Tampilkan postingan dengan label Umum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Umum. Tampilkan semua postingan

03/06/12

Hukum Upah dari Pekerjaan Haram


Apa hukum upah bulanan dari bekerja di gedung sinema (bioskop) dan upah harian dari menjual rokok atau tape cassette dan tape video? Dan apa hukum seseorang yang shalat di rumah dan tidak berjamaah kecuali shalat Jumat?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:
“Upah yang diperoleh dari bekerja di bioskop sinema dan menjual rokok adalah haram sebab pekerjaan-pekerjaan ini diharamkan sehingga uang yang diambil darinya adalah haram.
Sedangkan shalat berjamaah adalah wajib atas seseorang yang mendengar seruan adzan karena Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Siapa yang mendengar seruan adzan lalu tidak menjawabnya(tidak mendatangi shalat berjamaah, pen), maka tidak sah shalatnya(bersendirian) kecuali ada udzur(syar’i).
Dan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah berkeinginan untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat secara berjamaah.”
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
(Soal ke-1 dari Fatwa no. 16818)

01/03/12

Problema Global Terbesar

Apa problema terbesar yang dihadapi manusia di dunia global sekarang ini?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – semoga Allah merahmatinya menjawab:
“Permasalahan global terpenting yang saya yakini: sedikitnya para ulama sunnah di negeri seorang muslim yang menjelaskan kepadanya akidah yang benar, membimbingnya kepada sebab-sebab keselamatan, dan memperingatkan dari sebab-sebab kebinasaan dengan perspektif dalil-dalil syar’i dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya – ‘alaihish shalatu wassalam -.
Setelahnya, yang menjadi problem terbesar yang dihadapi seorang muslim: sedikitnya didapati orang-orang pilihan yang menenangkan mereka, memberi teladan dengan akhlak mulia dan perjalanan hidup yang terpuji serta menolong mereka dalam menaati Allah.
Dan selayaknya bagi seorang mukmin bersemangat dalam bertanya kepada ulama yang terkenal memiliki akidah lurus dan perjalanan hidup terpuji. Dan ia senantiasa bersama mereka hingga ia memahami diinnya dengan baik.
Dan hendaknya ia bersemangat untuk bergaul dengan orang-orang pilihan dan berhati-hati dari teman yang jelek, sehingga ia bertemu dengan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi dalam keadaan demikian itu.”
(Majallatul buhutsil ‘Ilmiyyah, vol. 4 hal. 133 – 134, dinukilkan dari Muntaqal Fawaaid, Al-Hasyidi, hal 191 – 192.)

05/02/12

Apakah Maulid Dianjurkan oleh Rasulullah dan Salaf?

Asy-Syaikh Muhammad Amman Al-Jamiy – semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas – berkata:
“Telah lewat pembicaraan tentang perkembangan ilmu kalam dan kelompok-kelompok(sempalan Islam). Dengan demikian, selayaknya untuk kita mengetahui juga kapan muncul perayaan dengan nama “maulid Nabi”?
Kita seluruhnya mengetahui kapan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan, berapa lama Beliau hidup, dan kapan wafatnya Beliau – atasnya shalawat dan salam. Namun, perayaan hari kelahirannya(maulid), kapan terjadinya?
Perayaan maulid Nabi yang pertama, kapan ini terjadi? Ini pertanyaannya.
Jika kita merujuk kepada tarikh(sejarah), sebatas pengetahuan saya, perayaan pertama terjadi dengan nama:
-          Maulid Nabi.
-          Kemudian maulid ‘Ali bin Abi Thalib.
-          Kemudian (maulid) Fathimah.
-          Kemudian (maulid) Hasan dan Husain (cucu Rasulullah), semoga Allah meridhai keduanya.
-          Kemudian (maulid) khalifah yang ada pada waktu itu.
Enam (6) perayaan.
Kapan terjadinya ini?
Di masa Fathimiyyun, yang shahih: abidiyyun.
Orang-orang – ‘abidiyyun – ingin mengangkat kedudukan mereka dan mendakwakan bahwa mereka adalah Fathimiyyun, penisbahan kepada (keturunan) Fathimah az-Zahra’.
Mereka ingin mengokohkan nasab palsu ini dengan menampakkan kecintaan kepada Ahlul Bait(keturunan Rasulullah). Dan termasuk dari penampakan kecintaan dengan mengadakan perayaan-perayaan ini.
Setiap tahun, mereka mengadakan enam perayaan ini sebagai pengagungan mereka kepada Ahlul Bait. Faktanya, mereka bukan dari keturunan mereka (ahlul bait). Mereka menisbahkan diri (kepada Fathimah) dan ingin mengokohkan penisbahan ini sebagaimana yang telah kami sampaikan. Mereka telah melakukan yang demikian itu.
Jika kita kembali kepada catatan sejarah dengan mencari makna dan tujuan dari perayaan ini, seandainya tujuan dari perayaan maulid Nabi  - ‘alaihishshalatu wassalam – untuk menampakkan kecintaan kepada Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – dan memuliakannya, kita semua beriman dan seluruh orang mukmin (meyakini) bahwa tidak ada yang lebih mencintai Rasulullah  - shalallahu ‘alaihi wasallam – daripada Abu Bakr ash-Shiddiq, sahabat yang (menemani Rasulullah) di gua (ketika hijrah).
Abu Bakr ash-Shiddiq yang kalian telah mengetahui posisinya dan perjalanan hidupnya, yang Allah telah menguatkan kaum muslimin dengannya di hari wafatnya Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – ketika orang-orang mukmin terguncang dengan wafatnya Beliau. Sampai-sampai Umar berkata (pada waktu itu): “Sesungguhnya Beliau pergi untuk kembali. Beliau pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya dan akan kembali.” Dan siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah wafat, maka ia (Umar) akan memenggal kepalanya dengan pedangnya. Terjadi kebingungan pada mereka sampai tingkatan seperti ini.
Namun, Allah mengokohkan sahabat yang (menemani Rasulullah) di gua (Abu Bakr). Orang itu, seorang tua yang tenang, Allah telah mengokohkan kaum mukminin dengannya.
Abu Bakr tidak merayakan (maulid), ini sebagian sifat-sifatnya, Umar juga tidak merayakan, demikian pula Utsman dan Ali serta seluruh Shahabat. Tidak pula Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, Imam yang empat yang diakui keimamannya, mereka tidak mengenal perayaan maulid.
Khulafaur Rasyidin, khalifah-khalifah dari bani Umayyah dan ‘Abbasiyah seluruhnya sampai masa (datangnya) abidiyyun, mereka tidak mengenal apa yang disebut dengan perayaan(maulid).
Jika demikian (maulid) adalah bid’ahnya abidiyyah atau fafhimiyyah sebagaimana ungkapan yang mereka namakan diri mereka dengan (sebutan) ini.
Seseorang bertanya, dan banyak orang yang bertanya tentang ini, mereka berkata: “Kami tidak menghendaki apapun. Semua yang kami inginkan adalah memperingati. Para Shahabat tidak merayakan karena mereka dekat dari sisi zaman kepada Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun kami – setelah waktu sejarah yang panjang ini – ingin memperingati, mengingat Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah (perkataan mereka) ini bisa diterima?
Kita bertanya-tanya: Kapan kaum muslimin lupa kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam – sampai kita perlu mengingat-ingatkan mereka dengan perayaan, berkumpul menyiapkan makanan dan minuman serta dupa wangi-wangian di malam dua belas Rabi’ul Awwal di setiap tahun.
Apakah kaum muslimin telah melupakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Dan apakah boleh bagi mereka untuk melupakan Beliau?
Tidak.
Tidakkah muadzin mereka ketika adzan mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Tidak  lain ia juga mengucapkan:
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Aku bersaksi bahwa Muhammad itu rasul(utusan) Allah.
Tidaklah seorang muslim masuk ke dalam masjid kecuali ia mengucapkan:
بِاسْمِ اللهِ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْل ِاللهِ
Dan setiap orang yang memperbanyak shalat, selain yang fardhu, di setiap shalatnya ia bershalawat atas Rasulullah - shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan tidaklah seorang muslim akan keluar dari masjid kecuali ia mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidaklah seorang penuntut ilmu (agama) membaca pelajarannya kecuali ia bershalawat atas Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam. Di satu pelajaran berulang-ulang kali (ia bershalawat).
Jika kita membicarakan nikmat Allah, kita tidak lupa akan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan seluruh muslimin (juga demikian).
Dengan demikian, kita tidak butuh kepada apa yang disebut “Peringatan Maulid”.
Dari informasi lain, mereka mengatakan:
Dari sisi luar, benar bahwa ia (perayaan maulid) itu mungkar jika di dalamnya  terjadi ikhtilath (campur-baur) antara dua jenis. Dan terkadang terjadi sesuatu yang tidak baik untuk disebutkan dalam perayaan-perayaan itu, di tempat-tempat yang bertemu dua jenis insan di dalamnya serta terjadi apa yang terjadi. Namun, jika kita melaksanakan perayaan itu di rumah-rumah kita dengan pintu-pintu yang terkunci, tidak ada ikhtilath di dalamnya, kita hanya membaca sirah Nabi, menyantap hidangan dan minuman untuk memperingati Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan kita membaca sirah Beliau.
Jawabannya:
Apakah kalian berkeyakinan bahwa amalan ini adalah amalan shalih yang kalian bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengannya atau itu amalan yang sia-sia?
Tentu saja mereka tidak akan mengatakan bahwa itu sia-sia bahkan tidak lain amalan shalih.
Jawabannya:
Apakah kalian berprasangka bahwa kalian boleh untuk mendatangkan suatu amalan shalih untuk mencari ridha Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan sebaik-baik umat ini tidak mengetahuinya.
Sebaik-baik kalian (umat Islam) adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, lalu yang setelah mereka.
Mereka (generasi terbaik umat Islam) tidak mengetahuinya, apakah kalian mengetahui kebaikan dan amalan shalih yang diterima di sisi Allah yang Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak mendatangkannya dan tidak pula  Khulafaur Rasyidin.
Inilah makna bid’ah secara zatnya, sebab bid’ah adalah mengamalkan sesuatu yang zhahirnya amalan shalih namun ia tidak disyariatkan.
Inilah perbedaan antara bid’ah dan maksiat. Maksiat adalah penyelisihan, kamu melakukan sesuatu yang dilarang atau meninggalkan suatu perintah. Ini maksiat.
Adapun bid’ah, engkau mendatangkan suatu amalan yang zhahirnya adalah amalan shalih seperti puasa, shalat, perayaan yang diada-adakan. Inilah bid’ah secara zatnya.
Dan setelahnya:
Semisal hari-hari (perayaan maulid)ini dan setelahnya, sebagian orang akan datang ke kota Madinah untuk melaksanakan perayaan di Madinah.
Mereka mendapati ancaman keras yang khusus di Madinah. Apakah ancaman ini?
Ketika Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – menjelaskan batas-batas wilayah Madinah dan menerangkan bahwa Beliau mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim (‘alaihissalam) mengharamkan Makkah serta menjelaskan batas-batas wilayahnya, Beliau bersabda tentang hak Madinah:
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا – أَوْ آوَى مُحْدِثًا -  فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Siapa yang mengadakan-adakan sesuatu yang baru (muhdats) di dalamnya – atau menolong orang yang berbuat muhdats – maka atasnya laknat dari Allah, Malaikat, dan manusia seluruhnya. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak datang suatu ancaman pun yang seperti ini, walaupun di Makkah.
Madinah bukan negeri biasa, negeri yang Allah pilih untuk hijrahnya Rasul-Nya – ‘alaihishshalatu wassalam – , dijadikan ibukota pertama bagi kaum muslimin, tempat yang dimakamkan Rasulullah di dalamnya lalu akan dibangkitkan darinya.
Oleh sebab itu, siapa yang datang (hijrah) ke Madinah lalu ia tertimpa suatu kebutuhan, kefakiran, keletihan,  dan ia bersabar atas itu, dia di atas janji bersama Rasulullah – ‘alaihishshalatu wassalam – yaitu Beliau akan memberi syafaat atau saksi pada hari Kiamat.
Dan Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – menganjurkan bagi kaum muslimin untuk tinggal dan mati di Madinah yang Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – tidak menganjurkan (semisalnya) atas Makkah bersamaan ia (Makkah) memiliki keutamaan dan berlipatnya pahala shalat di dalamnya.
مَن اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوْتَ فِي الْمَدِيْنَةِ فَلْيَفْعَلْ
Siapa dari kalian yang mampu untuk mati di Madinah, maka lakukanlah.
(H.R. ath-Thabrani, dari Sabi’ah Al-Aslamiyyah dan Samithah al-litsiyyah)
Inilah kota Madinah yang demikian ini kedudukannya, lalu kita datang untung melakukan suatu kebid’ahan yang Allah dan Rasul-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak meridhainya, tidak memerintahkannya, dan tidak mengerjakannya. Dan Khulafaur Rasyidin juga tidak melaksanakannya sedangkan kita membantah:
Kami tidak melakukan apapun (dari bid’ah). Kami tidak berbuat kemungkaran, pertemuan hanya antara laki-laki saja, membaca sirah, dan udzur-udzur yang lain.
Ini seluruhnya tidak bermanfaat. Kamu lihatlah amalan ini, apakah kamu meyakini bahwa ia adalah amalan shalih yang disyariatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau bukan?
Jika kamu meyakini bahwa ia(perayaan maulid) itu adalah amalan shalih yang mendekatkan diri kepada Allah, maka kamu telah berbuat bid’ah.
Imam Malik – imam Darul Hijrah – berkata:
“Siapa yang mengada-adakan suatu bid’ah di dalam Islam lalu ia melihatnya suatu kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – menyembunyikan (ilmu tentang suatu kebaikan) dan tidak menyampaikan (seluruh syariat).
Jika kamu didatangkan suatu amalan yang secara zhahir amalan shalih, dan ia bukan amalan yang datang dari jalur Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam –, kamu seakan-akan melengkapi RAsulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan mengatakan dengan lisan halmu bahwa Beliau belum menyampaikan segala sesuatu (dari agama) bahkan ada celah-celah yang perlu dipenuhi dengan bid’ah-bid’ah ini.
Dan Imam Malik, dahulunya, termasuk yang paling keras dalam mengingkari bid’ah-bid’ah ini dan yang selainnya.
Maka, jika kita merujuk kepada sejarah para Shahabar dan para imam, kita tidak akan mendapati apa yang membuat kita senang dengannya. Bahkan, kita akan menemui sesuatu yang membuat kita lari dari bid’ah ini.
Seandainya harus untuk beramal shalih pada hari kelahiran Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam –, maka kita mengamalkan apa yang Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – syariatkan kepada kita. Puasa hari senin, baik itu pada bulan Rabi’ul Awwal atau di bulan yang lainnya sepanjang tahun.
Dan kita merasa cukup dengan apa yang telah mencukupi orang-orang generasi pertama(Islam).
Kebaikan segala kebaikan di dalam apa yang dilakukan oleh salafus shalih. Dan seluruh kejelekan ada pada kebid’ahan orang-orang yang datang terakhir.
وبالله التوفيق .
وصلى الله وسلم وبارك على بينا محمد وآله وصحبه



04/02/12

Bid’ah Perayaan Maulid

Asy-Syaikh Ibnu Baz – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Tidak boleh untuk merayakan hari kelahiran(maulid) Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan tidak pula (maulid) yang selainnya, sebab itu termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama. Karena, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak melakukannya, demikian juga para Khulafaur Rasyidin dan para shahabat yang lainnya – semoga Allah meridhai mereka seluruhnya – serta para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi emas.
Sedangkan mereka adalah yang paling memahami sunnah, paling sempurna kecintaannya kepada Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam, dan paling sempurna pengikutan terhadap syariat Beliau daripada orang-orang yang setelah mereka.
Dan telah benar berita dari Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bahwa Beliau bersabda:
(( مَنْ أحْدَثَ في أمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ))
Siapa yang membuat-buat perkara muhdats( sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia (amalan muhdats itu) tertolak.
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah – semoga Allah meridhainya)
Yaitu: tidak diterima (amalan) itu darinya.

Dan Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda dalam hadits yang lain:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Maka berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing sepeninggalku! Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham!
Dan berhati-hatilah dari perkara-perkara muhdats (sesuatu yang baru dalam agama)! sebab sungguh setiap yang muhdats itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
(H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzy,
dari Abu Najih ‘Irbadh bin Sariyyah – semoga Allah meridhainya)

Maka, di dalam dua hadits ini terdapat peringatan keras dari mengada-adakan dan mengamalkan kebid’ahan.
Dan Allah Subhanahu telah menyebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴿٧﴾
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Q.S. Al-Hasyr: 7.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٦٣﴾
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih. Q.S. An-Nuur: 63.
Dan Allah Subhanahu berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً ﴿٢١﴾
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. Q.S. Al-Ahzaab: 21.

Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً
ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٠٠﴾
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. Q.S. At-Taubah: 100.

Dan Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً ﴿٣﴾
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Q.S. Al-Maaidah: 3.

Dan ayat-ayat semakna ini sangat banyak.

Dan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama semisal maulid ini, dipahami darinya:
·         Bahwa Allah belum menyempurnakan agama bagi umat ini.
·         Dan bahwa Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – belum menyampaikan apa yang baik untuk diamalkan umat ini.
Sehingga (dengan dua pemahaman ini) muncul orang-orang yang terakhir, lalu mereka mengada-adakan suatu yang baru dalam syariat Allah dengan sesuatu yang Dia tidak mengijinkannya.
Mereka berprasangka: Itu termasuk hal-hal yang akan mendekatkan mereka kepada Allah.

Dan tidak diragukan, ini adalah perkara yang di dalamnya terdapat bahaya besar dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat bagi hamba-hamba-Nya.
Dan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah benar-benar menyampaikan (seluruh syariat Allah) kepada umat. Beliau tidak meninggalkan suatu jalan yang mengantarkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah telah menjelaskannya kepada umat, sebagaimana tsabit dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin ‘Amr – semoga Allah meridhai keduanya -, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda :
)) إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقّاً عَلَيْهِ أنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ ، وَيُنْذِرَهُم شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ ((
Tidak seorang nabi pun (yang diutus) sebelumku kecuali ia telah benar-benar menunjukkan kepada umatnya atas kebaikan yang ia ketahui baik untuk mereka dan memperingatkan mereka dari segala kejelekan yang ia ketahui. (H.R. Muslim)

Dan suatu yang dimaklumi, bahwa Nabi Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – sebaik-baik dan penutup dari para nabi serta yang paling sempurna dalam penyampaian dan menasehati.

Seandainya, perayaan maulid itu termasuk bagian agama (Islam) yang Allah Subhanahu meridhainya, tentu Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada umat atau melaksanakannya ketika hidupnya atau para Shahabat – semoga Allah meridhai mereka – telah mengerjakannya.

Maka, ketika semua itu tidak terjadi, diketahui bahwa ia(perayaan maulid) tidak masuk sedikitpun dari bagian Islam.
Bahkan, ia termasuk perkara-perkara muhdats(sesuatu yang diada-adakan dalam agama) yang Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah memperingatkan umatnya darinya sebagaimana telah disebutkan dalam dua hadits yang terdahulu.

(Ar-Rasail fi Hukmil Ihtifaal bil Maulidin Nabawy, A-Rissalaatu ats-Tsaniyyah: Hukmul Ihtifaal bil Maulidin Nabawy, Abdul’Aziz bin Baz, hal. 57 – 59)


12/12/11

Bolehkah Mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi kepada Selain Muslim?

Bolehkah mengucapkan selamat tahun baru masehi kepada selain muslim, tahun baru hijriyah, dan maulid Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam - ?

Jawab :

Tidak boleh mengucapkan selamat pada peristiwa-peristiwa ini, karena perayaannya tidak disyariatkan.

بالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Soal Pertama dari Fatawa no. 20795.)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes