26/09/11

Allah Hanya Melihat Hati dan Amalan

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ » رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ((Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati dan amalan-amalan kalian)). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya.
Faedah-faedah mulia dalam hadits ini diantaranya:

1.       Makna hadits: bahwa Allah tidak membalas seseorang berdasarkan bentuk  jasad dan tidak pula atas harta-harta yang kosong dari kebaikan.  Dan itu semua tidak mendekatkan kepada-Nya. Tidak lain Allah hanya melihat kepada hati-hati yang itu tempatnya takwa dan melihat amalan-amalan kalian apakah baik atau tidak (tata caranya).
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴿١٣﴾
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Q.S. Al-Hujuraat: 13.
2.       Bahwa suatu amalan itu teranggap dan bernilai di sisi Allah dengan niat yang ikhlash dan baik bukan dari bentuknya. Sehingga yang dihukumi adalah niat dari yang beramal. Jika niatnya ikhlash maka amalan itu amalan yang shalih. Jika niat pelaku amalan itu tidak ikhlash karena Allah maka amalannya itu rusak walaupun bentuknya adalah amalan shalih.
3.       Hendaknya seseorang tidak berbangga-bangga dengan banyaknya melakukan amalan shalih namun tidak ikhlash karena itu tidak bernilai di sisi Allah. Seseorang yang berinfak dengan nilai yang sedikit disertai ikhlas  itu lebih baik dari seseorang yang berinfak dengan jutaan atau milyaran rupiah namun itu karena riya'. Sebab, yang pertama tercatat sebagai amalan shalih dan memberatkan timbangan amal pelakunya sedangkan yang kedua tidak.
4.       Kecantikan itu ada dua: yang zhahir (tampak) dan bathin (tersembunyi). Kecantikan batin seperti keimanan, ketakwaan, ilmu, akal yang sehat, kedermawanan, akhlak yang mulia. Inilah yang dilihat oleh Allah dan yang dicintai-Nya. Sehingga keindahan batin itu lebih baik dari keindahan zhahir.
5.       Keindahan zhahir seperti harta dan jasmani itu tidak bernilai dan tidak dilihat oleh Allah kecuali jika digunakan di dalam ketaatan kepada-Nya.
6.       Seorang mukmin yang memiliki kecantikan yang batiniah akan memiliki wibawa dan disenangi manusia sesuai dengan kadar keimanannya. Barangsiapa yang melihatnya akan mencintai dan segan kepadanya walaupun ia berkulit hitam dan tidak tampan atau cantik secara fisik. Dan ini hal yang kita saksikan di lingkungan kita.
Dan sebaliknya jika seseorang memiliki keindahan lahiriah namun berakhlak jelek, pelaku kemaksiatan, dan hal-hal yang terlarang, maka akan dibenci dan tidak memiliki kewibawaan di hadapan orang mukmin.
7.       Jika tempat takwa itu di hati maka tidak ada yang bisa menelaahnya kecuali Allah 'Azza wa Jalla. Orang yang menampakkan ketakwaaan secara zhahirnya maka itu yang kita hukumi. Adapun niatnya maka itu antara dirinya dengan Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi segala sesuatu.
8.       Sesungguhnya takwa jika telah ada di hati seseorang maka akan tampak buahnya di amalan anggota badannya dengan ia istiqamah dan meninggalkan kemaksiatan. Dan seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman akan tampak cahaya iman di wajahnya dan akan dikenakan rasa cinta dan wibawa di hadapan manusia.
9.       Di dalam hadits terkandung itsbat (penetapan) sifat nazhar(melihat) bagi Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan pandangan makhluk.
10.   Jika Allah tidak melihat kepada bentuk jasad dan harta seseorang lalu bagaimana kita mengutamakan seseorang dengan sesuatu yang Allah tidak mengutamakannya dengan hal itu? Seperti mengutamakan orang kaya yang fasik dari orang miskin yang shalih. Maka seharusnya kita melihat dan menilai seseorang sebagaimana yang Allah lihat pada seseorang itu yaitu kebaikan amalan-amalan mereka.  
11.   Keindahan jasad, pakaian, dan penampilan itu ada 3 macam:
·         Yang terpuji, yaitu yang diperuntukkan bagi Allah untuk menolong kepada ketaatan kepada-Nya, menunaikan perintah-perintah-Nya dan menjawab seruan-Nya. Sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dahulunya berhias untuk menemui utusan-utusan yang datang kepadanya. Juga berpakaian yang baik di hadapan musuh untuk menunjukkan wibawa kaum muslimin, berbusana yang indah dan harum ketika menghadiri shalat, dan yang semisalnya yang di dalamnya terkandung peninggian kalimat Allah, menolong agama-Nya, dan membuat marah musuh-musuh-Nya.
·         Yang tercela, yaitu yang digunakan untuk dunia, kepemimpinan, berbangga-bangga, sombong, dan mengantarkan kepada syahwatnya serta ia menjadikan itu puncak keinginan dan tujuannya.
·         Yang tidak terkait dengan pujian dan celaan, yaitu yang lepas dari dua niat dan dua sifat yang tersebut di atas. 

(Rujukan: Al-Kabair Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab, I'anatul Mustafid Al-Fauzan, Minhaajus Sunnah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Jami'ul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab, Majmu' Fatawa wa Maqaalat Ibnu Baz, Al-Fawaid Ibnul Qayyim, Raudhatul Muhibbin Ibnul Qayyim)

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes