Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan

14/03/12

Berapa Usia Anak yang Seorang Wanita Harus Berhijab darinya?


Wahai syaikh yang mulia, aku telah banyak melihat perselisihan dalam permasalahan masuknya anak laki-laki kepada para wanita (yang bukan mahram).
Orang-orang selain penuntut ilmu, aku telah melihat tafrith (bermudah-mudahan). Mereka mengizinkan bagi yang telah berusia dua belas atau empat belas tahun, dan terkadang lebih besar dari itu, untuk masuk kepada para wanita (yang bukan mahramnya).
Mereka memandang bahwa yang demikian itu tidak mengapa.
Dan aku juga melihat, di sisi lain, sebagian ikhwah yang berpegang teguh kepada agama Allah ‘Azza wa Jalla, terlalu keras dalam permasalahan itu. Sampai-sampai, mereka melarang anak-anak yang berusia lima tahun, bahkan yang berumur empat tahun. Mereka mendakwa bahwa anak ini memiliki kecerdasan dan ia memperhatikan atau mampu membedakan yang cantik dan yang jelek dari para wanita itu.
Kemudian, apakah batasan dalam permasalahan itu beserta dalilnya, wahai syaikh?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya -  menjawab:
“Batasannya disebutkan Allah ‘Azza wa jalla di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ إلى قوله - أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
Dan janganlah mereka (wanita yang beriman) menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka – sampai dengan firman-Nya – atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Inilah batasannya.
Jika terlihat dari anak, bahwa ia memperhatikan para wanita atau menyentuhnya atau yang semisalnya atau ia condong kepada yang cantik daripada yang lain, dipahami bahwa ia telah mengerti tentang aurat wanita.
Dan ini tidak terjadi kecuali pada anak berusia sepuluh tahun ke atas.
Kecuali, jika anak itu tumbuh di lingkungan yang selalu membicarakan tentang wanita dan (permasalahan terkait) syahwat. Maka, mungkin bagi anak itu untuk memperhatikan aurat wanita sebelum berusia sepuluh tahun.
Ini terkait penampakan wajah wanita di hadapannya. Adapun terkait khalwat (berduaan) dengan wanita , maka wajib untuk berlindung darinya.
Demikian itu, disebabkan ia (si anak)– walaupun tidak ada sesuatu yang menyebabkan untuk berhijab darinya -, namun jika ia berduaan dengan seorang wanita, mungkin si wanita itu sendiri memiliki kerusakan dalam dirinya. Lalu, ia mencoba untuk membangkitkan syahwatnya (anak itu). Ya, dan mungkin untuk dia(si wanita) menguasakan anak itu atas dirinya atau yang semisal itu.
Sehingga, khalwat itu satu permasalahan dan menyingkap wajahnya bagi anak-anak itu suatu (permasalahan) yang lain pula.
Yaitu: bahwa khalwat lebih wajib untuk berlindung darinya agar si wanita tidak bersenda gurau dengan anak itu.
Dan jika kita telah mengetahui bahwa ada wanita yang memasukkan kera kepadanya untuk bersenang-senang dengannya, maka bagaimana dengan anak berusia tujuh atau delapan tahun?
Liqa’atul Baabil Maftuuh, Asy-Syaikh al-Utsaimin, 2/ 208 – 209.

Berapa Usia Anak yang Seorang Wanita Harus Berhijab darinya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya menjawab:
“Allah Ta’ala berfirman dalam konteks menjelaskan siapa yang boleh untuk wanita menampakkan perhiasan kepadanya (diantaranya):
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Dan seorang anak, jika ia telah mengerti tentang aurat wanita yang membuatnya memperhatikannya dan banyak berbicara tentangnya, maka tidak boleh bagi seorang wanita untuk membuka (wajahnya) di hadapannya.
Dan ini berbeda berdasarkan perbedaan pergaulan si anak. Karena, seorang anak kecil terkadang memiliki permasalahan terhadap wanita ketika ia duduk bersama orang-orang yang banyak membicarakan mereka(para wanita). Dan seandainya tidak demikian ini, ia benar-benar lalai, tidak memperhatikan para wanita.
Yang terpenting, Allah telah membatasi permasalahan ini dengan firman-Nya:
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء ﴿٣١﴾
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Q.S. An-Nuur: 31.
Yaitu: ini termasuk yang halal bagi wanita untuk menampakkan perhiasannya, apabila ia (si anak) tidak mengerti aurat para wanita dan tidak memperhatikan urusan mereka.”
Majmua’atun As’ilatun Tahimmul Usratul Muslimah, al-Utsaimin, hal. 148.

Kapan anak-anak dilarang untuk masuk kepada wanita ajnabi (bukan mahramnya)? Ataukah ia tidak dilarang hingga ia baligh?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:
“Ia dilarang setelah baligh. Namun, seandainya ia dalam persangkaan (telah memiliki) syahwat (terhadap wanita) atau ada fitnah dari sisinya atau si wanita, maka ia dilarang masuk kepadanya (para wanita) dan berkhalwat dengannya, sebagai penjagaan dari fitnah. “
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Fatawa al-Lajnah Ad-daimah, Soal ke-2 dari Fatwa no. 6985.
Dinukilkan dari:

12/02/12

Tarbiyah Anak Perempuan dalam Timbangan Syariat

Asy-Syaikh Ali bin Yahya al-Haddady – semoga Allah menjaganya – berkata:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على عبده ورسوله محمد وعلى آله وصحبه
أما بعد :
Para pembaca yang mulia…
Tidak didapati seorang pun kecuali Rabbnya akan membangkitkannya setelah kematian, menanyakan, dan menghitung apa yang dahulu ia lakukan di dunia ini.
Dan sesungguhnya termasuk dari apa yang seorang akan ditanya adalah tentang keluarga dan anaknya: bagaimana pemeliharaan dan tarbiyah(didikan)nya kepada mereka?
Dalam hal ini, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( الرَّجُلُ رَاعٍ في أهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالمَرْأةُ رَاعِيَةٌ في بيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا)) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Seorang laki-laki  adalah pemimpin di dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan seorang wanita pemimpin di dalam (urusan) rumah suaminya dan akan ditanya kepemimpinannya. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dan hadits tentang tarbiyah bercabang sangat banyak, namun saya akan mencukupkan dalam pembahasan ini apa-apa yang secara khusus terkait dengan tarbiyah anak perempuan, disebabkan besarnya perkara ini dan pengaruh mereka yang sangat besar terhadap masyarakat terkait akhlak dan budi pekerti(masyarakat).
Sesungguhnya seorang anak perempuan, jika ia telah dewasa kelak menjadi seorang istri, ibu, pendidik, dan hal-hal lain yang menantinya dari perihal-perihal penting dalam kehidupan.
Maka, jika ia baik, maka banyak hal akan menjadi baik. Dan jika ia jelek/ rusak, maka banyak hal akan menjadi jelek/ rusak.
Dan perbincangan kalimat yang ringkas ini akan berporos pada hal-hal berikut:
a.       Keutamaan anak perempuan dan kebatilan penghinaan ala jahiliyyah.
b.      Berbuat ihsan(baik) kepada anak perempuan: bentuk-bentuk dan rambu-rambunya.
c.       Metode proteksi (perlindungan) dari bahaya-bahaya di zaman mutakhir ini.
A. Keutamaan Anak Perempuan dan Kebatilan Penghinaan ala Jahiliyyah
Jika kita melihat di dalam Kitabullah, kita pasti mendapati ia(Al-Qur’an) mencela orang-orang jahiliyyah dahulu. Mereka jika diberitakan kelahiran anak perempuan, maka menghitam wajahnya karena marah besar. Lalu, ia merasa malu kepada kaumnya sehingga bersembunyi dari mereka karena malu.
Kemudian, ia berbicara pada dirinya sendiri apakah menutupinya dengan menguburnya hidup-hidup atau membiarkannya hidup dalam kehinaan.
Maka Allah telah menjelekkan dan mencela mereka dalam hal itu.
Dan syiar-syiar jahiliyyah ini senantiasa terkumpul di dalam hati sebagian laki-laki, terlebih jika istrinya melahirkan anak perempuan, bersamaan wanita itu seperti tanah yang menumbuhkan bibit-bibit sesuai apa yang ditanamkan petani di dalamnya.
Dan terkadang sebagian mereka sampai tingkatan menceraikan istrinya setelah ia melahirkan anak perempuan. Kita berlindung kepada Allah dari kejahilan dan perilaku kasar.
Sungguh, mereka dahulu di jaman jahiliyyah tidak memandang wanita sedikitpun. Sampai-sampai seorang laki-laki mengubur anak perempuannya, dalam keadaan ia memelihara anjingnya dan memberi makan hewan peliharaannya.
Lalu, Allah membatalkan perspektif (sudut pandang) yang rendah ini, Dia mengangkat kedudukan wanita, dan mendudukkannya pada posisinya yang alami, yang sesuai. Dibebankan hak-hak wanita kepadanya(laki-laki) dan atasnya(wanita) untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Dan Dia (Allah) berbicara kepadanya(wanita) sama dengan pembicaraan kepada laki-laki dalam perintah dan larangan. Dan Dia mengkhususkannya(wanita) dalam beberapa hukum yang sesuai dan cocok dengan fitrahnya.
Sesungguhnya kelahiran itu perkara takdir, urusannya di tangan Allah.
Maka, Dia-lah yang mengaruniai anak perempuan kepada yang Dia kehendaki dan menganugerahi anak laki-laki kepada yang Dia kehendaki. Dan dia gabungkan kepada yang lain anak laki-laki dan anak perempuan serta menguji yang lain dengan kemandulan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ ﴿٤٩﴾ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَاناً وَإِنَاثاً وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيماً ﴿٥٠﴾
049. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
050. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Q.S. Asy-Syuura: 49 – 50.
Dan renungilah, bagaimana Dia mendahulukan penyebutan anak perempuan dan mengakhirkan anak laki-laki, sebagai bantahan kepada orang-orang yang merendahkan urusan dan kedudukan mereka(anak-anak perempuan) serta tidak memperhitungkan mereka sedikitpun.
Maka, ridhalah terhadap pembagian Allah kepadamu. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui mana yang lebih baik.
Seberapa banyak seorang ayah yang bergembira ketika dikabarkan kelahiran anak laki-laki, lalu anak itu belakangan menjadi bencana atasnya, membuat keguncangan hidupnya, dan selalu mempersempit dan mempersulitnya.
Dan berapa banyak seorang ayah yang murka di hari dikabarkan kelahiran anak perempuan baginya pada saat ia menanti kelahiran anak laki-laki, kemudian anak perempuan itu menjadi tangan yang pengasih, hati yang sangat penyayang, dan menolong di saat tertimpa musibah.
Dari sini, kita mendapati bahwa penyejuk mata yang hakiki bukan dengan dilahirkannya anak laki-laki atau perempuan. Tidak lain itu diperoleh, jika yang dilahirkan itu keturunan yang shalih lagi baik, sama saja mereka itu laki-laki atau perempuan.
Allah Ta’ala berfirman menyifati hamba-hamba-Nya:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً ﴿٧٤﴾
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Q.S. Al-Furqaan: 74.

B. Berbuat ihsan (baik) kepada anak perempuan: bentuk-bentuk dan rambu-rambunya.
Saudaraku muslim…
Apabila Allah memberikanmu rezeki berupa anak perempuan, maka berbuat baiklah kepada mereka dalam menegakkan tarbiyah, nafkah, dan muamalah dengan mengharap pahala dari Allah Ta’ala di dalamnya. Ataukah kamu tidak tahu apa ganjaran bagimu di sisi Allah jika kamu mengerjakan itu?
Sesungguhnya, apabila kamu telah melaksanakannya, kamu akan bersama Nabi Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – pada hari  Akhir. Di dalam hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ» وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“Siapa yang mengurusi dua anak perempuan sampai baligh(dewasa), dia dan aku datang pada hari Kiamat (seperti ini).” Dan Beliau menjalin jari-jemarinya. Hadits riwayat Muslim.
Dan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:

مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ
Siapa yang diuji sesuatu dari anak-anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, mereka (anak-anak perempuan itu) kelak akan menjadi pelindung baginya dari api neraka. (Hadits ‘Aisyah, riwayat alBukhari – Muslim)
Dan berbuat baik kepada mereka dilakukan dengan banyak cara, diantaranya:
1.       Memilih ibu yang shalihah. Dan ini awal perlakuan baik kepada anak keturunan. Karena, keshalihan ibu termasuk sebab kebaikan pada anak-anaknya, insya Allah. Seberapa banyak anak keturunan yang Allah menjaga mereka dengan sebab keshalihan orangtuanya.
2.       Memberi nama yang baik. Karena, nama memiliki pengaruh kepada pemiliknya. Nama-nama itu bermacam-macam, ada yang mustahab, mubah, makhruh, dan haram. Dan kebanyakan orang sekarang mencari nama-nama baru dengan tidak melihat kandungan makna atau hukumnya. Seberapa banyak pemudi memiliki nama yang bermakna buruk. Dan seberapa banyak para pemudi bernama dengan nama orang-orang asing sedangkan bapak-ibunya keturunan Arab dan hidup di lingkungan Arab.
3.       Memenuhi kebutuhan badan berupa gizi, sandang, dan obat. Dan mencari nafkah untuk tujuan ini termasuk sebab masuk surga.
Dahulu, seorang wanita beserta dua anak perempuannya telah masuk menemui ‘Aisyah – radhiallahu ‘anha – dan ia seorang yang fakir. ‘Aisyah berkata: “Kemudian ia meminta(shadaqah) dariku dan tidak ada padaku kecuali satu biji kurma. Lalu, aku mengambil dan memberikan kurma itu kepadanya. Ia pun mengambilnya dan membnginya kepada dua anak perempuannya sedangkan ia tidak memakan sedikitpun darinya. Setelahnya, ia bangkit dan keluar bersama dua anak perempuannya.
Kemudian, Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – masuk (ke rumah ‘Aisyah), aku  pun menceritakan hal itu kepada Beliau. Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – lalu bersabda:
(( إنَّ الله قَدْ أوْجَبَ لَهَا بها الجَنَّةَ ، أَوْ أعتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ ))
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga baginya dengan (perbuatannya) itu atau telah membebaskannya dari neraka. H.R. Muslim.
4.        Memuliakan, bersimpati, dan mengasihinya. Dahulu, Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – jika kedatangan Fatimah, Beliau (menyambutnya dengan) berkata: “Selamat datang, putriku!”. Dan Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – pada suatu hari shalat mengimami orang-orang dengan menggendong Umamah putri dari putri Beliau: Zainab.
Jika Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam –  akan rukuk, Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – meletakkannya. Dan apabila berdiri, Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – menggendongnya, seakan-akan tidak ada seseorang disisinya(Umamah) yang mengurusinya sehingga Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam –  merasa khawatir atasnya. Atau, Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam – ingin mensyariatkan kepada manusia agar mereka mengambil bimbingan darinya (dalam merahmati anak perempuan).
Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – sangatlah penyayang kepada anak-anak kecil secara umum, baik laki-laki atau perempuan. Beliau – shalallahu ‘alaihi wasallam –  mencium mereka, membelai-belai kepala mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan bercanda dengan mereka yang ini terdapat kebaikan yang besar di dalamnya.
Dan setiap kali para pemudi beranjak dewasa, ia butuh kepada penghormatan dan pemuliaan. Jika terpenuhi hajat ini baginya dan ia merasakan bahwa ia memiliki nilai dan kedudukan di rumah kedua orangtuanya, itu akan lebih memotivasi untuk pemantapan jiwanya, ketenangan, dan istiqamah(lurus)nya keadaan-keadaannya.
Adapun jika ia melihat peremehan dan pembiaran, tidaklah (orang tuanya) bermuamalah dengannya kecuali dengan konteks perintah dan larangan, meminta bantuan atau menjatuhkannya; itu akan menimbulkan kebencian kepada rumahnya.
Dan mungkin untuk syaithan mendatangkan waswas kepadanya sehingga ia mencari rasa kehilangannya dari simpati dan kasih-sayang dengan menempuh jalan-jalan yang diharamkan yang mengantarkannya kepada atmosfer kebinasaan. Allah-lah yang mengetahui kemana ia akan menetap.
5.       Berbuat adil antara dia dengan saudara-saudaranya, baik (saudara) laki-laki atau perempuan. Sesungguhnya, jika ia merasakan kezhaliman dan ada kecondongan kepada selainnya, itu akan menumbuhkan rasa benci dalam dirinya kepada dua orangtuanya dan perasaan dendam terhadap seorang yang lebih mengutamakan saudaranya laki-laki atau perempuan darinya.
Maka, bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anak kalian! Adapun terkait nafkah, maka sesuai dengan kebutuhan. Adapun dalam hibah, maka bagi anak laki-laki semisal dua kali bagian perempuan. Dan jika ia menyamakannya antara mereka, maka itu sesuatu yang baik.
6.       Mendidiknya dengan didikan yang baik dan mengawasinya  sejak usia dini. Ia mendidiknya di atas adab meminta izin, adab makan-minum, dan adab berpakaian. Membimbingnya menghafal apa yang mudah dari Al-Qur’an dan dzikir-dzikir syar’i. Mengajarkan wudhu’  dan shalat serta memerintahkan kepadanya (untuk shalat) ketika bberumur tujuh tahun dan melazimkan (shalat) kepadanya jika telah berusia sepuluh tahun.
Maka, jika ia tumbuh di atas kebaikan, maka ia akan menyatu dan mencintainya (kebaikan)serta mudah baginya untuk senantiasa dan kokoh di atasnya.
7.       Mengajarkan dan melatihnya kepada apa-apa yang ia butuhkan setelah memasuki dunia pernikahan, berupa adab bergaul dengan suami, menyelesaikan urusan-urusan rumah dari memasak, bersih-bersih, dan yang lainnya. Dan didapati pada sebagian keluarga yang lalai dari sisi ini. Sehingga, ketika si pemudi telah pindah ke rumah suaminya, didapati ia tidak mampu memasak dan mengemasi barang dengan baik, tidak bisa bergaul dan bermuamalah (dengan baik pula). Dan terkadang, seorang suami kurang sabar lagi cepat marah, maka muncul bermacam problematika dalam waktu yang singkat(dari pernikahan) dan terkadang berakhir dengan perceraian.
8.       Bersegera menikahkannya jika telah mencapai usia dewasa dan telah datang melamarnya seseorang yang diridhai agama, amanah, dan akhlaknya. Dan ia (wanita) ridha pula (terhadap laki-laki itu). Sesungguhnya ini termasuk dari berbuat kebaikan yang paling besar kepadanya, sebab mengundur-undur menikahkan pemudi termasuk sebesar-besar sebab penyimpangan dari jalan yang lurus. Terlebih, di masa sekarang ini.
Wali pemudi yang memudahkan urusan pernikahan seorang pemudi dari mahar dan pelengkapnya lain, itu semua termasuk pendorong orang-orang untuk datang melamarnya. Kemudian, saudari-sadarinya yang dibawahnya.
Dan atas keluarga muslim untuk berhati-hati dari memperlambat pernikahan pemudi dengan argumen: menyelesaikan studi atau bahwa si pemudi masih kecil dan yang semisalnya dari udzur-udzur yang lemah. Sebab (bahaya mengundur pernikahannya) ia perkara yang (kejelekannya) kembali kepada masyarakat dengan sejelek-jelek akibat.
9.       Menjaganya setelah pernikahan dengan komunikasi dan ziarah(mengunjunginya), melihat-lihat kebutuhannya, mengobati berbagai problema yang dihadapinya, dan berpartisipasi dalam seluruh kegembiraan dan kesedihannya.
Dan hendaknya keluarga muslim berhati-hati, terlebih ibunda, dari ikut campur secara langsung dalam kehidupan (rumah tangga) anak perempuannya. Sesungguhnya terlalu sering masuk dalam hal yang tidak bermakna baginya sering mengganggu kehidupan rumah tangga anak perempuannya.
C. Metode-metode Proteksi dari Bahaya-bahaya di zaman Mutakhir
Tidak ada kesamaran bagimu, wahai saudaraku muslim, bahwa kita sedang hidup di suatu zaman yang banyak fitnah. Dan tersedia di dalamnya pelbagai jalan-jalan kejelekan dan kesesatan yang tidak ada di zaman-zaman sebelumnya.
Dan ini menekankankan atasmu (untuk memperkuat) tanggung jawabmu, mewajibkan peningkatan kesungguhan dalam tarbiyah(mendidik), menasehati, mengarahkan, dan mengambil sebab-sebab keselamatan.
Dan jalan-jalan perlindungan (kepada anak perempuan) secara ringkas:
1.       Istiqamah dan keshalihan ayah dan ibu. Keshalihan kedua orangtua termasuk sebab yang Allah menjaga keturunan dengannya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Kahfi pada kisah Musa dan al-Khadr:
حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْراً ﴿٧٧﴾
Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khadhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Q.S. Al-Kahfi: 77.

Kemudian setelah itu, Khadr menjelaskan sebab ia memperbaiki dinding itu tanpa mengambil upah darinya (sebagaimana dalam firman-Nya):
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ﴿٨٢﴾
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu". Q.S. Al-Kahfi: 82.

Sehingga, Allah menjaga kedua anak itu dengan sebab keshalihan ayahnya.

2.       Memperhatikan perkara doa, sesungguhnya ia memiliki pengaruh yang besar. Kedua orang tua yang berdoa, dengan sepenuh hati dan ketundukan kepada Allah untuk Dia membaikkan keadaan anak-anak mereka, termasuk sebab-sebab dan pintu masuk kebaikan.
Dan termasuk berita yang baik dalam bab ini, apa yang diriwayatkan dari Fudhail bin ‘Iyyadh, Imam di al-Haram Makkah di zamannya, dia berdoa:
“Ya Allah…sesungguhnya aku telah bersungguh-sungguh mendidik anakku, Ali, lalu aku tidak mampu untuk mendidiknya, maka Engkau didiklah ia untukku.”
Kemudian, anak itu berubah keadaannya sampai menjadi termasuk pembesar orang-orang shalih di zamannya. Dan ia meninggal pada shalat fajar ketika imam shalat membaca firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ تَرَىَ إِذْ وُقِفُواْ عَلَى النَّارِ فَقَالُواْ يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ ﴿٢٧﴾
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia). Q.S. Al-An’aam: 27.

(Lihat: Siyar a’lamin Nubala’: 8/ 390)

Dan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah mengajarkan kepada kita isti’adzah (permohonan perlindungan) kepada Allah dari seluruh fitnah.
Dan demikian pula sepantasnya, untuk anak-anak diajarkan doa-doa dan membimbing mereka untuk berdoa yang Allah akan memberi manfaat dengan sebabnya.
Dan ketika Yusuf – ‘alaihissalam – diuji dengan fitnah wanita, Beliau berdoa:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ ﴿٣٣﴾ فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٣٤﴾
033. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."
034. Maka Tuhannya memperkenankan do`a Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S. Yusuf: 33 - 34.

Dan Allah menyebut alasan pengabulan-Nya terhadap doa Yusuf – ‘alaihissalam – bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, sehingga orang beriman mengetahui bahwa jika ia berdoa kepada Rabbnya dengan doa yang Allah tahu kejujuran (dalam doanya), maka sesungguhnya Rabbnya itu dekat dan akan mengabulkan (doanya).

3.       Mengawasi pemudi dengan arahan dan peringatan melalui metode yang sesuai, secara langsung atau sindiran, berdasarkan kondisi yang cocok. Sesungguhnya hati-hati dari manusia itu lalai, dan nasehat akan menyadarkannya. Peringatan dan nasehat akan bermanfaat bagi orang-orang mukmin.
4.       Mengarahkannya untuk memilih teman wanita yang baik sebab pertemanan itu berpengaruh besar baginya dalam perilaku, pola pikir, dan yang lainnya. Dan di dalam hadits:
((الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ ))
Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya, maka lihatlah siapa yang akan kalian jadikan teman dekat.
(Hadits Abu Hurairah, riwayat at-Tirmidy dan Abu Daud.)

5.       Menjauhkan rumah dari media-media kehancuran dan kebinasaan. Maka, sesungguhnya kebanyakan dari saluran-saluran (televisi) dan situs-situs internet akan menghancurkan apa yang sedang kamu bangun (dari tarbiyah) dan memudharatkan lebih banyak daripada memperbaiki.
Seberapa banyak orang yang mulia yang telah tersia-siakan dengan sebabnya. Seberapa banyak dari orang-orang yang menjaga kehormatan yang telah terkotori dengan sebabnya.
Sehingga, keselamatan itu dengan menjauhinya. Dan keselamatan itu tidak ada sesuatu pun yang bisa mengimbanginya.
Jika didapati di rumah, maka hendaknya kepala keluarga(ayah) menjaga agar media-media ini tidak terbuka lebar bagi keluarganya, yang mereka mengikuti apa yang mereka inginkan(dari media-media tersebut) dan koneksi dengan internet sekehendak mereka. Sebab dengan itu, mereka akan memudharatkan diri mereka dengan kejelekan yang sangat.
Demikian pula pada handphone (HP). Sesungguhnya ia sekarang ini tidak dianggap sekedar media komunikasi saja, bahkan telah jauh melampauinya, ketika satu HP ada perekam suara (recorder), kamera, video. Dan seberapa sering ia digunakan untuk menyebarkan dan menyiarkan kejelekan.
6.       Menegakkan kewajiban pemeliharaan. Sehingga, ia bersemangat mengurusi anak perempuannya dan mengawasinya dari sebab-sebab istiqamahnya. Sebagaimana kelengahan dan melonggarkan tali termasuk sebab-sebab lepasnya (dari pengawasan), maka tegakkanlah kewajibanmu dengan kewajiban seorang lelaki. Janganlah kamu memperkenankan ia untuk tabarruj, membuka wajahnya, berbicara dengan laki-laki asing (bukan mahram), dan safar tanpa mahram. Tidak lain, para wanita berani berbuat ini, mayoritasnya, jika ia melihat wali-walinya memejamkan mata dan lalai (dari perkara-perkara tersebut).
7.       Memperingatkan dengan seluruh peringatan dari keterputusan hubungan persatuan keluarga dan rumah tangga. Sesungguhnya kebanyakan keluarga sekarang ini mengeluhkan lemahnya hubungan antara individu-individu di dalamnya. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Ayah di satu lembah, ibu di lembah lain, dan anak-anak seluruhnya di alamnya sendiri.
Dan tidak diragukan, bahwa kekosongan (hubungan) ini akan melahirkan permasalahan-permasalahan besar, namun tumbuh sedikit demikit bersama waktu. Terus demikian sampai tiba waktunya, maka akan terjadi ledakan. Keluarga itu pun terbangun namun setelah berwaktu lalu yang panjang.
8.       Janganlah engkau berprasangka – wahai saudaraku – bahwa tantangan bagi para wanita itu adalah bahaya penyimpangan akhlak dengan terjatuhnya ia pada perbuatan fahisyah (zina) atau narkoba dan yang semisalnya. Bahkan, ia juga menghadapi tantangan lain yaitu: bahaya pemikiran.
Seorang wanita terbuka untuk bergabung dengan kelompok-kelompok binasa yang Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah mengabarkannya dan jumlahnya mencapai tujuh puluh dua golongan.
Seberapa banyak wanita sekarang ini yang beragama dengan diin khawarij, mereka mempengaruhi suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan murid-murid mereka.
Seberapa banyak wanita yang mengambil akidah-akidah sufiyyah, menghadiri majelis-majelisnya, dan perayaan-perayaannya yang Allah tidak menurunkan perintah tentangnya, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk penyelisihan terhadap sunnah.
Oleh karenanya, ini mewajibkan bagi pimpinan keluarga untuk teliti dan berhati-hati, sehingga ia memperhatikan sumber-sumber asupan pemikiran yang akan memberi asupan kepada hati dan akal anggota keluarganya.

Demikian ini(pembahasannya). Dan aku memohon kepada Allah untuk memberi
hidayah, kebaikan bagi kamu muslimin dan muslimah, dan kelurusan keadaan mereka.
Sebagaimana aku memohon untuk Dia memberi taufik kepada para pemudi muslimah agar mereka berpegang teguh kepada agamanya, kokoh di atas manhaj yang hak, dan untuk Dia melindungi mereka dari kesesatan fitnah, yang tampak dan yang tersembunyi.
Dan segala pujian yang sempurna bagi Allah Rabbul ‘alamin.

Ali bin Yahya al-haddadiy
Imam dan Khatib
Jami’ (masjid) ‘Aisyah – radhiallahu anha –
Di Riyadh
14 Syawwal 1426 H

Sumber:

20/01/12

Mengajarkan Ilmu di Rumah


Ibnul Hajj – semoga Allah merahmatinya – berkata (Al-Madkhal 1/ 209):
“  Selayaknya bagi penuntut ilmu untuk merindukan bagi keluarganya apa-apa yang mereka butuhkan, sebab ia mengajarkan orang-orang yang selain mereka mencari pahala dari membimbing mereka.
Maka, orang-orang dekatnya dan yang di bawah pengawasannya lebih utama (untuk mendapat pengajaran). Karena, mereka berada di bawah kepemimpinannya dan orang-orang dekatnya, sebagaimana telah lewat hadits:
(( كُلُّكُمْ رَاعٍ ...))
Masing-masing kalian adalah pemimpin. Al-Hadits.
Maka, hendaknya ia memberi bagian mereka, bersegera mengajarkan hal yang paling utama dalam agama, kali pertama, yang paling bermanfaat dan paling mulia.
Ia ajarkan kepada mereka tentang iman dan Islam. Dan terus memperbarui (mengulang) ilmu itu atas mereka walaupun mereka telah mengetahuinya.
Dan ia ajarkan kepada mereka tentang ihsan, sifat wudhu’ dan mandi(janabah),tayammum, shalat, dan seluruh  yang terkandung dalamnya apa-apa yang wajib, sunnah, dan (terdapat) keutamaan serta setiap hal yang mereka butuhkan dari urusan agama mereka. Dari yang terpenting kemudian yang terpenting berikutnya.
(Muntaqol Fawaid, Al-Hasyidiy, hal.14)

27/12/11

Menangani Anak yang Bermain-main ketika Shalat dan Memindahkan Anak dari Shaf Depan

Syaikh yang mulia, terkait anak-anak yang belum mampu shalat dengan baik, berpaling sana-sini, atau rukuk dan tidak sujud bersama imam, apakah boleh mengeluarkan mereka dari shaf atau dibiarkan?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – menjawab:

Anak-anak kecil, jika mereka didapati mengganggu maka dikeluarkan, namun tidak dengan melarang dan meneriaki mereka.
Tidak lain, dengan menghubungi wali-wali mereka dan menyampaikan : “Wahai fulan, sesungguhnya anakmu atau saudaramu membuat keributan atas (shalat) kami” sehingga pencegahannya dari masjid datang dari sisi walinya.
Dan kamu memahami bahwa jika kamu berteriak kepada anak ini, ia akan terganggu, membenci masjid, dan benci untuk mendatanginya. Dan mungkin akan ada sesuatu dalam hati walinya kepadamu.
Namun, jika kamu mendatangi (penyelesaian) masalah dari pintunya, pasti akan menjadi lebih baik.
Adapun jika tidak terjadi gangguan dari anak-anak, tidak dengan perkataan dan perbuatannya, maka tidak boleh mengeluarkannya dari masjid dan tidak memindahkannya dari tempatnya – walaupun ia di shaf terdepan – ke tempat lain. Bahkan, ia tetap di tempatnya – walau di belakang imam – sebab seseorang yang telah mendahului kepada sesuatu maka ia yang paling berhak kepadanya.
Dan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah melarang untuk seseorang menegakkan saudaranya dari tempat(duduk)nya lalu ia duduk padanya.
Dan sebagian ulama telah berpendapat bolehnya memindahkan anak-anak dari shaf pertama ke shaf kedua. Kemudian, jika (shaf kedua penuh dan) orang-orang yang telah baligh datang, mereka menggeser anak-anak ke shaf ketiga. Demikian seterusnya sampai mereka(anak-anak) berada di (shaf) akhir masjid yang (pendapat ini) dibangun dari sabda Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam - :
( لِيَلِنِي منكم أولو الأحلام والنُّهى )
Hendaknya  mendekat kepadaku orang-orang yang baligh dan berakal dari kalian.
An-nuha yaitu orang-orang yang berakal.
Namun, beristidlal dengan hadits ini dalam (penyelesaian) masalah ini perlu penelaahan lebih dalam. Sebab, Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – ketika mengucapkan “Hendaknya  mendekat kepadaku orang-orang yang baligh dan berakal dari kalian”, Beliau ingin menganjurkan mereka untuk maju (ke shaf terdepan) sehingga mendekat ke Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Seandainya yang dikehendaki adalah pengusiran anak-anak dari shaf pertama dan yang semisal itu, maka Beliau akan mengucapkan: “Janganlah mendekatiku dari kalian kecuali orang yang baligh dan berakal.”
Lalu, jika ungkapan hadits “Janganlah mendekatiku kecuali orang yang baligh dan berakal”, maka kita katakan: ini larangan untuk anak-anak dan orang gila dari mendekatinya sehingga mereka dipindahkan ke tempat lain.
Kemudian, memindahkan anak-anak dari shaf-shaf terdepan sampai mereka berada di shaf akhir, ini termasuk yang menambah kebencian mereka terhadap masjid dan orang-orangnya dan akan menambah kegaduhan mereka juga.
Jika mereka (anak-anak) berada pada satu shaf, pasti muncul banyak kegaduhan dari mereka, berbeda jika mereka berada di sela-sela orang dewasa.
Ya, kalau kita mendapati ada anak-anak disamping kita dan kita khawatir keduanya akan berbuat keributan, maka tidak mengapa untuk memisahkan keduanya sebagai pencegahan dari mafsadah / kerusakan yang dikhawatirkan.

(Liqa’ul Babil Maftuuh, 67/ 11)

26/12/11

Tarbiyah di atas Sunnah bukan Bid'ah

Apa hukum mendidik santri-santri untuk melakukan dzikir di akhir shalat atau bertasbih secara berjamaah dan dengan suara keras?

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:

Santri-santri diajarkan dzikir-dzikir dan doa-doa dan disemangati untuk menghafalnya sesuai yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.

Namun, tidak diminta dari mereka untuk menunaikannya dalam bentuk berjamaah dan suara keras karena itu bid’ah menyelisihi dalil dan tidak ada dalil atasnya.
Dan tidak layak untuk membiasakan dan menumbuhkan santri-santri di atas kebid’ahan.

Dan kepada Allah semata kita memohon taufik.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

 (Soal ke-3 dari Fatwa no. 20107)

Wajib Mendidik Anak dari Kecil hingga Dewasa

Didapati sebagian orang tua yang memiliki anak-anak yang sudah besar, dan mereka tidak membimbing anak-anak mereka dengan prasangka bahwa kewajiban telah jatuh dari pundak mereka sebab anak-anak mereka telah besar. Maka, mereka tidak membimbing anak-anak mereka untuk shalat dan tidak pula berpuasa. Mereka membiarkan kepada anak mereka kebebasan mutlak. Apakah perilaku ini benar? Berikan faedah kepada kami disertai penjelasan dan dalil-dalil yang cukup.

Al-Lajnah Ad-daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:

Mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran wajib atas muslimin secara umum dan atas orang tua kepada anak-anak mereka secara khusus, baik anak-anak masih kecil atau sudah besar.

Dan wajib atas mereka untuk tolong-menolong bersama orang-orang yang mulia untuk menerapkan pengamalan syariat, mengambil (anak-anak) dari tangan-tangan orang bodoh dan jelek budi pekertinya, dan mereka dalam bingkai kebenaran agar mereka sungguh-sungguh beristiqamah, kebaikan menyebar, dan masyarakat selamat dari kejelekan dan kerusakan. Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

(Soal ke-2 dari fatwa no. 9291)

25/12/11

Mengenalkan Halal-Haram kepada Anak

عن أَبي هريرة - رضي الله عنه - ، قَالَ : أخذ الحسن بن علي رضي الله عنهما تَمْرَةً مِنْ تَمْر الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا في فِيهِ ، فَقَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( كَخْ كَخْ إرْمِ بِهَا ، أمَا عَلِمْتَ أنَّا لا نَأكُلُ الصَّدَقَةَ !؟ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridhainya -, ia berkata: “Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) –semoga Allah meridhai keduanya – telah mengambil sebiji kurma dari kurma sedekah, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka, Rasulullah bersabda :
Kakh! Kakh! (kalimat larangan, pen.) Keluarkan ia! Tidakkah kamu telah mengetahui bahwa kita tidak makan dari sedekah?!
H.R. Bukhari dan Muslim.

Hadits yang mulia ini mengandung faedah-faedah agung, diantaranya:

1.       Wajib untuk mendidik dan mengajarkan halal-haram kepada anak sejak dini.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata: “Maka, di dalam (hadits) ini menjadi dalil wajibnya bagi seseorang untuk mendidik (mengingatkan) anak-anaknya dari perbuatan haram sebagaimana wajib atasnya untuk mendidik mereka mengerjakan yang wajib. (Syarh Ryadhush Shalihin, 2/ 80)

Al-Hafizh Ibnu Hajar – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalam hadits…mendidik mereka (anak-anak) kepada apa-apa yang bermanfaat dan melarang dari yang membahayakan mereka dan dari mengambil yang haram walaupun mereka belum mukallaf (baligh) agar mereka merenunginya.”

(Fathul Bary, 3/ 355)

2.       Pelarangan kepada anak yang belum baligh dari sesuatu yang diharamkan kepada mukallaf(yang telah menanggung beban syariat). (Tathriz Ryadhis Shalihin, Faishal Alu Mubarak, 214)

Sehingga, anak-anak tidak dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa ada pelarangan dan pengarahan.

Dan tidak benar perkataan sebagian orang yang tidak melarang anaknya dengan berdalih bahwa mereka masih kecil dan belum paham baik-buruk atau benar-salah, atau jika kita banyak melarang anak akan menghambat dan mematikan keinginan anak untuk kreatif. Wallahu a’lam.

3.       Wajib atas wali/ orang tua untuk melindungi anak dari hal-hal yang jelek. Al-Imam An-Nawawy –semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalam hadits (terkandung) bahwa anak-anak kecil dilindungi dari apa-apa yang orang dewasa dilindungi darinya dan dilarang dari memberinya. Dan ini wajib atas wali.” (Al-Minhaaj Syarh Muslim, An-Nawawy, 7/ 175)

4.       Bagi wali/ orang tua untuk menjelaskan sebab pelarangan sesuatu agar anak memahami mengapa ia tidak boleh melakukannya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“Dan di dalamnya terkandung pemberitahuan sebab dari pelarangan.” (Fathul Bary, 3/ 355)

Abul Hasan Ubaidullah bin Muhammad Al-Mubarakfury berkata:

“Dan hadits menunjukkan bahwa anak-anak dijauhkan dari yang haram seperti orang dewasa. Dan ia diberitahu kenapa ia dilarang darinya agar ia tumbuh di atas ilmu. Lalu ketika datang waktu pembebanan syariat kepadanya, ia di atas ilmu dari syariat.”(Mir’atul Mafatih, 6/ 214)

Ini makna dari sabda Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam - : Tidakkah kamu telah mengetahui bahwa kita tidak makan dari sedekah?!


5.       Mengajak bicara seseorang yang belum tamyiz untuk memperdengarkan hukum syariat kepada wali/orang tuanya, sebab Al-Hasan pada saat itu masih kecil.(Fathul Bary, 3/ 355, 10/ 585)

6.       Sedekah haram bagi Nabi Muhammad dan keturunan bani Hasyim.

Wallahu Ta’ala a’lam bishshawab.

24/12/11

Memakaikan Anak Pakaian Islami Sejak Dini

Terkait anak-anak saya yang masih kecil, apakah mengajarkan mereka adab-adab Islam dan mengharuskan anak perempuan kecil dengan pakaian islami termasuk tasyaddud(sikap berlebihan)? jika perbuatanku ini benar, maka apa dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah?

Dewan Tetap Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi menjawab :

Apa yang kamu sebutkan dari mengharuskan anak-anak perempuan dengan pakaian yang lebar dan menutupi(aurat) dan membiasakan mereka dengan itu sejak kecil, ini bukan tasyaddud (sikap berlebihan). Bahkan, kamu di atas kebenaran dalam mendidik mereka dengan didikan islami.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

الفتوى رقم ( 10362 )


Membangunkan Anak untuk Shalat ketika Cuaca Dingin?

Saya memiliki anggota keluarga berusia  9 – 11 tahun dan saya membangunkan mereka (di pagi hari) untuk shalat. Dan pada shalat fajar(shubuh) cuaca dingin. Sebagian khatib melarangku, mereka katakan: “Sesungguhnya kamu berdosa terhadap anak-anak kecil itu.” Sekarang kami tanyakan: apakah saya berdosa atau tidak?


Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:

 Jika realita seperti yang anda sebutkan, maka anda telah berbuat baik – semoga Allah membalasmu dengan kebaikan -.

Dan kami berharap semoga Allah memberimu pahala serta menjadikanmu teladan yang baik bagi orang-orang lain yang memiliki anak.

Dan telah salah seseorang yang menyebut: kamu berdosa. Dan kami berharap semoga Allah mengampuninya, memberinya taufik kepada kebenaran, dan mendorongnya melakukan kebaikan.

Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim  telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr – semoga Allah meridhai keduanya – bahwa Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda :

( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )

Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!

Hadits mulia ini umum (memerintahkan anak shalat) di waktu musim dingin atau selainnya.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .


اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء من الفتوى رقم 13135


Kapan memulai pengajaran kepada anak?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata:
Pengajaran kepada anak dimulai sejak mereka mencapai usia tamyiz[1]. Maka,(pada usia tamyiz) dimulai pengajaran mereka dengan tarbiyah keagamaan karena Rasulullah r bersabda:
( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )
Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!
(H.R Abu Daud Dari hadits Abu Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya (Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash)
Jika anak telah mencapai usia tamyiz, pada saat ini diperintah kepada orang tua untuk mengajarkan(anak)nya dan mendidiknya di atas kebaikan. Hendaknya ia mengajarkan Al-Qur’an dan apa yang mudah dari hadits-hadits, mengajarkannya hukum-hukum syar’I yang sesuai dengan tingkatan usia anak ini. Ia ajarkan bagaimana berwudhu dan tatacara shalat. Diajarkan dzikir-dzikir saat akan tidur dan ketika bangun, makan dan minum.
(Semua ini diajarkan) sebab anak jika telah sampai usia tamyiz, maka ia memahami apa yang yang diperintahkan dan dilarang kepadanya.
Begitu pula, ia(orangtua) melarangnya dari perkara-perkara yang tidak pantas dan menjelaskan kepadanya bahwa hal-hal tersebut tidak boleh baginya untuk melakukannya, seperti: dusta, mengadu domba, dan lainnya. (Demikian) sehingga anak terdidik di atas kebaikan dan meninggalkan kejelekan sejak dini.
Ini permasalahan penting yang sebagian manusia lalai darinya terhadap anak-anak mereka.
Sesungguhnya kebanyakan orang tidak mementingkan urusan-urusan anak-anak mereka dan tidak mengarahkan mereka dengan bimbingan yang selamat. Dan meninggalkan mereka terabaikan, tidak diperintah untuk shalat dan tidak ditunjukkan kepada kebaikan.
Bahkan anak-anak mereka tumbuh diatas ketidaktahuan dan di atas perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Mereka bergaul dengan orang-orang jelek, keluyuran di jalanan, dan mengabaikan pelajaran-pelajaran mereka, dan lain-lainya dari hal yang merusak yang kebanyakan pemuda-pemudi muslim tumbuh di atasnya dikarenakan ketidakperdulian orangtua mereka. Sedangkan mereka(orangtua) akan diminta pertanggungjawabannya sebab Allah membebani mereka pengurusan anak-anak mereka. Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )
Perintahkan anak-anak kalian yang berusia tujuh tahun untuk shalat dan pukullah mereka atasnya untuk yang berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka!
Dan (hadits) ini perintah dan pembebanan kepada para orang tua.
Maka, yang tidak memerintah anak-anaknya untuk shalat, ia telah memaksiati Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam –, melakukan keharaman, dan meninggalkan kewajiban atasnya yang Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – melazimkan kepadanya.
Dan Rasulullah  – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Kalian seluruhnya adalah pemimpin. Dan kalian seluruhnya akan ditanya  (kepemimpinannya) kepada yang dipimpin.
( H.R. Al-Bukhory dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar – radhiallahu ‘anhuma)
Sebagian orang tua – yang menyedihkan – sibuk dengan urusan-urusan dunianya, tidak menoleh kepada anak-anaknya, tidak meluangkan waktu sedikitpun untuk mereka, tidak lain seluruh waktunya terfokus kepada urusan-urusan duniawi.
Dan ini permasalahan yang berbahaya yang banyak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin yang berakibat jelek terhadap tarbiyah anak-anak mereka.
Maka, mereka(anak-anak kaum muslimin) tidak mendapat kebaikan diin dan dunia.
Dan tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, no. 421)


[1] Batasan usia tamyiz yaitu : mungkin baginya untuk mengetahui sesuatu dengan apa yang ia diatasnya dan mungkin untuk ia melakukan suatu tindakan serta amalan yang beraneka ragam dengan kehendaknya.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes