30/12/11

Meruqyah dengan membacakan Al-Qur’an ke air?

Apa hukum membacakan Al-Qur’an ke air?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly – semoga Allah memanjangkan umurnya – menjawab:
“Tidak pantas, walau sebagian ulama berpendapat dengannya, tidak didapati dalil atasnya.
Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak melakukan ini, para shahabat (juga) tidak melakukan. Semoga Allah memberkahimu.
Dan mereka (para ulama) yang membolehkan penulisan, beberapa hal, mencuci, dan semisal hajat ini (ketika meruqyah), mereka tidak memiliki dalil. Dan mereka telah mengajarkan kepada kita untuk tidak menerima suatu permasalahan kecuali dengan adanya dalil.
Maka, setiap pendapat diterima dan ditolak kecuali (yang datang dari) Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam –.”

27/12/11

Menangani Anak yang Bermain-main ketika Shalat dan Memindahkan Anak dari Shaf Depan

Syaikh yang mulia, terkait anak-anak yang belum mampu shalat dengan baik, berpaling sana-sini, atau rukuk dan tidak sujud bersama imam, apakah boleh mengeluarkan mereka dari shaf atau dibiarkan?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – menjawab:

Anak-anak kecil, jika mereka didapati mengganggu maka dikeluarkan, namun tidak dengan melarang dan meneriaki mereka.
Tidak lain, dengan menghubungi wali-wali mereka dan menyampaikan : “Wahai fulan, sesungguhnya anakmu atau saudaramu membuat keributan atas (shalat) kami” sehingga pencegahannya dari masjid datang dari sisi walinya.
Dan kamu memahami bahwa jika kamu berteriak kepada anak ini, ia akan terganggu, membenci masjid, dan benci untuk mendatanginya. Dan mungkin akan ada sesuatu dalam hati walinya kepadamu.
Namun, jika kamu mendatangi (penyelesaian) masalah dari pintunya, pasti akan menjadi lebih baik.
Adapun jika tidak terjadi gangguan dari anak-anak, tidak dengan perkataan dan perbuatannya, maka tidak boleh mengeluarkannya dari masjid dan tidak memindahkannya dari tempatnya – walaupun ia di shaf terdepan – ke tempat lain. Bahkan, ia tetap di tempatnya – walau di belakang imam – sebab seseorang yang telah mendahului kepada sesuatu maka ia yang paling berhak kepadanya.
Dan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah melarang untuk seseorang menegakkan saudaranya dari tempat(duduk)nya lalu ia duduk padanya.
Dan sebagian ulama telah berpendapat bolehnya memindahkan anak-anak dari shaf pertama ke shaf kedua. Kemudian, jika (shaf kedua penuh dan) orang-orang yang telah baligh datang, mereka menggeser anak-anak ke shaf ketiga. Demikian seterusnya sampai mereka(anak-anak) berada di (shaf) akhir masjid yang (pendapat ini) dibangun dari sabda Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam - :
( لِيَلِنِي منكم أولو الأحلام والنُّهى )
Hendaknya  mendekat kepadaku orang-orang yang baligh dan berakal dari kalian.
An-nuha yaitu orang-orang yang berakal.
Namun, beristidlal dengan hadits ini dalam (penyelesaian) masalah ini perlu penelaahan lebih dalam. Sebab, Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – ketika mengucapkan “Hendaknya  mendekat kepadaku orang-orang yang baligh dan berakal dari kalian”, Beliau ingin menganjurkan mereka untuk maju (ke shaf terdepan) sehingga mendekat ke Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Seandainya yang dikehendaki adalah pengusiran anak-anak dari shaf pertama dan yang semisal itu, maka Beliau akan mengucapkan: “Janganlah mendekatiku dari kalian kecuali orang yang baligh dan berakal.”
Lalu, jika ungkapan hadits “Janganlah mendekatiku kecuali orang yang baligh dan berakal”, maka kita katakan: ini larangan untuk anak-anak dan orang gila dari mendekatinya sehingga mereka dipindahkan ke tempat lain.
Kemudian, memindahkan anak-anak dari shaf-shaf terdepan sampai mereka berada di shaf akhir, ini termasuk yang menambah kebencian mereka terhadap masjid dan orang-orangnya dan akan menambah kegaduhan mereka juga.
Jika mereka (anak-anak) berada pada satu shaf, pasti muncul banyak kegaduhan dari mereka, berbeda jika mereka berada di sela-sela orang dewasa.
Ya, kalau kita mendapati ada anak-anak disamping kita dan kita khawatir keduanya akan berbuat keributan, maka tidak mengapa untuk memisahkan keduanya sebagai pencegahan dari mafsadah / kerusakan yang dikhawatirkan.

(Liqa’ul Babil Maftuuh, 67/ 11)

26/12/11

Tarbiyah di atas Sunnah bukan Bid'ah

Apa hukum mendidik santri-santri untuk melakukan dzikir di akhir shalat atau bertasbih secara berjamaah dan dengan suara keras?

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:

Santri-santri diajarkan dzikir-dzikir dan doa-doa dan disemangati untuk menghafalnya sesuai yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.

Namun, tidak diminta dari mereka untuk menunaikannya dalam bentuk berjamaah dan suara keras karena itu bid’ah menyelisihi dalil dan tidak ada dalil atasnya.
Dan tidak layak untuk membiasakan dan menumbuhkan santri-santri di atas kebid’ahan.

Dan kepada Allah semata kita memohon taufik.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

 (Soal ke-3 dari Fatwa no. 20107)

Wajib Mendidik Anak dari Kecil hingga Dewasa

Didapati sebagian orang tua yang memiliki anak-anak yang sudah besar, dan mereka tidak membimbing anak-anak mereka dengan prasangka bahwa kewajiban telah jatuh dari pundak mereka sebab anak-anak mereka telah besar. Maka, mereka tidak membimbing anak-anak mereka untuk shalat dan tidak pula berpuasa. Mereka membiarkan kepada anak mereka kebebasan mutlak. Apakah perilaku ini benar? Berikan faedah kepada kami disertai penjelasan dan dalil-dalil yang cukup.

Al-Lajnah Ad-daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:

Mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran wajib atas muslimin secara umum dan atas orang tua kepada anak-anak mereka secara khusus, baik anak-anak masih kecil atau sudah besar.

Dan wajib atas mereka untuk tolong-menolong bersama orang-orang yang mulia untuk menerapkan pengamalan syariat, mengambil (anak-anak) dari tangan-tangan orang bodoh dan jelek budi pekertinya, dan mereka dalam bingkai kebenaran agar mereka sungguh-sungguh beristiqamah, kebaikan menyebar, dan masyarakat selamat dari kejelekan dan kerusakan. Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

(Soal ke-2 dari fatwa no. 9291)

25/12/11

Mengenalkan Halal-Haram kepada Anak

عن أَبي هريرة - رضي الله عنه - ، قَالَ : أخذ الحسن بن علي رضي الله عنهما تَمْرَةً مِنْ تَمْر الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا في فِيهِ ، فَقَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( كَخْ كَخْ إرْمِ بِهَا ، أمَا عَلِمْتَ أنَّا لا نَأكُلُ الصَّدَقَةَ !؟ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridhainya -, ia berkata: “Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) –semoga Allah meridhai keduanya – telah mengambil sebiji kurma dari kurma sedekah, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka, Rasulullah bersabda :
Kakh! Kakh! (kalimat larangan, pen.) Keluarkan ia! Tidakkah kamu telah mengetahui bahwa kita tidak makan dari sedekah?!
H.R. Bukhari dan Muslim.

Hadits yang mulia ini mengandung faedah-faedah agung, diantaranya:

1.       Wajib untuk mendidik dan mengajarkan halal-haram kepada anak sejak dini.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata: “Maka, di dalam (hadits) ini menjadi dalil wajibnya bagi seseorang untuk mendidik (mengingatkan) anak-anaknya dari perbuatan haram sebagaimana wajib atasnya untuk mendidik mereka mengerjakan yang wajib. (Syarh Ryadhush Shalihin, 2/ 80)

Al-Hafizh Ibnu Hajar – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalam hadits…mendidik mereka (anak-anak) kepada apa-apa yang bermanfaat dan melarang dari yang membahayakan mereka dan dari mengambil yang haram walaupun mereka belum mukallaf (baligh) agar mereka merenunginya.”

(Fathul Bary, 3/ 355)

2.       Pelarangan kepada anak yang belum baligh dari sesuatu yang diharamkan kepada mukallaf(yang telah menanggung beban syariat). (Tathriz Ryadhis Shalihin, Faishal Alu Mubarak, 214)

Sehingga, anak-anak tidak dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa ada pelarangan dan pengarahan.

Dan tidak benar perkataan sebagian orang yang tidak melarang anaknya dengan berdalih bahwa mereka masih kecil dan belum paham baik-buruk atau benar-salah, atau jika kita banyak melarang anak akan menghambat dan mematikan keinginan anak untuk kreatif. Wallahu a’lam.

3.       Wajib atas wali/ orang tua untuk melindungi anak dari hal-hal yang jelek. Al-Imam An-Nawawy –semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalam hadits (terkandung) bahwa anak-anak kecil dilindungi dari apa-apa yang orang dewasa dilindungi darinya dan dilarang dari memberinya. Dan ini wajib atas wali.” (Al-Minhaaj Syarh Muslim, An-Nawawy, 7/ 175)

4.       Bagi wali/ orang tua untuk menjelaskan sebab pelarangan sesuatu agar anak memahami mengapa ia tidak boleh melakukannya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalamnya terkandung pemberitahuan sebab dari pelarangan.” (Fathul Bary, 3/ 355)

Abul Hasan Ubaidullah bin Muhammad Al-Mubarakfury berkata:

“Dan hadits menunjukkan bahwa anak-anak dijauhkan dari yang haram seperti orang dewasa. Dan ia diberitahu kenapa ia dilarang darinya agar ia tumbuh di atas ilmu. Lalu ketika datang waktu pembebanan syariat kepadanya, ia di atas ilmu dari syariat.”(Mir’atul Mafatih, 6/ 214)

Ini makna dari sabda Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam - : Tidakkah kamu telah mengetahui bahwa kita tidak makan dari sedekah?!


5.       Mengajak bicara seseorang yang belum tamyiz untuk memperdengarkan hukum syariat kepada wali/orang tuanya, sebab Al-Hasan pada saat itu masih kecil.(Fathul Bary, 3/ 355, 10/ 585)

6.       Sedekah haram bagi Nabi Muhammad dan keturunan bani Hasyim.

Wallahu Ta’ala a’lam bishshawab.

24/12/11

Memakaikan Anak Pakaian Islami Sejak Dini

Terkait anak-anak saya yang masih kecil, apakah mengajarkan mereka adab-adab Islam dan mengharuskan anak perempuan kecil dengan pakaian islami termasuk tasyaddud(sikap berlebihan)? jika perbuatanku ini benar, maka apa dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah?

Dewan Tetap Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi menjawab :

Apa yang kamu sebutkan dari mengharuskan anak-anak perempuan dengan pakaian yang lebar dan menutupi(aurat) dan membiasakan mereka dengan itu sejak kecil, ini bukan tasyaddud (sikap berlebihan). Bahkan, kamu di atas kebenaran dalam mendidik mereka dengan didikan islami.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

الفتوى رقم ( 10362 )


Membangunkan Anak untuk Shalat ketika Cuaca Dingin?

Saya memiliki anggota keluarga berusia  9 – 11 tahun dan saya membangunkan mereka (di pagi hari) untuk shalat. Dan pada shalat fajar(shubuh) cuaca dingin. Sebagian khatib melarangku, mereka katakan: “Sesungguhnya kamu berdosa terhadap anak-anak kecil itu.” Sekarang kami tanyakan: apakah saya berdosa atau tidak?


Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:

 Jika realita seperti yang anda sebutkan, maka anda telah berbuat baik – semoga Allah membalasmu dengan kebaikan -.

Dan kami berharap semoga Allah memberimu pahala serta menjadikanmu teladan yang baik bagi orang-orang lain yang memiliki anak.

Dan telah salah seseorang yang menyebut: kamu berdosa. Dan kami berharap semoga Allah mengampuninya, memberinya taufik kepada kebenaran, dan mendorongnya melakukan kebaikan.

Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim  telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr – semoga Allah meridhai keduanya – bahwa Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda :

( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )

Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!

Hadits mulia ini umum (memerintahkan anak shalat) di waktu musim dingin atau selainnya.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .


اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء من الفتوى رقم 13135


Kapan memulai pengajaran kepada anak?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata:
Pengajaran kepada anak dimulai sejak mereka mencapai usia tamyiz[1]. Maka,(pada usia tamyiz) dimulai pengajaran mereka dengan tarbiyah keagamaan karena Rasulullah r bersabda:
( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )
Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!
(H.R Abu Daud Dari hadits Abu Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya (Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash)
Jika anak telah mencapai usia tamyiz, pada saat ini diperintah kepada orang tua untuk mengajarkan(anak)nya dan mendidiknya di atas kebaikan. Hendaknya ia mengajarkan Al-Qur’an dan apa yang mudah dari hadits-hadits, mengajarkannya hukum-hukum syar’I yang sesuai dengan tingkatan usia anak ini. Ia ajarkan bagaimana berwudhu dan tatacara shalat. Diajarkan dzikir-dzikir saat akan tidur dan ketika bangun, makan dan minum.
(Semua ini diajarkan) sebab anak jika telah sampai usia tamyiz, maka ia memahami apa yang yang diperintahkan dan dilarang kepadanya.
Begitu pula, ia(orangtua) melarangnya dari perkara-perkara yang tidak pantas dan menjelaskan kepadanya bahwa hal-hal tersebut tidak boleh baginya untuk melakukannya, seperti: dusta, mengadu domba, dan lainnya. (Demikian) sehingga anak terdidik di atas kebaikan dan meninggalkan kejelekan sejak dini.
Ini permasalahan penting yang sebagian manusia lalai darinya terhadap anak-anak mereka.
Sesungguhnya kebanyakan orang tidak mementingkan urusan-urusan anak-anak mereka dan tidak mengarahkan mereka dengan bimbingan yang selamat. Dan meninggalkan mereka terabaikan, tidak diperintah untuk shalat dan tidak ditunjukkan kepada kebaikan.
Bahkan anak-anak mereka tumbuh diatas ketidaktahuan dan di atas perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Mereka bergaul dengan orang-orang jelek, keluyuran di jalanan, dan mengabaikan pelajaran-pelajaran mereka, dan lain-lainya dari hal yang merusak yang kebanyakan pemuda-pemudi muslim tumbuh di atasnya dikarenakan ketidakperdulian orangtua mereka. Sedangkan mereka(orangtua) akan diminta pertanggungjawabannya sebab Allah membebani mereka pengurusan anak-anak mereka. Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )
Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!
Dan (hadits) ini perintah dan pembebanan kepada para orang tua.
Maka, yang tidak memerintah anak-anaknya untuk shalat, ia telah memaksiati Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam –, melakukan keharaman, dan meninggalkan kewajiban atasnya yang Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – melazimkan kepadanya.
Dan Rasulullah  – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Kalian seluruhnya adalah pemimpin. Dan kalian seluruhnya akan ditanya  (kepemimpinannya) kepada yang dipimpin.
( H.R. Al-Bukhory dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar – radhiallahu ‘anhuma)
Sebagian orang tua – yang menyedihkan – sibuk dengan urusan-urusan dunianya, tidak menoleh kepada anak-anaknya, tidak meluangkan waktu sedikitpun untuk mereka, tidak lain seluruh waktunya terfokus kepada urusan-urusan duniawi.
Dan ini permasalahan yang berbahaya yang banyak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin yang berakibat jelek terhadap tarbiyah anak-anak mereka.
Maka, mereka(anak-anak kaum muslimin) tidak mendapat kebaikan diin dan dunia.
Dan tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, no. 421)


[1] Batasan usia tamyiz yaitu : mungkin baginya untuk mengetahui sesuatu dengan apa yang ia diatasnya dan mungkin untuk ia melakukan suatu tindakan serta amalan yang beraneka ragam dengan kehendaknya.

17/12/11

Keutamaan Akhlak Mulia

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Salman – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Akhlak yang baik akan menutupi kejelekan-kejelekan dan akhlak yang jelek akan menutupi kebaikan-kebaikan.

Siapa yang baik akhlaknya, kehidupannya pasti akan baik, umumnya akan langgeng keselamatannya, dan kecintaan kepadanya akan melekat di jiwa-jiwa (manusia).

Dan siapa yang jelek akhlaknya , kehidupannya akan sulit, kebencian padanya akan terus berlangsung, dan jiwa-jiwa akan lari (berpaling) darinya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada nabi-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam - :

وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ ﴿١٥٩﴾

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Q.S. Ali Imraan: 159.

Akhlak mulia – keumumannya – mengantarkan kepada keselamatan, mengamankan dari penyesalan, menyebabkan persatuan, membangkitkan perbuatan mulia, dan mengamankan dari perpecahan, dengan ijin Allah Ta’ala.

Dan siapa yang berakhlak jelek, pasti terkumpul padanya kesulitan di dunia dan akhirat.”

(Iyqaazhu ahlil himaam al-‘aliyah ila ightinaamil ayyaamil khaliyyah, Abdul Aziz bin Muhammad As-Salman, hal. 23)

Sepuluh Kesia-siaan

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah – semoga Allah merahmatinya – berkata :

“Sepuluh perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat:

1.       Ilmu yang tidak diamalkan.

2.       Amalan yang tidak ada ikhlash dan pengikutan(Rasulullah) di dalamnya.

3.       Harta yang tidak diinfakkan, maka ia tidak bersenang-senang dengan seluruh hartanya di dunia dan tidak didatangkan padanya di akhirat.

4.       Hati yang kosong dari mencintai, merindukan, dan keramahan kepada Allah.

5.       Raga yang menolak menaati dan melayani/ membantu-Nya.

6.       Rasa cinta yang tidak terkait dengan keridhaan yang dicintai (Allah, pen.) dan tidak mengikuti perintah-perintah-Nya.

7.       Waktu  yang tidak memperbaiki kelalaian atau memanfaatkan kesempatan (berbuat) kebajikan dan mendekatkan diri (kepada Allah).

8.       Pikiran yang berputar-putar pada sesuatu yang tidak berfaedah.

9.       Bantuan/ pelayanan kepada seseorang – yang bantuan/ layananmu kepadanya itu – tidak mendekatkanmu kepada Allah.

Tidak  kembali kepadamu (dengan melayaninya) kebaikan duniamu, rasa takut dan pengharapanmu kepada seseorang yang ubun-ubunnya di tangan Allah.

Dan dia adalah tawanan dalam genggaman-Nya.

Dan ia tidak memiliki atas dirinya kejelekan dan manfaat, tidak (menguasai) hidup, mati, dan tempat kembali = usaha yang sia-sia.

10.   Kesia-siaan yang paling besar pada dua hal yang keduanya landasan bagi setiap kesia-siaan: Kesia-siaan hati dan waktu.

Kesia-siaan hati berasal dari mementingkan dunia di atas akhirat.

Kesia-siaan waktu muncul dari angan-angan yang panjang.

Kerusakan seluruhnya telah terkumpul di dalam pengikutan hawa nafsu dan angan-angan yang panjang.

Dan kebaikan seluruhnya terdapat di dalam pengikutan hidayah(petunjuk Allah dan Rasul-Nya) dan persiapan untuk bertemu (Allah).

Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan.



(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim, hal. 147)


Hubungan Hati dan Lisan ketika Berdzikir

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah – semoga Allah merahmatinya – berkata :

“Diantara orang-orang yang berdzikir, ia memulai dzikir dengan lisan walaupun ia dalam keadaan lalai. Kemudian, ia terus dalam keadaannya itu sehingga hatinya hadir (berdzikir), maka (hatinya) ikut bergabung berdzikir (dengan lisannya).

Dan diantara mereka ada yang tidak terlihat seperti itu dan tidak memulainya dengan kelalaian, bahkan ia (dalam kondisi) tenang sehingga ia menghadirkan hatinya lalu ia masuk berdzikir dengan hatinya. Kemudian, jika telah kuat (berdzikir dengan hati) dia ikutkan (berdzikir) dengan lisannya, maka telah bergabung seluruhnya(hati dan lisan).

(Jenis) yang pertama: dzikir itu berpindah dari lisan menuju hatinya.

Yang kedua: (dzikir itu) berpindah dari hatinya menuju lisannya, tanpa hatinya kosong dari berdzikir. Bahkan, ia memulai dengan menenangkan diri  sampai ia merasakan hadirnya pengucapan (dzikir) di dalamnya.

Lalu, ketika ia telah merasakan itu, ia mengucapkan dengan hatinya dilanjutkan pengucapan (dzikir) dengan hati berpindah kepada pengucapan lisan dan seterusnya  sampai ia tenggelam dalam keadaan itu sehingga ia mendapati segala sesuatu dari (ucapan hati dan lisan)nya dalam keadaan mengingat (apa yang ia ucapkan).

Dan dzikir yang terbaik dan yang paling bermanfaat:

- (Dzikir) yang bersatu antara hati dan lisan di dalamnya.

- Dan (dzikir) itu termasuk dari dzikir-dzikir nabawy (yang shahih datang dari lisan Nabi –shalallahu ‘alaihi wasallam, pen).

- dan ia (ketika berdzikir) menyaksikan makna-makna dan tujuan-tujuan(dzikir)nya.”

(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim, hal. 233)






13/12/11

Hukum Shalat Seseorang yang Salah dalam Urutan Wudhu

Seseorang salah dalam urutan wudhu, misalkan : mengusap kepala sebelum membasuh kedua tangannya dalam keadaan ia sadar/ mengetahui, apakah sah shalatnya dengan wudhu (seperti) ini?

Jawab:

Shalatnya tidak sah sebab wudhu seperti ini tidak sah, dari sisi ia memulai dengan mengusap kepala sebelum membasuh kedua tangannya, sedangkan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ ﴿٦﴾

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Q.S. Al-Maaidah: 6.

Dan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – berwudhu’ dengan wudhu’ yang berurutan(sesuai ayat). Maka, jika seseorang membalik (urutan) wudhu’nya maka ia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah Allah dan Rasul-Nya atasnya.

Dan telah tetap dari Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bahwa Beliau bersabda:

(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ علَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))

Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka ia(amalan tersebut) tertolak. (H.R. Muslim, dari ‘Aisyah – radhiallahu ‘anha - )

Yaitu : tertolak atasnya.

Jika wudhu’ itu tertolak maka tidak sah. Dan jika ia shalat dengan wudhu’ ini maka ia telah benar-benar shalat dengan wudhu’ yang tidak sah, sehingga shalatnya tidak diterima sebab Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُورٍ

Allah tidak menerima shalat dengan tanpa bersuci(wudhu).
(H.R. Muslim, dari Ibnu Umar dengan lafazh:لاَ تُقْبَلُ صَلاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ)

(Liqa’atul Baabil Maftuuh, Al-Utsaimin, jilid 1 hal. 26)

Masbuq Mendapati Imam Sedang Rukuk, Apa yang Dilakukan?

Masbuq mendapati imam sedang rukuk, apa yang dilakukan?

Jawab:

Jika masbuq masuk ke dalam shalat dan imam sedang rukuk, ia harus melakukan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri kemudian jika ia menghendaki bertakbir untuk rukuk dan jika menghendaki ia tidak bertakbir.

Takbir untuk rukuk dalam keadaan ini mustahab, demikian ini pendapat dari para ulama – semoga Allah merahmati mereka.

(Liqa’atul Babil Maftuuh, Syaikh Al-Utsaimin, jilid 1 hal. 19)


12/12/11

Bagaimana Jika Mendapati Imam sedang Tasyahud Akhir?

Seseorang mendapati tasyahud akhir sebelum imam mengucapkan salam, apakah ia dianggap mendapatkan keutamaan shalat berjamaah atau pahala (shalat) sendirian? Dan apakah afdhal jika masuk masjid dan imam sedang tasyahud akhir untuk ia menyempurnakan tasyahud (bersama imam) atau ia menunggu orang-orang datang untuk shalat (jama’ah kedua) bersama-sama?

Jawab:

Seseorang yang mendapati imam sedang tasyahud akhir dari shalat tidak dianggap mendapati jama’ah. Namun, ia mendapat pahala sesuai kadar yang ia dapati dari shalat bersama imam.

Yang teranggap mendapati jama’ah hanya seseorang yang paling sedikit mendapati satu raka’at bersama imam, sebab Nabi  - shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda :

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

Siapa yang mendapatkan satu rakaat (bersama imam), maka ia benar-benar telah mendapatkan shalat (berjama’ah).

Dan yang afdhal (lebih utama) baginya untuk ia masuk (shalat) bersama imam, karena keumuman hadits:

مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوْا

Apa yang kalian dapati maka (ikut) shalatlah, dan apa yang lewat dari kalian maka tunaikanlah(kekurangannya).

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.


(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, soal ke-7 dari fatwa no. 7371)

Bolehkah Mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi kepada Selain Muslim?

Bolehkah mengucapkan selamat tahun baru masehi kepada selain muslim, tahun baru hijriyah, dan maulid Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam - ?

Jawab :

Tidak boleh mengucapkan selamat pada peristiwa-peristiwa ini, karena perayaannya tidak disyariatkan.

بالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Soal Pertama dari Fatawa no. 20795.)

Apa Landasan Ekonomi Islam?

Para Ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:

Ekonomi Islam berdiri di atas perdagangan yang syar’i dengan pengembangan harta pada apa yang Allah halalkan, sesuai dengan kaedah-kaedah dan batasan-batasan muamalah yang disyariatkan, terbangun di atas hukum asal “boleh dan halal” dalam muamalah, dan menghindari setiap muamalah yang Allah haramkan, seperti : riba.

Allah Ta’ala berfirman :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Q.S. Al-Baqarah : 275.

Dan Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Lalu, jika telah ditunaikan shalat, maka menyebarlah di muka bumi dan mintalah keutamaan dari Allah serta perbanyaklah mengingat kepada Allah semoga kalian beruntung. Q.S. Al-Jumu’ah :  10.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, no. 17627)

Batasan Laba Perdagangan

Apakah secara syar’i ada persentase dan batasan tertentu untuk laba perdagangan atau tidak ada batasannya walau mencapai satu atau dua kali lipat?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan –semoga Allah menjaganya- menjawab:

Tidak ada batasan untuk laba perdagangan karena Allah membolehkan perdagangan dan jual-beli tanpa mengikatnya dengan jumlah keuntungan tertentu.

Allah Ta’ala berfirman:

إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ﴿٢٩﴾

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Q.S. An-Nisaa’ : 29.

Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ﴿٢٨٢﴾

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Q.S. Al-Baqarah: 282.

Dan Allah tidak membatasi laba jika keuntungan ini berjalan di atas bentuk yang shahih dan disyariatkan.

Adapun jika keuntungan ini dalam bentuk yang tidak syar’i seperti laba atau faedah ribawy atau terdapat penimbunan hajat orang yang butuh dan terpaksa, maka dibenci(makruh) untuk seseorang menahan hajat orang yang terpaksa dan menambah atasnya nilai keuntungan yang memberatkan, karena ia butuh dan terdesak. Maka, tidak disukai yang seperti ini.

Adapun jika laba itu termasuk apa yang biasa berjalan atau disebabkan kenaikan harga maka tidak mengapa.

Penanya : “Walaupun laba itu, misalkan, mencapai satu atau dua kali lipat?”

Asy-Syaikh Fauzan:

Tidak ada batasan dan terkhusus jika banyaknya keuntungan dikarenakan kenaikan dan mahalnya harga(barang). Maka tidak mengapa yang demikian ini.

Hanya saja, sebagaimana yang telah kami ingatkan bahwa selayaknya bagi seorang muslim untuk pemurah hati kepada saudaranya muslim, tidak memberatkannya dengan hutang dan harga(yang tinggi), terlebih jika orang tersebut butuh dan terdesak.

(Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Al-Fauzan, 5/ 203)

Rezeki yang Halal dan Baik

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاء وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿١٦٩﴾

168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

169. Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.Q.S. Al-Baqarah: 168 - 169.

Saudaraku muslim –semoga Allah senantiasa menjagamu-….

Ayat yang mulia ini memberikan faedah dan hikmah yang penting, diantaranya:

1.       Allah memerintahkan kepada seluruh manusia, mukmin ataupun kafir, untuk memakan makanan yang halal dan thayyib ( baik).

Makanan yang halal yaitu:

-           yang boleh bagi mereka untuk mengambilnya, bukan dari hasil mencuri atau yang semisalnya.

-          atau bukan dari muamalah yang diharamkan, seperti hasil dari jual-beli ribawy.

-          Atau bukan dari muamalah dalam bentuk yang diharamkan, seperti hasil penipuan.

-          Atau bukan dari jenis yang diharamkan secara zatnya seperti hewan buas.

Oleh karenanya, keharaman itu ada dua(2):

-          Keharaman secara zatnya.

-          Keharaman yang disebabkan cara memperolehnya yang melanggar hak Allah atau hak manusia.

Makanan yang thayyib/ baik yaitu : bukan berasal dari sesuatu yang khabits/ jelek seperti bangkai, darah, daging babi, dan yang lainnya.

2.       Ayat ini termasuk dari dalil untuk kaedah “Hukum asal  dari segala sesuatu adalah mubah untuk dimakan dan dimanfaatkan kecuali yang dalil-dalil menunjukkan keharamannya.”



3.       Terkandung dalam ayat ini: makan dengan kadar yang cukup untuk menegakkan badan hukumnya wajib dan berdosa meninggalkannya. Sebab, Allah memerintahkan manusia untuk makan demi kebaikan mereka dan jasad mereka. Adapun berapa kadarnya maka itu relatif, yang tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Namun, ukurannya adalah cukup untuk menegakkan badannya.


4.       Allah melarang manusia dari mengikuti langkah-langkah syaithan dalam mencari rezeki. Karena, syaithan selalu menyeru kepada perbuatan jahat dan keji yang akan berakibat buruk bagi manusia yang mengikutinya di dunia dan akhirat.

Akibat buruk di dunia diantaranya: dijauhkan dari terkabulnya doa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :

{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }

وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ثُمَّ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul. Allah berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }

Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. Al-Mukminuun : 51. 

Dan Allah Ta’ala berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. Q.S. Al-Baqarah: 172.



Dan disebutkan seseorang yang dalam perjalanan panjang, yang kusut dan berdebu, lalu ia menengadahkan tangannya ke langit (berdoa) “Wahai Rabbku, wahai Rabbku” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan diberi makan dengan yang haram maka bagaimana akan dikabulkan (doa orang yang sifatnya seperti) itu. H.R. Muslim



5.       Termasuk dari langkah-langkah syaithan adalah menyeru manusia untuk berkata terhadap Allah tanpa ilmu. Misal : menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ ﴿١١٦﴾

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. Q.S. An-Nahl: 116.



Dan Allah Ta’ala berfirman : 

إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ ﴿١١٦﴾

Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. Q.S. An-Nahl: 116.



6.       Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim – semoga Allah selalu melindungimu- bahwa berkata terhadap Allah tanpa ilmu adalah jenis keharaman yang terbesar. Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٣﴾

Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". Q.S. Al-A’raaf: 33.



Al-Imam Ibnul Qayyim –semoga Allah merahmatinya- berkata: “Allah – yang Maha Suci Dia – menyebutkan empat yang diharamkan, dimulai dengan yang paling ringan lalu yang lebih berat, demikian seterusnya sampai mengakhirinya dengan keharaman paling besar dan paling berat yaitu perkataan terhadap-Nya dengan tanpa ilmu.”

(Badai’ut Tafsir, 2/ 208)



7.       Selayaknya bagi seorang mukmin, yang Allah beri taufik dan hidayah, untuk makan dari sesuatu yang halal dan baik. Dan hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴿١٧٢﴾

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Q.S. Al- Baqarah: 172.
 

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah-  menjelaskan makna ayat ini: “Sesungguhnya peribadahan kalian kepada Allah menuntut kalian untuk bersyukur kepada-Nya bahkan ibadah kalian kepada-Nya adalah syukur itu sendiri.

Lalu, jika kalian adalah orang-orang yang selalu mengibadahi-Nya, termasuk dalam jumlah yang mengibadahi-Nya, maka makanlah dari rezeki-Nya (yang baik) dan bersyukurlah atas nikmat-nikmat-Nya.”

و الله تعالى أعلم بالصواب
(Taisirul Karimir Rahman, Badai’ul Fawaid, Nailul Maram min Tafsir Ayaatil Ahkaam) 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes