30/01/12

Hukum Menikahi Wanita Hamil akibat Zina


الحمد لله رب العالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ولي الصالحين، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا،
وبعد:
Maraknya perbuatan zina telah mencarut-marut dan merobek-robek sendi-sendi akhlak kaum muslimin.
Seorang muslim yang mempelajari diinnya dengan baik akan mengetahui bahwa ini bagian tanda akhir zaman sebagaimana kabar benar dari lisan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا
Sesunguhnya diantara tanda-tanda akan tegaknya Hari Kiamat:
Diangkatnya ilmu, menguatnya kebodohan, diminumnya khamr, dan perbuatan zina yang  merebak. Hadits Anas riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dan yang miris, banyak pemuda-pemudi Islam yang melakukan free sex (seks bebas versi kehidupan hewan pengumbar nafsu), demi bergaya hidup ala orang-orang kafir. Wal’iyadzubillah.
Dan suatu kemakluman bahwa keharaman akan membuahkan keharaman – yang terkadang lebih besar dari keharaman yang awal.
Lihatlah bagaimana perbuatan keji ini membuahkan keharaman lain seperti: aborsi, membuang bayi hasil zina, membunuh wanita yang dihamili, dan yang sejenisnya. Kita berlindung kepada Allah dari segala kejelekan semacam ini.
Diantara sekian keharaman yang melilit gaya hidup free sex ini, muncul kesalahan yang menumpuk keharaman di atas keharaman yaitu: bahwa seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan lalu hamil, ia dengan gentle (jantan) akan “bertanggung-jawab” dengan menikahi wanita yang hamil akibat berzina dengannya.
Lalu, benarkah perbuatan ini dalam timbangan syariat?
Mari kita simak pembahasan ilmiah dari Asy-Syaikh Abu ‘Ammar Ali Al-Al-Hudzaify berikut ini:

Pendapat Ulama tentang Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina
الحمد لله رب العالمين، و صلى الله وسلم و بارك على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين، وبعد:
Sebelum menikah dengan wanita pezina, selayaknya (mengetahui) hal berikut:
Pertama:   
Tidak disyariatkan menikahi wanita pezina secara mutlak sebab Allah Ta’ala berfirman:
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ﴿٣﴾
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu (menikahi wanita pezina) diharamkan atas orang-orang yang mukmin. Q.S. An-Nuur: 3.
(Tidak boleh menikahi wanita pezina) baik yang menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya atau yang selainnya, kecuali terpenuhinya dua perkara:
Pertama: (Wanita itu) bertaubat dari perzinaannya.
Dan Syaikhul Islam (ibnu Taimiyah) membolehkan untuk ia (wanita pezina itu) diuji atas (kebenaran) taubatnya, sebagaimana dalam penjelasannya yang panjang dan bukan di sini tempat untuk membahasnya.
Dan ulama yang lain melarang dari melakukan ujian(terhadap wanita pezina yang mengaku telah bertaubat), diantara mereka (yang berpendapat seperti ini) adalah Ibnu Qudamah sebagaimana dalam kitab Al-Mughni.
Kedua: Selesai ‘Iddah (waktu) yang diharamkan untuk Menyetubuhinya.
Maka, jika ia(wanita pezina itu) hamil, maka ‘iddahnya selesai (untuk boleh dinikahi) dengan melahirkan.
Dan jika ia tidak hamil maka iddahnya satu kali haidh, menurut pendapat yang shahih. Dan ini madzhab (pendapat) Malik, satu riwayat dari Ahmad, dan pilihan Syaikhul Islam.
Kedua:
Jika wanita pezina itu telah bertaubat dan selesai ‘iddahnya lalu dilakukan akad dengannya.
Permasalahan ini, di dalamnya ada tiga pendapat:
Pertama: disyariatkan untuk melakukan akad kepadanya dan dukhul (menyetubuhi) nya. Ini madzhab Asy-Syafi’i.
Kedua: disyariatkan untuk melakukan akad dan tidak boleh dukhul sampai selesai ‘iddahnya.
Dan ini madzhab Abu Hanifah, Ibnu Hazm berpendapat dengannya, dan ini pilihan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.
Ketiga: tidak disyariatkan melakukan akad kepadanya. Jika telah melakukan akad maka itu batil (tidak sah).
Ini madzhab Malik, Ahmad, Ishaq, pilihan Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim di Zaadul Ma’ad, dan ini pendapat yang shahih.
Dan tidak ada perbedaan yang menjadi suami adalah yang menzinainya atau selainnya.
Berdasarkan ini, maka fatwa (yang benar) bahwa akad itu batil, yaitu fatwa dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh kepada seseorang yang menikahi seorang wanita yang ia telah menzinainya lalu melakukan akad dengannya, sebagaimana di dalam kitab Taudhihul Ahkaam (jilid 3 hal. 408).
Dan aku mendengar Syaikh kami Muhammad bin Abdulwahhab al-Wushoby memfatwakan ini kepada seseorang yang telah melakukan akad dengan laki-laki yang telah menzinai wanita itu dan ia hamil dengan sebab perzinahan itu. Beliau berkata:
“Akadnya batil (tidak sah).”
Ketiga:
Setelah (wanita pezina) bertaubat dari zina dan selesai iddah, dibolehkan bagi laki-laki yang menzinainya untuk menikah dengannya dan melakukan akad sebagaimana ia boleh melakukan dengan wanita mana pun. Maka, mesti ada wali dan dua saksi.

Keempat:
Anak yang dihasilkan sebelum pernikahan dan datang dari jalan perzinahan, maka ia dinisbahkan (nasabnya) kepada si wanita saja. Dan sang bapak tidak memiliki hubungan apapun dengannya, tidak wajib untuk menafkahinya, dan tidak disyariatkan untuk ia mengakuinya (sebagai anaknya), kecuali berdasarkan pendapat yang disebutkan sebagian ulama bahwa disyariatkan untuk mengakuinya (sebagai anak).
Namun, pendapat yang shahih yang disebutkan kelompok yang lain bahwa tidak disyariatkan untuk mengakuinya. Dan itu pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dan berdasarkan ini, maka tidak boleh untuk ia memasukkannya bergabung bersama anak-anak perempuannya yang dilahirkan setelah (menikah dengan) akad syar’i.
Dan pendapat yang lain – yaitu pendapat bolehnya untuk mengakui (sebagai anak) -, Syaikh Al-‘Utsaimin berkata: “Tidak pantas untuk berfatwa dengannya.”
Syaikh memaksudkan bahwa itu membuka pintu zina, karena seorang pemuda akan berzina dengan seorang pemudi, lalu orang  tua pemudi takut dari terbukanya aib, maka ia menikahkan pemuda itu dengannya. Kemudian, ia (pemuda itu) mengakuinya (sebagai anaknya) setelah pernikahan dengan pemudi itu.
Maka, memfatwakan disyariatkannya mengakui (anak zina sebagai anaknya) akan membuka pintu bermudah-mudahan dalam berzina. Dan ini pendapat yang shahih.


0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes