimana seseorang bisa membersihkan diri dari hati yang keras? Dan apa sebab-sebabnya?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – semoga Allah merahamtinya – menjawab:
“Sebab-sebab kerasnya hati adalah dosa dan kemaksiatan, banyak berbuat lalai, dan berteman dengan orang-orang yang lalai dan fasik.
Dan termasuk sebab lembut dan bersihnya hati, berteman dengan orang-orang terpilih agamanya, menjaga waktu dengan berdzikir, membaca Al-Quran, dan istighfar.
Siapa yang bisa menjaga waktunya dengan berdzikir, membaca Al-Qur’an, berteman dengan orang pilihan bersamaan ia menjauh dari berteman dengan orang yang lalai lagi fasik, hatinya akan membaik dan melembut. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
Ketahuilah, hanya dengan berdzikir(mengingat) Allah, hati itu akan tenang. Q.S. Ar-Ra’d: 28.

Sudah Tahukah Anda Nama-nama Ummahatul Mukminin?!


Siapa saja Ummahatul Mukminin itu? Ada berapa jumlah mereka?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah  wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa, Saudi Arabia) menjawab:
“Jumlah mereka ada sembilan, yaitu:
1.       Aisyah.
2.       Hafshah
3.       Ummu Salamah.
4.       Ummu Habibah bintu Abi Sufyan.
5.       Juwairiyyah bintu Al-Harits.
6.       Sawdah bintu Zam’ah.
7.       Zainab bintu Jahsyi
8.       Shafiyyah bintu Huyyai.
9.       Maimunah bintu Al-Harits.
Merekalah isteri-isteri Nabi yang berada di bawah perlindungan Beliau – ‘alaihishshsalatu wassalam – ketika wafat.
Dan termasuk isteri Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – adalah Khadijah bintu Khuwailid – radhiallahu ‘anha – ibu dari kebanyakan anak-anak Beliah. Khadijah wafat di masa hidupnya Rasulullah, sebelum hijrah.
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam atas Beliau, keluarga, dan shahabatnya.
(Soal ke-2 dari Fatwa no. 3315)



Catatan: Ummahatul Mukminin yang belum disebutkan di dalam fatwa ini adalah Zainab bintu Khuzaimah – radhiallahu ‘anha – yang beliau juga meninggal dunia sebelum wafatnya Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam. Nama beliau - radhiallahu 'anha - disebutkan dalam fatwa yang lain dengan nomor 3474.

25/05/12

Terimalah Nasehat yang Baik!


Aku menasehati sebagian wanita – semoga Allah memberi hidayah kepada kami dan mereka – lalu dibantah dengan ucapan “Bagimu agamu dan bagiku agamaku!”. Apakah perkataannya ini boleh? Bagaimana cara menasehati mereka?
Asy-Syaikh Ibnu Baz – semoga Allah merahmatinya – menjawab:
“Ini tidak boleh. Perkataan ini termasuk kesombongan dari menerima nasehat, yaitu “Tidak ada kuasa kalian atasku!”. Ini keliru dan perkataan ini diucapkan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada orang kafir “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!”. Ucapan ini ditujukan bagi orang-orang kafir.
Adapun muslim dan muslimah maka agama mereka adalah satu: mengesakan dan menaati Allah. Maka, tidak boleh dikatakan “bagimu agamamu, bagiku agamaku!” kecuali bagi orang-orang kafir. Sebagaimana perkataan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada orang-orang Quraisy dan penyembah berhala,”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” seperti apa yang datang di awal surat Al-Kafiruun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾
001. Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir,
002. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Q.S. Al-Kaafiruun: 1 – 2.
Sedangkan mereka mengibadahi berhala-berhala, adapun Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – menyembah Allah(semata).
Maka, tidak boleh mengucapkan kepada saudaranya (seiman) “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Agama kita satu dan perkataan ini keliru.
Apabila ia dinasehati hendaknya mengatakan “Jazakallahu khairan(semoga Allah membalas kebaikan kepadamu), semoga Allah menolongku?!” , “Jazakallahu khairan, doakan semoga Allah membimbingku?!”.
Jika dikatakan padanya:  “Saudaraku, jagalah shalat berjama’ah?!”, “Wahai saudaraku berbaktilah kepada kedua orangtuamu dan hindarilah perbuatan ghibah(menggunjing) dan namimah(mengadu domba)?!”, jawablah dengan ucapan “Jazakallahu khairan(semoga Allah membalas kebaikan kepadamu), semoga Allah menolongku?!”
Janganlah ia berkata “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!”. Ini keliri. Ini kesombongan. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”

Bersedekahlah walau Sedikit!


Sebagian orang apabila diminta untuk menolong seseorang berujar “Apakah aku wakil bagi Adam (‘alaihissalam) untuk mengurusi anak keturunannya?” Apakah semisal ucapan ini ada keberatan di sisi syariat? Kami mohon penjelasan dan semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian.

Asy-Syaikh Ibnu Baz – rahimahullah – menjawab:

“Ungkapan seperti ini tidak ada sisi baiknya dan tidak layak untuk seseorang berkata demikian. Bahkan yang disyariatkan bagi seorang muslim untuk berinfak dari apa yang Allah beri kepadanya walaupun ala kadarnya, sebab Allah Yang Maha Mulia dan Agung berfirman:

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ ﴿٧﴾
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. Q.S. Al-Hadiid: 7.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٦﴾
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dirinya dari kekikiran maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Q.S. At-Taghaabun: 16.

Dan ayat yang semakna ini adalah banyak.

Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
(( اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ ))
Berlindunglah dari neraka walau dengan setengah kurma. Siapa yang tidak memiliki maka dengan perkataan yang baik.(Hadits Abu Hurairah, riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

(( مَنْ تَصَدَّقَ بعَدلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ ، وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيبَ ، فَإنَّ اللهَ يَقْبَلُهَا بِيَمِينِهِ ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ ))
Siapa yang bersedekah senilai satu buah kurma dari penghasilan yang halal – dan Allah tidak akan menerima (sedekah) kecuali dari yang baik – tidak lain Allah akan menerima dengan tangan kanannya kemudian memeliharanya untuk pemiliknya, sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kudanya, sampai sedekah itu menjadi sebesar gunung. (Hadits Abu Hurairah, Muttafaqun ‘alaih)

Hadits-hadits dalam permasalahan ini banyak.
Maka, disyariatkan bagi setiap mukmin untuk memperbanyak sedekah walau nilainya kecil sehingga ia mendapati pahala di sisi Rabbnya lebih daripada apa yang ia butuhkan. Allahlah semata penolong kepada taufik.

Sudahkah Anda meng-Qadha’ Puasa?


Apa hukumnya seseorang meninggalkan qadha’ (mengganti) puasa Ramadhan sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya padahal ia tidak memiliki udzur? Apakah bertaubat cukup baginya atau ia harus membayar kafarah?
Asy-Syaikh Ibnu Baz – rahimahullah – menjawab:
“Wajib atasnya untuk:
-          bertaubat kepada Allah Yang Maha Suci,
-          memberi makan orang miskin setiap hari disertai tetap mengqadha’.
Kadar memberi makan orang semiskin sebesar satu sha’ sesuai sha’ Nabi – shalallahhu ‘alaihi wasallam – dari jenis makanan pokok di suatu negeri baik berupa kurma, gandum, beras, atau yang lainnya. Kadarnya sekitar satu setengah kilogram.
Tidak ada kewajiban atasnya selain dari itu sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok dari kalangan Shahabat – radhiallhu ‘anhum – diantara mereka Ibnu ‘Abbas – radhiallahu ‘anhuma.
Adapun jika ia melakukannya karena ada suatu udzur karena sakit atau safar atau seorang wanita sedang hamil atau menyusui yang sulit berpuasa bagi keduanya, maka tidak ada kewajiban atas mereka selain meng-qadha’.”

Hukum Puasa Khusus di Bulan Rajab


Apakah benar bahwa di surga terdapat sungai bernama Rajab, tidak akan meminum darinya kecuali seorang yang berpuasa pada bulan Rajab?
Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid – rahimahullah – menjawab:
“Tidak ada berita yang shahih tentang hal ini bahkan para ulama berpendapat  makruhnya mengkhususkan berpuasa pada bulan Rajab. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hadits-hatis yang datang tentang puasa di bulan Rajab seluruhnya dha’if(lemah) tidak ada asalnya. Adapun  hadits yang masyhur dari Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – adalah:
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan!”
Maka, menyendirikan puasa pada bulan Rajab tidak memiliki dalil yang shahih walaupun didapati kabar-kabar yang tidak ada asalnya.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan bahwa Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab. Penanggalan ini tidak ada asalnya. Demikian pula disebutkan tentang Jum’at pertama di bulan Rajab bahwa ada shalat khusus di dalamnya. Kabar-kabar ini seluruhnya tidak benar. Wallahu a’lam.

20/05/12

Batasan Mendengar dalam Syariat


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ﴿١٨﴾
Orang-orang yang mendengarkan suatu perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Q.S. Az-Zumar: 18.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di  - rahimahullah – berkata,”Ini adalah batasan yang wajib atas seorang yang mendengar perkataan bahwa ia mengikuti yang paling baik yaitu kebenaran(al-haq) yang diperintahkan kepadanya.”
(,Fathur Rahim Malikil ‘Allaam, hal. 162)   

Kebodohan Sumber Pendustaan, Kesombongan, dan Kekufuran


 وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْراً مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ ﴿١١﴾
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya dia (Al Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka (orang mukmin) tiada mendahului kami (beriman) kepadanya.” Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama(sejak dahulu)". Q.S. Al-Ahqaaf: 11.

Mutiara Hikmah dan Faedah:
1.       Kesombongan dan ‘ujub adalah penghalang dari menerima dan tunduk kepada kebenaran.
2.       Kebodohan terhadap sesuatu berbuah pendustaan terhadap sesuatu tersebut.
3.       Sifat suka berbangga-bangga dan meremehkan orang yang lebih rendah status sosialnya mengantarkan kepada penyimpangan dan penentangan atas kebenaran.
Orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashara merasa lebih mulia daripada orang-orang mukmin sehingga tidak mau menerima kebenaran yang datang dalam Al-Qur’an. Mereka menganggap kitab suci mereka yang tidak otentik lagi lebih baik daripada Al-Qur’an yang terjaga sampai akhir zaman.
Adapun orang-orang musyrik menghinakan dan merendahkan orang-orang mukmin yang kebanyakannya dari golongan orang-orang fakir sehingga mereka menganggap tidak mungkin orang-orang yang rendah itu lebih mengetahui kebenaran dan mendahului mereka dalam mengikuti dan mengamalkannya.
4.       Ketidaktahuan bukan ilmu yang dijadikan sandaran dalam berakidah dan berperilaku. Lihatlah bagaimana orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin ketika tidak bisa memahami Al-Qur’an mereka menudingnya sebagai kedustaan dan menetapkan bahwa apa yang mereka yakini dan amalkan selama ini adalah kebenaran!
5.       Seseorang yang tidak mampu melakukan sesuatu terkadang mencelanya untuk menutup-nutupi kelemahan dirinya. Hal ini sangat jelas dari lisan mereka yang mendustakan kebenaran dan tidak mampu mengamalkannya baik karena kebodohan ataupun kesombongan yang berasal dari syubhat dan syahwat yang menguasai jiwa-jiwa mereka.
6.       Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya: “Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak tsabit dari para Shahabat: Itu bid’ah! Sebab sekiranya hal itu adalah suatu hal yang baik tentulah mereka benar-benar telah mendahului kita dalam mengamalkannya dikarenakan mereka tidak melihat suatu kebaikan kecuali pasti berlomba-lomba dalam mengamalkannya.”
(Sumber Rujukan: Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an, Al-Qurthubi; Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir; Zaadul Masir, Ibul Jauzi; Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di)

Jangan Anggap Ringan Suatu Dosa!


إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun tentangnya, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Q.S. An-Nuur: 15.
Faedah Ayat:
1.       Dua perkara terlarang: mengucapkan kebatilan dan berkata tanpa ilmu.
2.       Terdapat larangan yang sangat keras terhadap perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukan dengan menganggapnya suatu yang ringan. Sebab:
·         seorang hamba tidak akan mendapatkan faedah sedikitpun dari siksaan  atas dosanya.
·         dan anggapannya itu tidak akan meringankan siksa atas dosanya bahkan dilipatkan.
(Sumber rujukan: Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di hal. 612)

16/05/12

Komparasi antara Badan dan Hati yang Berpenyakit


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
Penyakit badan adalah penyelisihan kesehatannya yaitu fasad(kerusakan) yang terjadi di dalamnya, yang menyebabkan kerusakan pada pemahaman dan gerakan alaminya.
Pemahamannya(badan) itu baik akan hilang, seperti terjadi kebutaan dan tuli, atau ia memahami sesuatu yang berbeda dengan keadaan aslinya, seperti mendapati rasa manis itu sebagai pahit. Dan juga dikhayalkan kepadanya sesuatu yang tidak ada hakekatnya dalam kenyataan.
Adapun kerusakan gerakannya yang alami, semisal kekuatannya yang melemah untuk mencerna, atau membenci makanan-makanan yang dibutuhkan badan dan mencintai sesuatu yang memudharatkannya yang menghasilkan rasa sakit sesuai dengan tingkatannya.
Namun, bersamaan mengidap penyakit, badan itu tidak mati dan binasa dengannya. Sebab, terdapat jenis kekuatan sensor padanya untuk memahami gerakan yang masuk(ke tubuh) secara keseluruhan. Sehingga, dari itu muncul rasa sakit di dalam badan, baik disebabkan kerusakan jumlah atau metode.
Yang pertama (kerusakan jumlah): baik dikarenakan kekurangan zat tertentu sehingga butuh kepada makanan atau karena kelebihan sesuatu sehingga butuh untuk pengosongan.
Dan yang kedua (kerusakan metode): seperti kekuatan panas dan dingin yang keluar dari keseimbangan sehingga menjadi sakit.
Demikian pula penyakit hati, yaitu kerusakan yang terjadi padanya merusak gambaran pemahaman dan kehendaknya.
Adapun kerusakan pemahamannya, itu disebabkan syubhat yang dibentangkan di depannya sehingga ia tidak bisa melihat al-haq(kebenaran)atau melihatnya dalam bentuk yang berbeda dari hakekatnya.
Sedangkan kerusakan kehendaknya terjadi dari sisi hati itu benci kebenaran yang bermanfaat dan cinta kebatilan yang merusak.
Oleh sebab ini, “penyakit” terkadang ditafsirkan dengan syak(keraguan) dan kebimbangan, sebagaimana Mujahid dan Qatadah menafsirkan firman Allah Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً ﴿١٠﴾
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Q.S. Al-Baqarah: 10.
Yaitu: (penyakit) keraguan.
Dan terkadang ditafsirkan dengan syahwat untuk berzina sebagaimana ditafsirkan firman Allah Ta’ala:
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 32.
Oleh karenanya, Al-Khara’ithiy menulis kitab I’tilaalul Quluub (Penyakit Hati)yaitu penyakitnya. Dan yang ia maksud adalah penyakit  yang ditimbulkan syahwat.
Dan sakit – secara umum – melemahkan orang yang terjangkiti dengan menurunkan kekuatannya, ia tidak mampu untuk sesuatu yang bisa dilakukan seorang yang kuat.
Kesehatan itu dijaga dengan yang semisalnya dan hilang dengan lawannya. Penyakit menguat dengan sebab yang semisalnya dan hilang dengan lawannya.
Jika seorang yang sakit mendapatkan yang semisal dari sebab sakitnya, pasti bertambah sakitnya dan semakin melemahkan kekuatannya. Sampai-sampai, ia mungkin akan binasa.
Dan apabila ia mendapatkan sesuatu yang meningkatkan kekuatannya dan menghilangkan penyakit, maka (hasilnya)kebalikan (dari yang di atas).
Penyakit hati adalah suatu kepedihan yang terjadi di dalam hati, seperti kemarahan kepada musuh yang menguasaimu, sesungguhnya itu memedihkan hati. Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ ﴿١٤﴾ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ﴿١٥﴾
014. serta melegakan hati orang-orang yang beriman,
015. dan menghilangkan panas hati (kemarahan) orang-orang mukmin. Q.S. At-Taubah: 14 – 15.
Dia (Allah) menyembuhkan mereka dengan menghilangkan kepedihan yang terjadi di hati mereka. Dan sering diucapkan: Si fulan disembuhkan dari kemarahannya.
Dalam penegakan hukum qishash, terdapat penyembuhan kepada keluarga yang dibunuh. Ini adalah obat dari kesedihan, kemarahan, dan kesedihan. Dan ini seluruhnya rasa pedih yang terjadi di jiwa.
Demikian pula, keraguan dan ketidaktahuan(al-jahl) itu akan menyakiti hati. Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui?! Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan: bertanya! (Hadits Jabir, riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan orang yang ragu lagi bimbang dalam suatu hal, hatinya merasa sakit, sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan tentangnya. Dan dikatakan tentang seorang ulama yang telah menjawab dengan seatu yang menjelaskan kebenaran: “Ia benar-benar telah menyembuhkanku dengan jawaban itu.”
Sakit itu dibawah kematian. Hati itu mati dengan ketidaktahuan total dan sakitnya terjadi dengan satu jenis dari kebodohan. Sehingga, hati itu memiliki kematian dan penyakit, hidup dan obat.
Kehidupan, kematian, sakit, dan sembuhnya hati lebih agung daripada kehidupan, kematian, sakit dan kesembuhan badan.
Oleh karenanya, penyakit hati apabila datang syubhat atau syahwat kepadanya, sakitnya menguat. Jika ia mendapatkan hikmah dan nasehat, itu bagian dari sebab kebaikan dan kesembuhannya. Allah Ta’ala berfirman:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ﴿٥٣﴾
Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Q.S. Al-Hajj: 53.
Sebab, itu mewariskan syubhat bagi mereka. Dan kasar hatinya disebabkan kekeringannya.
Mereka itu hatinya lemah disebabkan penyakit, maka apa yang dimasukkan syaithan menjadi cobaan bagi mereka. Dan hati mereka itu keras dari iman, sehingga menjadi ujian bagi mereka.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لَئِن لَّمْ يَنتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ ﴿٦٠﴾
Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu). Q.S. Al-Ahzaab: 60.
Sebagaimana firman-Nya:
وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ ﴿٣١﴾
Dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (mengatakan), Q.S. Al-Muddatstsir: 31.
Hati mereka tidak mati seperti matinya hati-hati orang kafir dan munafik dan tidak pula hati yang sehat lagi shalih seperti kebaikan hati orang-orang beriman, bahkan didapati penyakit syubhat dan syahwat di dalamnya.
Seperti itu juga, firman-Nya:
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 31.
Dan ini penyakit syahwat. Sesungguhnya hati yang sehat, apabila seorang wanita dihadapkan kepadanya, ia tidak akan menoleh kepadanya.
Berbeda dengan hati yang berpenyakit syahwat, maka ia dengan kelemahannya, akan condong kepada apa yang ditawarkan kepadanya, sesuai dengan tingkat kekuatan dan kelemahan hatinya.
Sehingga, apabila mereka para wanita telah menundukkan perkataannya, hati yang berpenyakit tetap berkeinginan kepadanya.
(Amraadhul Quluub, Ibnu Taimiyyah, hal. 10 – 14)

Hati yang Istiqamah


Iman dan istiqamah dua teman seiring sejalan yang keduanya tidak mungkin untuk dipisahkan. Iman tanpa istiqamah minimal berbuah kemaksiatan dan maksimal kekufuran atau kemunafikan. Wal’iyadzubillah. Dan mustahil bagi seseorang untuk istiqamah tanpa iman.
Oleh sebab ini, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah menasehati umatnya untuk beriman lalu beristiqamah, sebagaimana dalam sabdanya:
قُلْ : آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah! (Hadits Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, riwayat Muslim)
Lalu apa istiqamah itu?
Asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim – semoga Allah merahmatinya – berkata,“Para ulama sepakat bahwa istiqamah adalah pertengahan di antara dua sisi, yaitu lurus tanpa ada kebengkokan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا ﴿١﴾ قَيِّماً ﴿٢﴾
001. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;
002. sebagai bimbingan yang lurus. Q.S. Al-Kahfi: 1 – 2.
Yaitu: tidak ada kebengkokan di dalamnya, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, tidak turun dan tidak naik bahkan pertengahan dan lurus.
Demikian pula mereka mengatakan:
“Amalan yang utama adalah pertengahan dari dua sisi, misalnya: keberanian itu pertengahan antara nekat dan penakut, kedermawanan pertengahan antara berlebih-lebihan dan sangat irit. Seperti itulah istiqamah.”
Jika kita ingin melaksanakan istiqamah di dalam amalan Islam, kita pasti mendapatinya masuk ke setiap bagian darinya. Ia adalah timbangan yang seorang hamba mengukur amalan-amalan dengannya.
Keterangan dari salaf telah datang dalam menjelaskan makna istiqamah. Penjelasan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – ketika ia membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Ia berkata: “Mereka telah beriman kepada Allah dan istiqamah di atas hal itu sampai mati.”
Dan Umar – semoga Allah meridhainya – menerangkan: “Mereka telah beriman kepada Allah lalu istiqamah dan tidak menyimpang seperti penyimpangan serigala.”
Maka, istiqamah di atas iman kepada Allah adalah terus-menerus(kontinyu) di atasnya sampai bertemu Allah dengan ia tetap di atas istiqamahnya itu.”(Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Athiyyah bin Muhammad Salim, Al-Maktabah Asy-Syamilah 6/ 47)
Asy-Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshoriy – berkata:
“Diambil faedah dari hadits:
Perintah untuk istiqamah yaitu berbuat kebenaran dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan niat.
Dan landasannya adalah istiqamah hati di atas tauhid sebagaimana penafsiran Abu Bakr ash-Shiddiq terhadap firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Apabila hati telah istiqamah di atas mengenal Allah(ma’rifatullah), takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengormati-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap, memohon, dan tawakkal kepada-Nya serta berpaling dari selain-Nya, anggota badan pun akan ikut istiqamah menaati-Nya. Karena, sesungguhnya hati itu raja dan anggota-anggota badan adalah pasukannya. Jika sang raja istiqamah, maka pasukannya akan istiqamah pula.”
(At-Tuhfatur Rabbaniyyah fi syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, Ismail bin Muhammad al-Anshariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah 1/ 22)
Dengan ini, kita mengetahu bahwa istiqamah itu berlaku bagi hati dan anggota badan. Kaidah yang telah dipahami bersama bahwa kebaikan hati berbuah kebaikan amalan. Demikian pula, istiqamah hati akan menghasilkan istiqamah anggota badan.
Lalu bagaimana hati itu bisa istiqamah?
Mari kita lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berikut ini:
“Dan kelurusan (istiqamah) hati itu dengan dua hal:
Pertama: kecintaan kepada Allah didahulukan di atas segala jenis kecintaan.
Kemudian, apabila terjadi pertentangan antara cinta Allah Ta’ala dan cinta yang selain-Nya, cinta kepada Allah mendahului cinta yang selain-Nya. Sehingga ia melaksanakan konsekuensi dari cinta itu.
Dan betapa mudahnya pengakuan seperti ini dan betapa sulit mengamalkannya. Ketika ujian datang(menguji cinta kepada-Nya), seseorang akan dimuliakan atau dihinakan. Betapa banyak hamba (ketika datang ujian) mendahulukan apa yang dicintainya dan disenangi hawa nafsunya atau dicintai pembesarnya atau pimpinannya atau syaikhnya atau  keluarganya, di atas apa yang Allah cintai.
Hamba yang seperti ini belum mengedepankan cinta kepada Allah di atas segala jenis cinta. Ia belum memutuskan sesuatu berdasarkan  rasa cinta itu dan belum memerintahkan kepadanya.
Dan sunnatullah terhadap seseorang yang demikian keadaannya, untuk ia dihalangi dari mencintai-Nya dan menggerakkan kecintaan atas-Nya. Ia tidak mendapat dari cinta-Nya kecuali dengan susah-payah  dan terseok-seok, sebagai balasan pengedepanan hawa nafsunya dan hawa nafsu dari orang-orang yang ia agungkan atau yang ia cintai atau mendahulukan kecintaan kepadanya di atas cinta kepada Allah.
Allah telah benar-benar menghukumi dengan ketentuan yang tidak bisa dibantah dan ditolak, bahwa: siapa yang mencintai sesuatu selain-Nya, ia akan diadzab dengannya. Itu suatu keharusan.
Siapa yang takut kepada selain-Nya, Dia kuasakan sesuatu itu atasnya. Dan siapa yang tersibukkan dengan sesuatu dari selain-Nya, maka itu kemalangan atasnya.
Siapa yang mengutamakan yang selain-Nya di atas mengutamakan-Nya, tidak diturunkan barakah padanya. Siapa yang mencari ridha selain-Nya dengan (sesuatu yang menimbulkan) kemurkaan-Nya, Dia pasti memurkainya. Dan ini suatu kemestian.
Yang kedua: Hal yang menjadikan hati istiqamah yaitu mengagungkan perintah dan larangan. Dan itu tumbuh dari pengagungan terhadap yang memerintah dan melarang.
Sesungguhnya Allah mencela seseorang yang mengagungkan-Nya namun tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً ﴿١٣﴾
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?
Q.S. Nuh: 13.

Mereka (ahli tafsir) menyebutkan tafsir ayat ini yaitu “Mengapa kalian tidak takut kepada  kebesaran Allah?”

Dan betapa indah perkataan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) tentang pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya: “Yaitu: keduanya (perintah dan larangan) tidak ditentang dengan mencari rukhsah(keringanan), tidak dilawan dengan sifat keras dari orang yang berlebihan, dan tidak dibawa kepada suatu argumentasi yang melemahkan ketundukan (kepada-Nya).”
Dan makna perkataannya “Bahwasannya awal tingkatan pengagungan Yang Maha Benar – ‘Azza wa Jalla – yaitu mengagungkan perintah dan larangan-Nya”, yang demikian itu dikarenakan seorang mukmin mengenal Rabbnya melalui risalah-Nya yang dibawa oleh Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada seluruh manusia.
Konsekuensi risalah itu: tunduk kepada perintah dan larangan Rasulullah. Dan itu tidak lain terjadi dengan mengagungkan perintah Allah dan mengagungkan serta menjauhi larangan-Nya.
Maka, dengan pengagungan seorang mukmin terhadap perintah Allah dan larangan-Nya, itu menunjukkan pengagungan terhadap yang memberi perintah dan larangan tersebut.
Dan ia, dengan derajat pengagungan ini, akan termasuk golongan orang shalih yang dipersaksikan kepada mereka keimanan, pembenaran, kelurusan akidah, dan terlepas dari kemunafikan yang besar.
Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan suatu perintah karena dilihat oleh makhluk, mencari posisi dan kedudukan di sisi mereka.
Dan ia bertakwa dari perkara-perkara yang haram karena takut jatuh kedudukannya di pandangan manusia. Juga, ia takut dari hukuman duniawi berupa penegakan hukum had yang ditetapkan pembuat syariat – shalallahu ‘alaihi wasallam – atas pelanggaran dari keharaman.
Sehingga, orang ini, ia melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan  bukan karena mengagungkan perintah dan larangan dan bukan pula untuk mengagungkan pembuat perintah dan larangan itu.
Kemudian, tanda bagi pengagungan perintah-perintah (pembuat syari’at):
-          Menjaga waktu dan batasan-batasannya,
-          memeriksa rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan kesempurnaannya,
-          bersemangat untuk melaksanakan pada waktunya,
-          bersegera kepada(pelaksanaan)nya ketika (datang waktu) wajibnya,
-          sedih, , dan menyesal sewaktu lepas satu dari hak-hak perintah itu, seperti: sedih dari ketinggalan shalat berjama’ah.
Dan ia memahami, seandainya diterima shalatnya yang bersendirian, telah lepas darinya (pahala berjama’ah) dua puluh tujuh kali lipat.
(Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, hal. 28 – 29)
Kita memohon kepada Allah keteguhan di atas agama-Nya sampai bertemu dengan-Nya.


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes