Tampilkan postingan dengan label Akhlak Mulia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak Mulia. Tampilkan semua postingan

03/06/12

Sebab Musabab Kerusakan Moral


Apa sebab maraknya kerusakan moral sekarang ini? Dan apa metode-metode yang tepat untuk mengobatinya?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:
Pertama: Sebab-sebab tersebarnya akhlak yang rusak di zaman ini adalah karena penyelisihan terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah baik penyelisihan itu datang dari rakyat atau pemimpin, masing-masing sesuai dengan tanggung-jawabnya.
Kedua: Cara yang tepat untuk mengobatinya yaitu dengan menerapkan hukuman atas penyelisihan-penyelisihan yang terjadi dengan memberi ganjaran yang setimpal bagi rakyat dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung dari seluruh rakyat dan pemimpin.”
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
(Soal ke-1 dari Fatwa no. 6313)

25/05/12

Terimalah Nasehat yang Baik!


Aku menasehati sebagian wanita – semoga Allah memberi hidayah kepada kami dan mereka – lalu dibantah dengan ucapan “Bagimu agamu dan bagiku agamaku!”. Apakah perkataannya ini boleh? Bagaimana cara menasehati mereka?
Asy-Syaikh Ibnu Baz – semoga Allah merahmatinya – menjawab:
“Ini tidak boleh. Perkataan ini termasuk kesombongan dari menerima nasehat, yaitu “Tidak ada kuasa kalian atasku!”. Ini keliru dan perkataan ini diucapkan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada orang kafir “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!”. Ucapan ini ditujukan bagi orang-orang kafir.
Adapun muslim dan muslimah maka agama mereka adalah satu: mengesakan dan menaati Allah. Maka, tidak boleh dikatakan “bagimu agamamu, bagiku agamaku!” kecuali bagi orang-orang kafir. Sebagaimana perkataan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada orang-orang Quraisy dan penyembah berhala,”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” seperti apa yang datang di awal surat Al-Kafiruun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾
001. Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir,
002. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Q.S. Al-Kaafiruun: 1 – 2.
Sedangkan mereka mengibadahi berhala-berhala, adapun Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – menyembah Allah(semata).
Maka, tidak boleh mengucapkan kepada saudaranya (seiman) “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Agama kita satu dan perkataan ini keliru.
Apabila ia dinasehati hendaknya mengatakan “Jazakallahu khairan(semoga Allah membalas kebaikan kepadamu), semoga Allah menolongku?!” , “Jazakallahu khairan, doakan semoga Allah membimbingku?!”.
Jika dikatakan padanya:  “Saudaraku, jagalah shalat berjama’ah?!”, “Wahai saudaraku berbaktilah kepada kedua orangtuamu dan hindarilah perbuatan ghibah(menggunjing) dan namimah(mengadu domba)?!”, jawablah dengan ucapan “Jazakallahu khairan(semoga Allah membalas kebaikan kepadamu), semoga Allah menolongku?!”
Janganlah ia berkata “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!”. Ini keliri. Ini kesombongan. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”

17/12/11

Keutamaan Akhlak Mulia

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Salman – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Akhlak yang baik akan menutupi kejelekan-kejelekan dan akhlak yang jelek akan menutupi kebaikan-kebaikan.

Siapa yang baik akhlaknya, kehidupannya pasti akan baik, umumnya akan langgeng keselamatannya, dan kecintaan kepadanya akan melekat di jiwa-jiwa (manusia).

Dan siapa yang jelek akhlaknya , kehidupannya akan sulit, kebencian padanya akan terus berlangsung, dan jiwa-jiwa akan lari (berpaling) darinya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada nabi-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam - :

وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ ﴿١٥٩﴾

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Q.S. Ali Imraan: 159.

Akhlak mulia – keumumannya – mengantarkan kepada keselamatan, mengamankan dari penyesalan, menyebabkan persatuan, membangkitkan perbuatan mulia, dan mengamankan dari perpecahan, dengan ijin Allah Ta’ala.

Dan siapa yang berakhlak jelek, pasti terkumpul padanya kesulitan di dunia dan akhirat.”

(Iyqaazhu ahlil himaam al-‘aliyah ila ightinaamil ayyaamil khaliyyah, Abdul Aziz bin Muhammad As-Salman, hal. 23)

11/12/11

Adab Menasehati

As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya - berkata :
Seseorang mencela seorang yang termasuk ahli agama dan membuka aibnya serta memperinci sebagian apa yang ia tercela dengannya.
Lalu diantara orang-orang yang hadir bertanya kepadanya:
  • Apakah kamu yakin dengan apa yang kamu cela itu ada dalam dirinya? Dari jalan mana kamu dikabarkan tentangnya?
  • Kemudian, jika perkara yang kamu sebutkan itu berdasar keyakinan maka apakah halal bagimu untuk membuka aibnya atau tidak?
Adapun (jawaban) yang pertama:
Aku mengetahui bahwa kamu belum duduk bersama laki-laki tersebut dan mungkin kamu belum bertemu dengannya. Kamu hanya membangun perkataanmu di atas perkataan sebagian orang tentangnya.
Ini dimaklumi bahwa tidak halal bagimu untuk membangun celaan berdasar berita dari perkataan orang-orang semata. Telah diketahui adanya orang yang jujur dan pendusta, orang yang mengabarkan berdasar apa yang ia lihat dan yang ia dengar. Juga pendusta yang membuat-buat perkataannya. Maka telah jelas, bahwa seluruh penetapan ini menjadikan tidak halal bagimu untuk mencelanya.
Kemudian kita berpindah kepada poin kedua :
Yaitu bahwa kamu yakin adanya aib pada diri orang yang kamu sebutkan aibnya itu dan telah datang kabar dengan jalur yang pasti. Maka, apakah kamu telah berbicara kepadanya, menasehatinya, dan melihat apakah ada udzur pada dirinya atau tidak?
Orang itu menjawab : “Aku sama sekali belum berbicara kepadanya tentang ini?”
Maka dikatakan padanya : “Ini tidak halal bagimu. Tidak lain yang wajib atasmu jika mengetahui perkara tercela pada saudaramu untuk kamu menasehatinya dengan semampumu sebelum melakukan sesuatu yang lain.
Setelah itu, jika kamu telah menasehati dan ia terus menerus menentangnya maka lihatlah apakah pencelaanmu kepadanya dihadapan orang-orang terdapat kemaslahatan dan kegagalan, atau kebalikan dari itu?
Dan bagaimanapun keadaannya, kamu telah menampakkan dalam pencelaanmu kepada orang ini sikap kecemburuan terhadap diin dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Padahal hakekatnya kamu telah melakukan kemungkaran.
Dan betapa banyak orang yang muncul darinya semisal perkara-perkara yang mudharat seperti ini yang muncul dari cara pandang yang lemah dan kurangnya sikap wara’.
Dan Allah Yang Maha Mengetahui.
( Faedah ke-28 dari kitab Majmu’ul Fawaid wa Iqtinadhul Awaabid karya as-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy, hal, 44 – 45 )

sumber: http://www.minhaajussunnah.wordpress.com

10/12/11

Jujur Membimbing kepada Seluruh Kebaikan

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata :

“Allah sungguh telah memerintahkan kepada kejujuran dan memuji orang-orang yang berbuat jujur. Dia (Allah) telah mengabarkan bahwa jujur itu bermanfaat bagi pemiliknya di dunia dan akhirat, dan bagi mereka ampunan serta pahala yang besar.

Allah Ta’ala berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur. Q.S. At-Taubah: 119.


وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ ﴿٣٣﴾
Dan orang yang membawa kejujuran/kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Q.S. Az-Zumar: 33.

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ ﴿٢١﴾
Tetapi jikalau mereka jujur (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Q.S. Muhammad : 21.

هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ﴿١١٩﴾
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kejujuran mereka.
Q.S. Al-Maaidah: 119.

Ayat-ayat pujian terhadap kejujuran sangatlah banyak.

Dan kejujuran itu akan menunjukkan kepada seluruh kebajikan dan kebaikan, sebagaimana dusta akan mengantarkan kepada seluruh kejelekan dan kerusakan. Orang yang jujur dicintai Allah, dicintai hamba-hamba Allah, terpandang kemuliaan agama dan dunianya. Bahkan, tanda kemuliaan, keterpandangan, dan kedudukan yang tinggi : jujur.

Dan sifat jujur itu memiliki faedah-faedah yang agung, diantaranya :
-          Perkara-perkara yang mulia yang telah kita isyaratkan (sebelumnya) berupa ketundukan kepada perintah Allah, mendapat pahala yang besar dan ampunan, bahwa orang yang  jujur akan mengambil manfaat dari kejujurannya di dunia dan akhirat, ia (jujur) menyeru kepada kebajikan, kebajikan membimbing menuju surga. Dan senantiasa seseorang berhati-hati dalam kejujuran sehingga tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur(shiddiq) berada di derajat dan kedudukan yang tertinggi.
-          Siapa yang terkenal kehati-hatiannya dalam kejujuran, kedudukannya pasti meninggi di sisi makhluk, sebagaimana menaik (posisinya) di sisi Al-Khaliq.
-          Orang-orang merasa tenang dengan perkataan  dan perbuatannya.
-          Ia memiliki martabat yang tinggi dalam kemuliaan, terpandang, dan mendapat pujian yang baik.
-          Dan orang-orang akan merasa aman dari kejelekan, makar, dan pengkhianatannya.

Di seluruh posisi keagamaan dan keduniaan, kamu tidak akan mendapati orang yang jujur kecuali ia berada pada derajat yang tinggi.

Jika ia di posisi pemberi fatwa, mengajar, dan memberi bimbingan, maka orang-orang tidak akan berpaling dari perkataannya kepada perkataan orang lain. Dan mereka merasa tenang kepada bimbingan, pengajaran, dan kepahamannya sebab itu dibangun di atas kejujuran.

Jika ia memberi kesaksian yang umum atau persaksian khusus, hukum-hukum diputuskan berdasarkan kesaksiannya.

Jika ia mengabarkan suatu berita khusus atau umum, orang-orang percaya kepada beritanya, mengagungkan dan menghormatinya.

Sampai-sampai, seandainya ia jatuh dalam suatu kesalahan dalam hal itu, mereka memberi kemungkinan yang baik untuknya.

Dan jika ia bermuamalah kepada manusia dengan muamalah duniawi – menjual, membeli, menyewa, perdagangan, atau terkait hak-hak yang besar dan kecil – , orang-orang berlomba-lomba bermuamalah dengannya dan merasa tenang untuk muamalah itu tanpa ada keraguan.

Cukuplah bagimu akhlak ini, yang orang-orang cerdas tunduk kepada kebaikan dan kesempurnaannya, orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan mengakui kesempurnaannya. Maka, ia termasuk dari bukti kebenaran Rasulullah dan kesempurnaan apa yang Beliau bawa dari agama yang lurus ini, yang akhlak agung ini bagian dari akhlaknya, dan seluruh akhlaknya berada di atas petunjuk ini.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.”

(Fathur Rahiim Al-Malaakil ‘Allaam, As-Sa’dy,  hal. 99 – 100.)

24/11/11

Agama Itu Nasehat

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dysemoga Allah merahmatinya – berkata :
Agama Itu Nasehat [1]
1. Nasehat untuk Allah :

Yaitu menegakkan penghambaan kepada-Nya secara lahir dan batin dengan ikhlash yang sempurna. Dan ia menyempurnakan seluruh bagian penghambaan secara lahir dan batin, melakukan penghambaan (kepada-Nya) dengan batas kemampuan yang ia miliki dan berkeinginan kuat untuk melakukan apa yang ia tidak mampu atasnya, ketika ia mampu.

2. Nasehat untuk Kitab Allah :

Yaitu bersungguh-sungguh memahami lafadz-lafadz dan makna-maknanya sesuai dengan kemampuannya. Dan ia giat dalam mengamalkan dan berdakwah kepadanya.


3. Nasehat untuk Rasul (utusan) Allah Shalallahu 'alaihiwassalam :

Yaitu dengan kesempurnaan iman kepadanya, mencintai dan menaatinya, mengikutinya, mengedepankan perkataan, petunjuk, dan alur hidupnya di atas setiap perkataan, petunjuk, dan jalan hidup selainnya. Dan ia menolong apa yang Beliau r bawa.


4. Nasehat untuk Pemimpin-pemimpin Muslimin :

Mereka adalah penguasa, pemerintah, dan wali mereka. Yaitu : dengan mengakui kepemimpinan mereka, menjalankan agama dengan mendengar dan taat kepada mereka, menasehati dan menolong mereka dengan perkataan dan perbuatan dalam kebaikan yang mereka laksanakan.

5. Nasehat untuk Keumuman Kaum Muslimin :

Dia mencintai untuk mereka apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Dan ia membenci bagi mereka apa yang ia benci untuk dirinya sendiri.

Ia mengajarkan ilmu kepada yang tidak tahu, menasehati seseorang yang lalai dari kewajiban atau berbuat keharaman, membimbing orang-orang yang berbeda tingkatan-tingkatannya kepada apa-apa yang terdapat kebaikan dalam urusan agama dan dunia mereka.

Ia berdakwah kepada hal-hal tersebut seluruhnya dan menjauhi penipuan kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan. Dan ia bermuamalah dan menunaikan hak-hak bagi yang memiliki hak atas orang lain.

(Al-Fatawa As-Sa'diyyah, hal. 56 - 57)

[1] Ini sebagaimana datang dalam hadits Tamim bin Aus ad-Daary yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya bahwa Rasulullah r bersabda :
(( الدين النصيحة ))
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes