Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

20/05/12

Batasan Mendengar dalam Syariat


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ﴿١٨﴾
Orang-orang yang mendengarkan suatu perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Q.S. Az-Zumar: 18.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di  - rahimahullah – berkata,”Ini adalah batasan yang wajib atas seorang yang mendengar perkataan bahwa ia mengikuti yang paling baik yaitu kebenaran(al-haq) yang diperintahkan kepadanya.”
(,Fathur Rahim Malikil ‘Allaam, hal. 162)   

Kebodohan Sumber Pendustaan, Kesombongan, dan Kekufuran


 وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْراً مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ ﴿١١﴾
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya dia (Al Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka (orang mukmin) tiada mendahului kami (beriman) kepadanya.” Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama(sejak dahulu)". Q.S. Al-Ahqaaf: 11.

Mutiara Hikmah dan Faedah:
1.       Kesombongan dan ‘ujub adalah penghalang dari menerima dan tunduk kepada kebenaran.
2.       Kebodohan terhadap sesuatu berbuah pendustaan terhadap sesuatu tersebut.
3.       Sifat suka berbangga-bangga dan meremehkan orang yang lebih rendah status sosialnya mengantarkan kepada penyimpangan dan penentangan atas kebenaran.
Orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashara merasa lebih mulia daripada orang-orang mukmin sehingga tidak mau menerima kebenaran yang datang dalam Al-Qur’an. Mereka menganggap kitab suci mereka yang tidak otentik lagi lebih baik daripada Al-Qur’an yang terjaga sampai akhir zaman.
Adapun orang-orang musyrik menghinakan dan merendahkan orang-orang mukmin yang kebanyakannya dari golongan orang-orang fakir sehingga mereka menganggap tidak mungkin orang-orang yang rendah itu lebih mengetahui kebenaran dan mendahului mereka dalam mengikuti dan mengamalkannya.
4.       Ketidaktahuan bukan ilmu yang dijadikan sandaran dalam berakidah dan berperilaku. Lihatlah bagaimana orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin ketika tidak bisa memahami Al-Qur’an mereka menudingnya sebagai kedustaan dan menetapkan bahwa apa yang mereka yakini dan amalkan selama ini adalah kebenaran!
5.       Seseorang yang tidak mampu melakukan sesuatu terkadang mencelanya untuk menutup-nutupi kelemahan dirinya. Hal ini sangat jelas dari lisan mereka yang mendustakan kebenaran dan tidak mampu mengamalkannya baik karena kebodohan ataupun kesombongan yang berasal dari syubhat dan syahwat yang menguasai jiwa-jiwa mereka.
6.       Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya: “Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak tsabit dari para Shahabat: Itu bid’ah! Sebab sekiranya hal itu adalah suatu hal yang baik tentulah mereka benar-benar telah mendahului kita dalam mengamalkannya dikarenakan mereka tidak melihat suatu kebaikan kecuali pasti berlomba-lomba dalam mengamalkannya.”
(Sumber Rujukan: Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an, Al-Qurthubi; Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir; Zaadul Masir, Ibul Jauzi; Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di)

Jangan Anggap Ringan Suatu Dosa!


إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun tentangnya, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Q.S. An-Nuur: 15.
Faedah Ayat:
1.       Dua perkara terlarang: mengucapkan kebatilan dan berkata tanpa ilmu.
2.       Terdapat larangan yang sangat keras terhadap perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukan dengan menganggapnya suatu yang ringan. Sebab:
·         seorang hamba tidak akan mendapatkan faedah sedikitpun dari siksaan  atas dosanya.
·         dan anggapannya itu tidak akan meringankan siksa atas dosanya bahkan dilipatkan.
(Sumber rujukan: Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di hal. 612)

11/04/12

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an

Asy-Syaikh Muhammad Asy-Syinqithiy – semoga Allah merahmatinya – berkata,”Firman-Nya Ta’ala:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٤٤﴾
Dan Kami turunkan kepadamu zikir (Al Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya. Q.S. An-Nahl: 44.
…Allah Yang Maha Mulia telah menyatakan, dalam ayat ini, dua hikmah penurunan Al-Qur’an kepada Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam -:
Pertama: agar Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – menguraikan apa yang Allah turunkan kepada manusia tentang larangan dan perintah, janji dan ancaman, dan yang semisal itu. Dan Allah telah menjelaskan hikmah ini di ayat-ayat lainnya seperti firman-Nya:
وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُواْ فِيهِ ﴿٦٤﴾
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu. Q.S. An-Nahl: 64.
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ ﴿١٠٥﴾
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia. Q.S. An-Nisaa’: 105.

Hikmah kedua: memikirkan ayat-ayat-Nya dan memetik nasehat darinya sebagaimana firman-Nya di ayat ini:
لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
supaya mereka memikirkannya. Q.S. An-Nahl: 44.
Dan Allah telah menerangkan hikmah ini di selain ayat ini semisal firman-Nya:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ ﴿٢٩﴾
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. Q.S. Shaad: 29.
Dan firman-Nya:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً ﴿٨٢﴾
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. Q.S. An-Nisaa’: 82.
Dan firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ﴿٢٤﴾
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? Q.S. Muhammad: 24.
Dan ayat-ayat lainnya.
(Tafsir Adhwa’ul Bayaan, Asy-Syinqithiy, al-Maktabah asy-Syamilah 2/ 380)

16/03/12

Hidayah untuk yang Berjihad Mencari Keridhaan Allah

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ﴿٦٩﴾
Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan (hidayah) kepada mereka jalan-jalan Kami. Q.S. Al-Ankabuut: 69.
Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Allah Yang Maha Suci (dalam ayat ini) mengaitkan hidayah dengan jihad. Maka, manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad(kesungguhan)nya.
Dan jihad yang paling wajib: jihad memerangi jiwa, hawa nafsu, syaithan, dan jihad  (menghadapi ) dunia.
Lalu, siapa yang telah berjihad melawan empat hal ini karena Allah, Allah pasti menunjukinya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan kepada surga-Nya.
Dan siapa yang meninggalkan jihad ini, pasti lepas hidayah(petunjuk) itu darinya, sesuai dengan apa yang ia telantarkan dari jihad tersebut.
Al-Junaid berkata (dalam menafsirkan ayat):
“Dan orang-orang yang telah berjihad (menghadapi) hawa nafsu mereka untuk (mencari keridhaan) Kami dengan bertaubat, Kami benar-benar akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan keikhlasan.
Dan tidak mungkin untuk berjihad melawan musuhnya dalam lahiriahnya, kecuali orang-orang yang telah berjihad memerangi musuh-musuhnya ini dengan batinnya.
Maka, siapa yang memenangkan hawa  nafsunya, ia telah menolong musuhnya. Dan siapa yang mengalahkan hawa nafsunya, ia telah ditolong dari musuhnya.”
(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, hal. 87)


08/03/12

Seluruh Manusia dalam Kerugian, kecuali...?

Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab – semoga Allah merahmati keduanya – ditanya tentang tafsir surat al-‘Ashr, maka beliau menjawab:
“Pembahasan tentangnya itu panjang, namun kami akan menyebutkan apa yang dijelaskan para ulama tentang(tafsir)nya secara ringkas.
·         Mereka menyebutkan bahwa makna العصر (al’Ashr) adalah ad-dahr (masa) yang Allah Yang Maha Suci telah menciptakannya.
Dan boleh bagi Allah untuk bersumpah dengan makhluk-Nya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Adapun makhluk, tidak boleh baginya untuk bersumpah kecuali dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi – Shalalallahu ‘alaihi wasallam - :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan Allah atau diamlah!
(Hadits Abdullah bin ‘Umar, riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

·         Dan jawaban dari sumpah (dalam ayat ke-1):
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Q.S. Al-‘Ashr: 2.
Al-Insaan adalah isim untuk menunjukkan jenis, yaitu seluruh anak keturunan Adam.

·         Kemudian Allah mengecualikan (manusia yang dalam kerugian), Dia berfirman:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا ﴿٣﴾
kecuali orang-orang yang beriman, Q.S. Al-Ashr: 3.
(yaitu beriman) kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan beriman kepada hari akhir. Dan mereka meyakininya dengan hati-hati mereka.
Dan mereka membenarkan apa yang Allah kabarkan di dalam kitab-Nya serta apa yang datang dari lisan-lisan para rasul-Nya adalah kebenaran yang tiada kebimbangan dan keraguan di dalamnya.



وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ﴿٣﴾
dan mengerjakan amal saleh,
yaitu: beramal dengan anggota tubuh mereka sesuai dengan yang Dia syariatkan di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam -.
Dan amal shalih harus terkandung dua syarat di dalamnya:
Pertama: ia dikerjakan murni (ikhlash) untuk mencari wajah Allah.
Kedua: ia dilaksanakan sesuai syariat (yang diajarkan) Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً ﴿١١٠﴾
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya. Q.S. al-Kahfi: 110.
Maka, firman-Nya:
عَمَلاً صَالِحاً
amal yang shalih. Yaitu: yang disyariatkan.
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.
Itulah ikhlash (beramal) untuk wajah Allah.

Maka dalam ayat ini terdapat dua tingkatan:
Pertama: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Beramal shalih, yaitu mengilmui apa yang Allah turunkan dan mengamalkannya.
Sehingga, jika seseorang telah mengetahui   apa yang Allah turunkan, maka wajib atasnya untuk mengamalkannya.
Dan selanjutnya, jika ia telah mengerjakan amal shalih, maka wajib atasnya:
 Tingkatan ketiga, yaitu: nasehat-menasehati untuk menaati kebenaran.
Yaitu: Ia menasehati yang selainnya untuk mengikuti al-haq (kebenaran) dan mengajarkan kepada orang-orang yang tidak memiliki ilmu dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadanya.
Berbeda dengan orang-orang yang Allah menyebutkan tentang mereka (dalam firman-Nya):
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً ﴿١٧٤﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Q.S. Al-Baqarah: 174.

Kemudian, jika seorang yang beriman telah mengerjakan apa yang Allah perintahkan untuk saling menasehati dalam menaati kebenaran, yaitu menyeru kepada yang ma’ruf yang Allah perintahkan dan mencegah dari kemungkaran yang Allah melarangnya, maka wajib atasnya:
Tingkatan keempat, yaitu: bersabar dari gangguan dan perbuatan jelek dari makhluk kepadanya, sebagaimana telah bersabar para nabi dan rasul Allah. Demikian pula para ulama setelahnya, mereka di atas (kesabaran) itu.

Sehingga, inilah empat tingkatan yang apabila seorang hamba mengamalkannya, ia pasti termasuk dari wali-wali Allah yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.
Kita memohon kepada Allah untuk melimpahkan rezeki kepada kita dan saudara-saudara kita untuk memahami(tafsir)nya (surat al-‘Ashr,pen.) dan mengamalkannya.
Allah telah menyebutkan kalimat-kalimat pendek dalam surat ini, namun ia mengandung makna-makna yang dalam, sebagaimana perkataan al-Imam asy-Syafi’i:
“Seandainya orang-orang mengamalkan (kandungan) surat ini, benar-benar ia memberi kecukupan bagi mereka.”
Dan ia (benar demikian) sebagaimana perkataan beliau – semoga Allah merahmatinya -.”
( Sumber: ad-Durarus Saniyyah fil ajwibatin NAjdiyyah, 13/ 442. Dinukilkan dari:

01/01/12

Kemudahan setelah Kesulitan

 Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya berkata - :
“Ini kabar gembira dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi kepada Rasul – shalallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam – dan kepada seluruh umatnya.
Dan kesulitan terjadi pada Rasulullah – ‘alaihish shalatu wassalam – ketika di Makkah dan di Tha’if. Demikian pula ketika di Madinah dari orang-orang-orang munafik.
Maka Allah berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Yaitu: Sebagaimana Kami telah melapangkan untukmu dadamu, Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.

Dan ini nikmat yang besar. Demikian pula kesulitan ini yang menyempitkanmu, mesti ada kemudahan untuknya.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini : “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Dan pemaknaan perkataan beliau – semoga Allah meridhainya – bersamaan dengan penyebutan (di dalam ayat) kesulitan dua kali dan kemudahan dua kali, ahli balaghah berkata:
Pemaknaan perkataan beliau bahwa kesulitan tidak disebutkan kecuali sekali (dalam firman-Nya):
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
Kalimat الْعُسْرِ diawal diulang dalam ayat kedua dengan “ال” alif lam  , maka “ال” disini untuk ‘ahd adz-dzikry (sesuatu yang dipahami dan disepakati dalam benak pikiran).
Adapun kata “kemudahan” tidak datang dalam bentuk mu’arraf (dengan “ال”), bahkan nakirah (tanpa “ال”).
Dan kaedahnya: jika isim diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf, maka yang kedua itu sama dengan yang pertama kecuali jarang sekali.
Dan jika isim diulang dua kali dalam bentuk nakirah, maka yang kedua bukan yang pertama.
Karena (ayat) yang kedua nakirah, maka dia bukan yang pertama.
Dengan demikian, di dalam dua ayat yang mulia tersebut ada dua kemudahan dan satu kesulitan sebab الْعُسْرِ /kesulitan diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Perkataan ini adalah kabar dari Allah Yang MAha Mulia dan Maha Tinggi, dan berita-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi adalah sesempurna dan sejujur-jujur pengabaran -. Dan janji-Nya tidak akan luput.
Maka, setiap kali suatu perkara menyulitkanmu maka tunggulah kemudahan.
Adapun dalam permasalahan-permasalahan syar’i maka itu terlihat jelas. Di dalam shalat: shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring. Ini kemudahan.
Jika sulit berdiri, duduklah! Jika duduk sulit atasmu maka shalatlah dalam keadaan kamu berbaring!
Dan ketika berpuasa, jika kamu mampu dan tidak dalam safar maka puasalah! Jika tidak mampu, berbukalah!
Jika kamu sedang safar(bepergian), berbukalah!
Dalam ibadah haji, jika kamu mampu melakukan perjalanan kepadanya maka berhajilah! Jika tidak mampu, maka tidak ada kewajiban haji atasmu.
Bahkan, jika kamu telah berangkat haji namun tertahan dan tidak mungkin menyempurnakannya maka tahalul dan menyembelihlah! Dan batalkan haji!
Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ﴿١٩٦﴾
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat. Q.S. Al-Baqarah : 196.

Dengan demikian, seluruh kesulitan yang didapati seseorang dalam beribadah, dia akan mendapati pemudahan dan kemudahan.

Seperti itu juga, dalam qadha’ dan qadar, yaitu ketentuan Allah atas seseorang dari berbagai musibah, kesulitan hidup, kesempitan dada dan yang lainnya, janganlah berputus asa karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Dan pemudahan (urusan) terkadang tampak secara lahir, misal: seseorang dalam keadaan fakir, maka urusan-urusannya menyempitkannya. Lalu, Allah memudahkan baginya kecukupan.
Misal yang lain: seseorang sakit, kecapekan, yang sakit itu sangat memberatkannya. Kemudian Allah sembuhkan ia darinya. Ini pemudahan yang tampak.

Disana, ada pemudahan yang maknawi, yaitu pertolongan Allah untuk seseorang bersabar. Ini pemudahan.
Jika Allah telah menolongmu di atas kesabaran, pasti segala kesulitan akan mudah bagimu. Dan permasalahan yang sulit ini yang seandainya turun ke atas gunung pasti merobohkannya, itu dengan pertolongan Allah atasmu untuk bersabar maka menjadi sesuatu yang mudah.

Dan kemudahan itu bukanlah maknanya sesuatu itu akan terselesaikan secara sempurna saja.
  • ·         Kemudahan itu (dengan) keluar dan hilangnya kesulitan. Ini kemudahan yang kasat mata.
  • ·         Dan (kemudahan itu) dengan Allah menolong seseorang untuk bersabar sehingga permasalahan yang sangat sulit menjadi sesuatu yang mudah atasnya. Kita katakan ini sebab kita meyakini kebenaran janji Allah.

(Tafsir Juz ‘Amma, Al-Utsaimin, hal 217 – 218.)

11/08/11

Adil dalam Mendamaikan

Tafsir Surat Al-Hujuraat ayat 9 - 10

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٩﴾
 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠﴾

009. Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

010. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat. Q.S. Al-Hujuraat : 9 - 10.
Asy-Syaikh Al-'utsaimin -semoga Allah merahmatinya - berkata :

Ayat ini mengandung larangan kepada orang-orang mukmin untuk berbuat aniaya satu dengan yang lainnya dan larangan untuk saling memerangi satu dengan yang lain. Dan  jika dua kelompok dari orang-orang mukmin telah berperang maka (kewajiban) atas yang selain mereka untuk saling menghilangkan kerusakan yang besar ini dengan mendamaikan  dan menengahi antara mereka dalam bentuk yang paling sempurna, yang akan tercapai perdamaian dengannya.

Dan mereka menempuh segala jalan yang mengantarkan kepada perdamaian. Lalu,  jika kedua kelompok telah berdamai maka diperoleh kenikmatan yang besar padanya.

Dan jika ﴿ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّه salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Yaitu: kelompok itu kembali kepada batasan(syariat) Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan, yang terbesarnya adalah peperangan.

Dan firman-Nya: فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Ini perintah untuk mendamaikan dan adil di dalamnya. Sebab terkadang didapati perdamaian namun tidak terjadi dengan adil bahkan dengan kezhaliman dan condong pada satu pihak dalam menghukumi. Maka ini bukan perdamaian yang diperintahkan.

Maka wajib untuk tidak membela salah satu dari kedua pihak disebabkan kekerabatan atau negeri atau yang selain itu dari maksud-maksud dan tujuan-tujuan yang menjadikannya menyimpang dari keadilan.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴾ ﴿ sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Yaitu: orang-orang yang adil dalam menghukumi antar manusia dan adil dalam seluruh kekuasaan yang mereka pimpin, sampai-sampai dalam keadilannya pada keluarga dan kerabatnya, dalam menunaikan hak-hak mereka. Dan dalam hadits yang shahih:

((المُقْسِطُونَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ هُمُ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا))

Orang-orang yang adil berada di sisi Allah, di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka itu adil dalam hukum mereka, keluarga mereka dan adil pada apa yang mereka pimpin.[1]

﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ ﴾ Tidak lain orang-orang mukmin itu bersaudara. Ini perjanjian yang Allah ikat antara kaum mukminin bahwa jika didapati seseorang di Timur dan di Barat yang beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan beriman kepada hari Akhir maka ia adalah saudara bagi orang-orang mukmin. Persaudaraan yang mewajibkan orang-orang mukmin mencintai untuk saudaranya sesuatu yang mereka cintai untuk diri-diri mereka. Dan mereka membenci untuknya sesuatu yang mereka benci untuk diri-diri mereka.

Oleh karena ini, Nabi shalallah 'alaihi wasallam bersabda memerintahkan kepada hak-hak persaudaraan seiman:

« لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ يَبِعْ أحدكم عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُؤمن أَخُو الْمُؤمنِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ»

Janganlah kalian saling hasad(dengki), janganlah kalian saling tanaajusy[2], janganlah kalian saling membenci, dan janganlah salah seorang kalian membeli pembelian yang lain. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Mukmin itu saudara mukmin yang lain, ia tidak mennzhalimi, merendahkan, dan menghinakannya.[3]

Dan Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

((الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا)) وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

"Mukmin itu bagi mukmin yang lain seperti bangunan, menguatkan satu bagian dengan bagian lainnya". Kemudian Beliau menjalin jari-jemarinya.[4]

Dan Allah dan Rasul-Nya telah benar-benar memerintahkan penegakan hak-hak kaum mukminin satu dengan lainnya. Dan penegakan hal-hal yang dengannya menghasilkan rasa saling bersatu, saling menyayangi, dan saling berhubungan antara mereka. Seluruhnya itu mengokohkan hak-hak yang satu dengan yang lain.  

Diantaranya, jika terjadi peperangan antar mereka yang mewajibkan terpecah-belahnya hati-hati mereka, saling melakukan hal yang menyebabkan kemarahan dan permusuhan dari yang lain, saling bertentangan dan menjauhi satu dengan lainnya maka kaum mukminin mendamaikan antara saudara-saudara mereka dan mereka berusaha melakukan sesuatu yang dengannya akan hilang kebencian antara mereka.

Kemudian Allah memerintahkan, secara umum, untuk bertakwa dan akibat dari menegakkan hak-hak orang-orang mukmin dengan takwa kepada Allah adalah rahmat-Nya. Maka selanjutnya Allah berfirman:

﴿ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴾

semoga kalian dirahmati

Dan jika tercapai rahmat-Nya pasti teraih kebaikan dunia dan akhirat. Dan yang demikian itu menunjukkan bahwa tidak ditegakkannya hak-hak kaum mukminin termasuk dari penghalang terbesar untuk menggapai rahmat-Nya.

Dan di dalam dua ayat ini terkandung faedah-faedah selain yang terdahulu:

·         Bahwa peperangan antara orang-orang mukmin akan menafikkan rasa persaudaraan seiman. Oleh karena ini ia termasuk dari dosa besar yang paling besar.

·         Bahwa keimanan dan persaudaraan seiman tidak hilang bersamaan adanya peperangan (antar mereka) seperti yang lainnya dari dosa-dosa besar yang di bawah kesyirikan. Dan itu adalah madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah.

·         Wajibnya mendamaikan antara kaum mukminin dengan adil.

·         Wajibnya memerangi pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allah.

·         Dan seandainya mereka kembali untuk selain perintah Allah, dengan kembalinya mereka di atas bentuk yang tidak boleh (untuk kita) menetapkannya dan memegangnya, bahwa (kembalinya mereka dengan cara) yang demikian itu tidak boleh.[5]

·         Bahwa harta-harta mereka ma'shum (terlindungi) sebab Allah membolehkan darah-darah mereka (untuk diperangi) sewaktu mereka terus-menerus di atas pemberontakan mereka secara khusus, tidak harta-harta mereka.[6]



[1] Dari Abdullah bin 'Amr diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 4825) dan Nasa'i dalam sunannya (no. 5284) keduanya meriwayatkan dengan lafazh:
« إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا ».
Dan lafazh yang disebutkan Syaikh As-Sa'di dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (no. 6648), Al-Baihaqi dalam sunan Al-Kubra (no. 19949) dengan lafazh:
« الْمُقْسِطُونَ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا »

[2]  Berkata As-Sindiy rahimahullah dalam Hasyiyah Sunan An-Nasa'i: (tanaajusy) yaitu seseorang memuji satu barang dagangan untuk melariskannya atau ia menaikkan harga dan ia tidak berkeinginan membelinya tapi untuk memperdaya selainnya (dari pembeli) dengan hal tersebut. Dan didatangkan (kalimat ini) dengan wazan tafa'ul karena para pedagang  saling bersaing maka seseorang ini melakukan najasy ini dengan temannya untuk temannya itu membalas dengan melakukan semisal yang ia lakukan. Maka mereka dilarang untuk melakukannya secara bersaing terlebih memulai melakukannya.
Dan berkata Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Sallam dalam kitabnya Gharibul Hadits (juz 2 hal. 10): yaitu dalam perdagangan, seseorang menambah harga suatu barang dagangan dan ia tidak ingin membelinya namun agar yang lain mendengarnya kemudian menaikkan harga di atas penambahannya.
Dan berkata penulis Aunul Ma'bud: Berkata Al-Khaththabiy: An-Najasy yaitu seseorang melihat barang-barang dagangan  maka ia menambah harganya tidak untuk membelinya. Tidak lain ia menghendaki dengan itu untuk memotivasi penawar yang lain agar mereka menambah harga barang tersebut (di atas penawarannya) dan di dalamnya ada penipuan bagi yang menginginkan barang-barang tersebut dan ia meninggalkan dari menasehati  yang ia diperintahkan kepadanya. selesai
[3] H.R. Muslim no. 2564 dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dengan lafazh وَلاَ تَدَابَرُوا setelah lafazh وَلاَ تَبَاغَضُوا. Dan demikian  pula Imam Ahmad meriwayatkannya .
[4] H.R. Bukhori (no. 467, 1365, 2314, 5680, 5680, 7038) dan Muslim (no. 2585) dari Abu Musa Al-Asy'ariy radhiallahu 'anhu.
[5] Maksudnya: Mereka harus kembali dari perbuatan mereka itu karena Allah dan sesuai dengan ketetapan yang Allah inginkan bukan karena tujuan lain. Wallahu a'lam.
[6]  Yaitu tidak boleh diambil seperti orang-orang yang halal darah dan harta mereka sebagai ghanimah (rampasan perang). Wallahu a'lam.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes