Tampilkan postingan dengan label Fikih Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih Hati. Tampilkan semua postingan

26/05/12

Sebab-sebab Kerasnya Hati dan Jalan Keluarnya


Bagaimana seseorang bisa membersihkan diri dari hati yang keras? Dan apa sebab-sebabnya?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – semoga Allah merahamtinya – menjawab:
“Sebab-sebab kerasnya hati adalah dosa dan kemaksiatan, banyak berbuat lalai, dan berteman dengan orang-orang yang lalai dan fasik.
Dan termasuk sebab lembut dan bersihnya hati, berteman dengan orang-orang terpilih agamanya, menjaga waktu dengan berdzikir, membaca Al-Quran, dan istighfar.
Siapa yang bisa menjaga waktunya dengan berdzikir, membaca Al-Qur’an, berteman dengan orang pilihan bersamaan ia menjauh dari berteman dengan orang yang lalai lagi fasik, hatinya akan membaik dan melembut. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
Ketahuilah, hanya dengan berdzikir(mengingat) Allah, hati itu akan tenang. Q.S. Ar-Ra’d: 28.

16/05/12

Komparasi antara Badan dan Hati yang Berpenyakit


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
Penyakit badan adalah penyelisihan kesehatannya yaitu fasad(kerusakan) yang terjadi di dalamnya, yang menyebabkan kerusakan pada pemahaman dan gerakan alaminya.
Pemahamannya(badan) itu baik akan hilang, seperti terjadi kebutaan dan tuli, atau ia memahami sesuatu yang berbeda dengan keadaan aslinya, seperti mendapati rasa manis itu sebagai pahit. Dan juga dikhayalkan kepadanya sesuatu yang tidak ada hakekatnya dalam kenyataan.
Adapun kerusakan gerakannya yang alami, semisal kekuatannya yang melemah untuk mencerna, atau membenci makanan-makanan yang dibutuhkan badan dan mencintai sesuatu yang memudharatkannya yang menghasilkan rasa sakit sesuai dengan tingkatannya.
Namun, bersamaan mengidap penyakit, badan itu tidak mati dan binasa dengannya. Sebab, terdapat jenis kekuatan sensor padanya untuk memahami gerakan yang masuk(ke tubuh) secara keseluruhan. Sehingga, dari itu muncul rasa sakit di dalam badan, baik disebabkan kerusakan jumlah atau metode.
Yang pertama (kerusakan jumlah): baik dikarenakan kekurangan zat tertentu sehingga butuh kepada makanan atau karena kelebihan sesuatu sehingga butuh untuk pengosongan.
Dan yang kedua (kerusakan metode): seperti kekuatan panas dan dingin yang keluar dari keseimbangan sehingga menjadi sakit.
Demikian pula penyakit hati, yaitu kerusakan yang terjadi padanya merusak gambaran pemahaman dan kehendaknya.
Adapun kerusakan pemahamannya, itu disebabkan syubhat yang dibentangkan di depannya sehingga ia tidak bisa melihat al-haq(kebenaran)atau melihatnya dalam bentuk yang berbeda dari hakekatnya.
Sedangkan kerusakan kehendaknya terjadi dari sisi hati itu benci kebenaran yang bermanfaat dan cinta kebatilan yang merusak.
Oleh sebab ini, “penyakit” terkadang ditafsirkan dengan syak(keraguan) dan kebimbangan, sebagaimana Mujahid dan Qatadah menafsirkan firman Allah Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً ﴿١٠﴾
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Q.S. Al-Baqarah: 10.
Yaitu: (penyakit) keraguan.
Dan terkadang ditafsirkan dengan syahwat untuk berzina sebagaimana ditafsirkan firman Allah Ta’ala:
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 32.
Oleh karenanya, Al-Khara’ithiy menulis kitab I’tilaalul Quluub (Penyakit Hati)yaitu penyakitnya. Dan yang ia maksud adalah penyakit  yang ditimbulkan syahwat.
Dan sakit – secara umum – melemahkan orang yang terjangkiti dengan menurunkan kekuatannya, ia tidak mampu untuk sesuatu yang bisa dilakukan seorang yang kuat.
Kesehatan itu dijaga dengan yang semisalnya dan hilang dengan lawannya. Penyakit menguat dengan sebab yang semisalnya dan hilang dengan lawannya.
Jika seorang yang sakit mendapatkan yang semisal dari sebab sakitnya, pasti bertambah sakitnya dan semakin melemahkan kekuatannya. Sampai-sampai, ia mungkin akan binasa.
Dan apabila ia mendapatkan sesuatu yang meningkatkan kekuatannya dan menghilangkan penyakit, maka (hasilnya)kebalikan (dari yang di atas).
Penyakit hati adalah suatu kepedihan yang terjadi di dalam hati, seperti kemarahan kepada musuh yang menguasaimu, sesungguhnya itu memedihkan hati. Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ ﴿١٤﴾ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ﴿١٥﴾
014. serta melegakan hati orang-orang yang beriman,
015. dan menghilangkan panas hati (kemarahan) orang-orang mukmin. Q.S. At-Taubah: 14 – 15.
Dia (Allah) menyembuhkan mereka dengan menghilangkan kepedihan yang terjadi di hati mereka. Dan sering diucapkan: Si fulan disembuhkan dari kemarahannya.
Dalam penegakan hukum qishash, terdapat penyembuhan kepada keluarga yang dibunuh. Ini adalah obat dari kesedihan, kemarahan, dan kesedihan. Dan ini seluruhnya rasa pedih yang terjadi di jiwa.
Demikian pula, keraguan dan ketidaktahuan(al-jahl) itu akan menyakiti hati. Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui?! Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan: bertanya! (Hadits Jabir, riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan orang yang ragu lagi bimbang dalam suatu hal, hatinya merasa sakit, sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan tentangnya. Dan dikatakan tentang seorang ulama yang telah menjawab dengan seatu yang menjelaskan kebenaran: “Ia benar-benar telah menyembuhkanku dengan jawaban itu.”
Sakit itu dibawah kematian. Hati itu mati dengan ketidaktahuan total dan sakitnya terjadi dengan satu jenis dari kebodohan. Sehingga, hati itu memiliki kematian dan penyakit, hidup dan obat.
Kehidupan, kematian, sakit, dan sembuhnya hati lebih agung daripada kehidupan, kematian, sakit dan kesembuhan badan.
Oleh karenanya, penyakit hati apabila datang syubhat atau syahwat kepadanya, sakitnya menguat. Jika ia mendapatkan hikmah dan nasehat, itu bagian dari sebab kebaikan dan kesembuhannya. Allah Ta’ala berfirman:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ﴿٥٣﴾
Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Q.S. Al-Hajj: 53.
Sebab, itu mewariskan syubhat bagi mereka. Dan kasar hatinya disebabkan kekeringannya.
Mereka itu hatinya lemah disebabkan penyakit, maka apa yang dimasukkan syaithan menjadi cobaan bagi mereka. Dan hati mereka itu keras dari iman, sehingga menjadi ujian bagi mereka.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لَئِن لَّمْ يَنتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ ﴿٦٠﴾
Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu). Q.S. Al-Ahzaab: 60.
Sebagaimana firman-Nya:
وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ ﴿٣١﴾
Dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (mengatakan), Q.S. Al-Muddatstsir: 31.
Hati mereka tidak mati seperti matinya hati-hati orang kafir dan munafik dan tidak pula hati yang sehat lagi shalih seperti kebaikan hati orang-orang beriman, bahkan didapati penyakit syubhat dan syahwat di dalamnya.
Seperti itu juga, firman-Nya:
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 31.
Dan ini penyakit syahwat. Sesungguhnya hati yang sehat, apabila seorang wanita dihadapkan kepadanya, ia tidak akan menoleh kepadanya.
Berbeda dengan hati yang berpenyakit syahwat, maka ia dengan kelemahannya, akan condong kepada apa yang ditawarkan kepadanya, sesuai dengan tingkat kekuatan dan kelemahan hatinya.
Sehingga, apabila mereka para wanita telah menundukkan perkataannya, hati yang berpenyakit tetap berkeinginan kepadanya.
(Amraadhul Quluub, Ibnu Taimiyyah, hal. 10 – 14)

Hati yang Istiqamah


Iman dan istiqamah dua teman seiring sejalan yang keduanya tidak mungkin untuk dipisahkan. Iman tanpa istiqamah minimal berbuah kemaksiatan dan maksimal kekufuran atau kemunafikan. Wal’iyadzubillah. Dan mustahil bagi seseorang untuk istiqamah tanpa iman.
Oleh sebab ini, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah menasehati umatnya untuk beriman lalu beristiqamah, sebagaimana dalam sabdanya:
قُلْ : آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah! (Hadits Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, riwayat Muslim)
Lalu apa istiqamah itu?
Asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim – semoga Allah merahmatinya – berkata,“Para ulama sepakat bahwa istiqamah adalah pertengahan di antara dua sisi, yaitu lurus tanpa ada kebengkokan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا ﴿١﴾ قَيِّماً ﴿٢﴾
001. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;
002. sebagai bimbingan yang lurus. Q.S. Al-Kahfi: 1 – 2.
Yaitu: tidak ada kebengkokan di dalamnya, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, tidak turun dan tidak naik bahkan pertengahan dan lurus.
Demikian pula mereka mengatakan:
“Amalan yang utama adalah pertengahan dari dua sisi, misalnya: keberanian itu pertengahan antara nekat dan penakut, kedermawanan pertengahan antara berlebih-lebihan dan sangat irit. Seperti itulah istiqamah.”
Jika kita ingin melaksanakan istiqamah di dalam amalan Islam, kita pasti mendapatinya masuk ke setiap bagian darinya. Ia adalah timbangan yang seorang hamba mengukur amalan-amalan dengannya.
Keterangan dari salaf telah datang dalam menjelaskan makna istiqamah. Penjelasan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – ketika ia membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Ia berkata: “Mereka telah beriman kepada Allah dan istiqamah di atas hal itu sampai mati.”
Dan Umar – semoga Allah meridhainya – menerangkan: “Mereka telah beriman kepada Allah lalu istiqamah dan tidak menyimpang seperti penyimpangan serigala.”
Maka, istiqamah di atas iman kepada Allah adalah terus-menerus(kontinyu) di atasnya sampai bertemu Allah dengan ia tetap di atas istiqamahnya itu.”(Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Athiyyah bin Muhammad Salim, Al-Maktabah Asy-Syamilah 6/ 47)
Asy-Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshoriy – berkata:
“Diambil faedah dari hadits:
Perintah untuk istiqamah yaitu berbuat kebenaran dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan niat.
Dan landasannya adalah istiqamah hati di atas tauhid sebagaimana penafsiran Abu Bakr ash-Shiddiq terhadap firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Apabila hati telah istiqamah di atas mengenal Allah(ma’rifatullah), takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengormati-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap, memohon, dan tawakkal kepada-Nya serta berpaling dari selain-Nya, anggota badan pun akan ikut istiqamah menaati-Nya. Karena, sesungguhnya hati itu raja dan anggota-anggota badan adalah pasukannya. Jika sang raja istiqamah, maka pasukannya akan istiqamah pula.”
(At-Tuhfatur Rabbaniyyah fi syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, Ismail bin Muhammad al-Anshariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah 1/ 22)
Dengan ini, kita mengetahu bahwa istiqamah itu berlaku bagi hati dan anggota badan. Kaidah yang telah dipahami bersama bahwa kebaikan hati berbuah kebaikan amalan. Demikian pula, istiqamah hati akan menghasilkan istiqamah anggota badan.
Lalu bagaimana hati itu bisa istiqamah?
Mari kita lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berikut ini:
“Dan kelurusan (istiqamah) hati itu dengan dua hal:
Pertama: kecintaan kepada Allah didahulukan di atas segala jenis kecintaan.
Kemudian, apabila terjadi pertentangan antara cinta Allah Ta’ala dan cinta yang selain-Nya, cinta kepada Allah mendahului cinta yang selain-Nya. Sehingga ia melaksanakan konsekuensi dari cinta itu.
Dan betapa mudahnya pengakuan seperti ini dan betapa sulit mengamalkannya. Ketika ujian datang(menguji cinta kepada-Nya), seseorang akan dimuliakan atau dihinakan. Betapa banyak hamba (ketika datang ujian) mendahulukan apa yang dicintainya dan disenangi hawa nafsunya atau dicintai pembesarnya atau pimpinannya atau syaikhnya atau  keluarganya, di atas apa yang Allah cintai.
Hamba yang seperti ini belum mengedepankan cinta kepada Allah di atas segala jenis cinta. Ia belum memutuskan sesuatu berdasarkan  rasa cinta itu dan belum memerintahkan kepadanya.
Dan sunnatullah terhadap seseorang yang demikian keadaannya, untuk ia dihalangi dari mencintai-Nya dan menggerakkan kecintaan atas-Nya. Ia tidak mendapat dari cinta-Nya kecuali dengan susah-payah  dan terseok-seok, sebagai balasan pengedepanan hawa nafsunya dan hawa nafsu dari orang-orang yang ia agungkan atau yang ia cintai atau mendahulukan kecintaan kepadanya di atas cinta kepada Allah.
Allah telah benar-benar menghukumi dengan ketentuan yang tidak bisa dibantah dan ditolak, bahwa: siapa yang mencintai sesuatu selain-Nya, ia akan diadzab dengannya. Itu suatu keharusan.
Siapa yang takut kepada selain-Nya, Dia kuasakan sesuatu itu atasnya. Dan siapa yang tersibukkan dengan sesuatu dari selain-Nya, maka itu kemalangan atasnya.
Siapa yang mengutamakan yang selain-Nya di atas mengutamakan-Nya, tidak diturunkan barakah padanya. Siapa yang mencari ridha selain-Nya dengan (sesuatu yang menimbulkan) kemurkaan-Nya, Dia pasti memurkainya. Dan ini suatu kemestian.
Yang kedua: Hal yang menjadikan hati istiqamah yaitu mengagungkan perintah dan larangan. Dan itu tumbuh dari pengagungan terhadap yang memerintah dan melarang.
Sesungguhnya Allah mencela seseorang yang mengagungkan-Nya namun tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً ﴿١٣﴾
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?
Q.S. Nuh: 13.

Mereka (ahli tafsir) menyebutkan tafsir ayat ini yaitu “Mengapa kalian tidak takut kepada  kebesaran Allah?”

Dan betapa indah perkataan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) tentang pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya: “Yaitu: keduanya (perintah dan larangan) tidak ditentang dengan mencari rukhsah(keringanan), tidak dilawan dengan sifat keras dari orang yang berlebihan, dan tidak dibawa kepada suatu argumentasi yang melemahkan ketundukan (kepada-Nya).”
Dan makna perkataannya “Bahwasannya awal tingkatan pengagungan Yang Maha Benar – ‘Azza wa Jalla – yaitu mengagungkan perintah dan larangan-Nya”, yang demikian itu dikarenakan seorang mukmin mengenal Rabbnya melalui risalah-Nya yang dibawa oleh Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada seluruh manusia.
Konsekuensi risalah itu: tunduk kepada perintah dan larangan Rasulullah. Dan itu tidak lain terjadi dengan mengagungkan perintah Allah dan mengagungkan serta menjauhi larangan-Nya.
Maka, dengan pengagungan seorang mukmin terhadap perintah Allah dan larangan-Nya, itu menunjukkan pengagungan terhadap yang memberi perintah dan larangan tersebut.
Dan ia, dengan derajat pengagungan ini, akan termasuk golongan orang shalih yang dipersaksikan kepada mereka keimanan, pembenaran, kelurusan akidah, dan terlepas dari kemunafikan yang besar.
Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan suatu perintah karena dilihat oleh makhluk, mencari posisi dan kedudukan di sisi mereka.
Dan ia bertakwa dari perkara-perkara yang haram karena takut jatuh kedudukannya di pandangan manusia. Juga, ia takut dari hukuman duniawi berupa penegakan hukum had yang ditetapkan pembuat syariat – shalallahu ‘alaihi wasallam – atas pelanggaran dari keharaman.
Sehingga, orang ini, ia melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan  bukan karena mengagungkan perintah dan larangan dan bukan pula untuk mengagungkan pembuat perintah dan larangan itu.
Kemudian, tanda bagi pengagungan perintah-perintah (pembuat syari’at):
-          Menjaga waktu dan batasan-batasannya,
-          memeriksa rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan kesempurnaannya,
-          bersemangat untuk melaksanakan pada waktunya,
-          bersegera kepada(pelaksanaan)nya ketika (datang waktu) wajibnya,
-          sedih, , dan menyesal sewaktu lepas satu dari hak-hak perintah itu, seperti: sedih dari ketinggalan shalat berjama’ah.
Dan ia memahami, seandainya diterima shalatnya yang bersendirian, telah lepas darinya (pahala berjama’ah) dua puluh tujuh kali lipat.
(Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, hal. 28 – 29)
Kita memohon kepada Allah keteguhan di atas agama-Nya sampai bertemu dengan-Nya.


07/04/12

Menggunakan Hati untuk Amalan yang Terbaik dan Bermanfaat

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-sa’di – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Suatu keharusan bagi hati untuk melihat, berpikir, memahami, berkeinginan, dan bermaksud. Maka, bersungguh-sungguhlah menjadikan perkara-perkara ini  dalam hal yang paling wajib, utama, dan bermanfaat, agar kamu meraih dua kebahagiaan(dunia dan akhirat).
Kamu mesti benar-benar membuat pikiranmu di dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pemikiran-pemikiran yang lurus dan menghadapkan sudut pandangmu kepada sumber hidayah dan rahmat-Nya yang menumbuhkan ilmu dan pengetahuan, yaitu kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Demikian pula dalam perkara-perkara kauni, seperti langit, bumi, dan seisinya yang menunjukkan dengan sebaik-baik bukti tentang kepemilikan sifat-sifat yang sempurna bagi-Nya dan keesaan-Nya dalam keagungan, kesombongan, kemuliaan, dan keindahan.
Begitu juga merenungi nikmat-nikmat Allah atasmu dan yang selain kamu agar kamu mempersaksikan darinya sesuatu nikmat yang tidak pernah terlihat mata, terdengar telinga, dan tidak sekalipun terbetik di hati manusia.  Sehingga, kamu mengetahui dan mengakui nikmat-nikmat itu serta menyebutkannya secara global dan terperinci. Dan seharusnya kamu jadikan nikmat itu sebagai alat penolong dalam menaati Sang pemberi nikmat.
Kamu juga harus memikirkan apa-apa yang wajib dan mustahab atasmu serta kewajiban dalam menjauhi larangan-larangan, apakah kamu telah melaksanakannya yaitu menaati perintah dan menjauhi larangan? Dan apa jalan yang mengantarkan sampai tujuan dan mana yang tidak? Dan apakah kamu telah menegakkan apa yang belum kamu laksanakan dan membayar apa yang wajib kamu tunaikan? Agar keinginan(iradah) dan niatmu terikat dengan sesuatu yang Allah cintai darimu, dengan meniatkan ridha Allah dan pahala-Nya. Dan hendaknya keinginan hati ini selalu ada di setiap ibadah, kebiasaan, dan keadaanmu.
Hati-hatilah kamu dari menjadikan pikiran-pikiranmu berputar di sekitar syahwat-syahwat perusak dan keinginan-keinginan yang tidak ada hasil dan manfaat bagimu, di waktu dekat  atau masa yang akan datang. Bahkan, pikiran-pikiran seperti itu adalah hukuman yang disegerakan sebelum datangnya siksa akhirat. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukallaf hanyalah untuk mengenal Allah dan tidak asing dengan sifat-sifat dan hak-hak-Nya. Ia juga menegakkan hak-hak Allah dan makhluk-Nya, dengan berharap kepada Allah untuk menyempurnakan dan menerimanya. Dan ia merasa takut dari kekuranganya sehingga tertolak amalan itu atasnya.
Dan hendaknya ia bertaubat memohon ampunan di setiap waktu dan mengambil sebab-sebab duniawi untuk menegakkan kewajiban-kewajibannya. Ia memaksudkan hal itu untuk menolongnya dalam menaati Allah. Dan bersamaan itu, ia mengharap taufik dari Rabbnya untuk dimudahkan dan mendapat berkah di dalam amalannya.”
(Majmu’ul Fawa’id wa Iqtinaashul Awaabid, As-Sa’di, hal. 36 – 37)

Dua Jalur Serangan Penyakit ke dalam Hati

Dua Jalan Masuk Serangan Penyakit ke dalam Hati
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad as-Salam – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Dengarlah wahai orang-orang yang telah Allah hidupkan di atas Islam, mintalah untuk kamu diwafatkan di atasnya.
Wahai orang-orang yang telah Allah kenakan pakaian iman, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi yang bersih.
Duhai orang-orang yang telah Allah minta untuk menjaga Al-Qur’an, jadilah orang yang beriman kepadanya. Al-Qur’an menunjukkan kita perdagangan yang beruntung namun kita berlambat-lambat. Ia menghasung kita untuk zuhud kepada dunia, tetapi kita malah cinta kepadanya.
Wahai hamba-hamba Allah hendaknya orang  yang hadir mendengar, yang mendengar tersadar, yang berdakwah mengamalkan kandungan dakwahnya, dan yang beramal, ia ikhlas dalam amalannya.
Dan ketahuilah wahai anak keturunan Adam bahwa hatimu sakit dari dua sisi:
·         Pertama: penyelisihanmu kepada perintah Allah.
·         Kedua: kelalaianmu dari mengingat Allah.
Dan kamu tidak akan mengecap kesembuhan sampai kamu menegakkan ketaatan dan senantiasa berdzikir mengingat Allah.
Kemudian, obatilah penyelisihan dengan bertaubat. Dan sembuhkan kelalaian dengan selalu menghadap(inabah) dan kembali kepada Allah.
(Iyqaazhu Ulil Himmatil ‘Aliyyah, Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Salman, hal. 272)

03/04/12

Berlindung dari Hati yang tidak Khusyuk

Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk(tunduk), jiwa yang tidak merasa kenyang, dan (aku berlindung) dari doa yang tidak dikabulkan. (Hadits Zaid bin Arqam, riwayat Muslim)
·         Asy-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfury – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Sabdanya:
أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ
Aku berlindung kepadamu dari hati yang tidak khusyuk(tunduk).
Yaitu: (hati) yang tidak tenang dan tenteram mengingat Allah.”
(Tuhfatul Ahwadzy bisyarhi Jami’ at-Tirmidzy, maktabah Syamilah, 9/ 318)

·         Asy-Syaikh ‘Ubaidullah bin Muhammal al-Mubarakfury – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“(Hati yang tidak khusyuk) yaitu hati yang tidak takut kepada Allah, tidak tunduk untuk mengingat Allah dan menyimak kalam-Nya. Itulah hati yang membatu yang paling jauh dari kehadiran Yang Maha Mengilmui perkara-perkara ghaib.”
(Mir’aatul Mafaatih syarhu Misykaatil Mashaabiih, maktabah asy-Syamilah, 8/ 221)

·         Dan sesungguhnya hati itu diciptakan untuk khusyuk(tunduk) kepada Rabbnya, melapangkan dada, dan memasukkan cahaya(hidayah) ke dalamnya.
Jika keadaannya tidak seperti itu, maka hati itu telah keras sehingga wajib untuk memohon perlindungan darinya. Allah Ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم ﴿٢٢﴾
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras(membatu) hatinya
(untuk mengingat Allah). Q.S. Az-Zumar: 22.
(Syarhu Sunan Ibni Majah, Maktabah Syamilah, 1/ 22)
Faedah:
Al-Munawy – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“disandingkan (di dalam hadits) antara berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dengan hati yang tidak khusyuk, mengisyaratkan bahwa ilmu yang bermanfaat mewariskan sifat khusyuk(ketundukan kepada Allah).
(At-Taisir bisyarhil jami’ish shagir, maktabah Asy-Syamilah, 1/ 452)

01/04/12

Tiga Jenis Kandungan Hati

Al-Imam Ibnul Qayyim –semoga Allah merahmatinya – berkata:
Hati itu ada tiga:
1.       Hati yang kosong dari iman dan segala kebaikan.
Itu adalah hati yang gelap yang syaithan benar-benar telah beristirahat dari melontarkan waswas kepadanya. Sebab, ia(syaithan) telah menjadikannya rumah dan negerinya, ia menghukumi di dalamnya sesuai apa yang ia inginkan, dan ia telah menguasainya di puncak penguasaan.
2.       Hati yang kedua: Hati yang telah bersinar dengan cahaya iman, menyalakan lentera-lentera iman di dalamnya. Namun, ada kegelapan syahwat dan hembusan-hembusan hawa nafsu.
Maka, syaithan datang dan pergi di sana, mencoba dan tamak. Sehingga, peperangan di situ berganti posisi, menang dan kalah.
Dan keadaan jenis ini berbeda-beda dalam sedikit dan banyaknya. Diantara mereka ada yang waktu kemenangan atas musuhnya (syaithan) lebih banyak. Dan ada yang waktu kemenangan musuhnya atasnya lebih banyak. Adapula yang kadang ini dan kadang itu.
3.       Hati yang ketiga: Hati yang dipenuhi iman, benar-benar telah bersinar dengan cahaya iman, terlepas syahwat darinya, dan tercabut kegelapan-kegelapan tersebut.
Maka, cahaya di hatinya telah terbit bersinar. Dengan sebab terbitnya itu, ia menyala. Seandainya rasa waswas mendekatinya, ia pasti terbakar dengannya.
Sehingga, ia laksana langit yang dijaga dengan bintang-bintang. Jika syaithan mendekatinya(untuk mencuri berita dari langit) dilemparkan bintang itu kepadanya, hingga ia terbakar. Sedangkan langit itu tidak lebih terhormat dari seorang mukmin. Penjagaan Allah kepada orang mukmin lebih sempurna daripada penjagaan langit.
Langit tempat peribadahan para malaikat, tempat menetapnya wahyu, terdapat cahaya ketaatan di dalamnya.
Adapun hati seorang mukmin tempat menetapnya tauhid, rasa cinta, ma’rifah(pengenalan kepada Allah), dan iman. Di dalamnya terdapat cahaya dari itu semua.
Sehingga, ia lebih berhak untuk dijaga dan dilindungi dari tipu daya musuh. Tidak akan mampu dicapai hati itu kecuali dengan tipu daya, kelengahan, dan menyambarnya.
(Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, hal. 58 – 59)

26/03/12

Hati yang Khusyuk (tunduk) Mengingat Allah

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴿١٦﴾
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk (tunduk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.  Q.S. Al-Hadiid: 16.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata dalam tafsirnya:
“Yaitu: belumkah datang waktu yang dengannya hati-hati mereka melembut dan khusyuk (tunduk) mengingat Allah, yang itu berupa Al-Qur’an dan mematuhi perintah-perintah serta larangan-larangan-Nya. Dan juga (ketundukan) kepada kebenaran yang telah dibawa Nabi Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam .
Dan ini terkandung di dalamnya:
-          Anjuran untuk bersungguh-sungguh diatas ketundukan hati kepada Allah dan apa yang Dia turunkan dari Al-Qur’an dan al-hikmah(sunnah).
-          Agar orang-orang yang beriman mengingat nasehat-nasehat ilahi dan hukum-hukum syar’i di setiap waktu.
-          Dan untuk mereka intropeksi (menilai) diri mereka  di atasnya.

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka,
Yaitu: Janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka yang mengharuskan ketundukan hati dan kepatuhan yang sempurna. Lalu, mereka tidak konsisten dan tidak kokoh di atasnya.
Bahkan, berlalu zaman yang panjang dan kelalaian terus-menerus bersama mereka, sehingga sirna keimanan mereka dan musnah keyakinan mereka.
فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
Lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Maka, hati-hati itu butuh untuk setiap saat diingatkan kepada apa yang Allah turunkan (dari kebenaran) dan (untuk hati itu) berbicara tentang hikmah. Dan tidak pantas untuk lalai darinya karena itu adalah sebab mengerasnya hati dan pandangan yang jumud(kaku).
(Taisirul Kariimir Rahman, As-Sa’di, hal. 999 – 1000)

25/03/12

Obat dari Waswas

Saya seorang pemuda yang sering merasakan waswas dari syaithan. Apa yang harus saya lakukan untuk mengusirnya?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Waswas syaithan itu diusir dengan beristi’adzah(memohon perlindungan) kepada Allah dari syaithan dan tidak berpaling kepada rasa waswasnya.
Dan waswas itu tidak akan memudharatkan seseorang, selama ia tidak mengucapkannya. Sehingga, wajib atas muslim untuk menjauhi dan meninggalkannya serta tidak berpaling kepadanya. Dan ia memohon perlindungan (isti’adzah)kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk.”
Dan dalam pertanyaan lain:
Saya seorang pemudi berusia dua puluh tahun, seorang mukmin walillahil hamd. Permasalahan waswas dan mendekati kegilaan telah melelahkan saya dari penyakit jiwa yang telah berlangsung selama tiga atau empat tahun ini. Sedangkan saya tidak berhasil untuk menepisnya. Saya ingin bertanya:
Apakah Allah menguasakan syaithan yang terkutuk ini atas hamba-hamba-Nya sebagai ujian bagi mereka atau bagaimana? Bagi yang tidak mampu mengusirnya, apa yang harus ia lakukan? Kami memohon nasehat.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan – semoga Allah menjaganya – menjawab:
“Hakekatnya, waswas itu adalah penyakit berbahaya, ia termasuk tipu daya syaithan kepada bani Adam. Ia (syaithan) menghendaki untuk menyempitkan, menyesatkan, dan menyibukkan manusia dari melakukan ketaatan kepada Rabb mereka.
Oleh karena ini, Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam – untuk memohon perlindungan dari perasaan waswas ini. Dan Dia telah menurunkan satu surat lengkap dalam masalah itu.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾
001. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
002. Raja manusia.
003. Sembahan manusia.
004. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
005. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
006. dari (golongan) jin dan manusia. Q.S. An-Naas: 1 – 6.
Sehingga, syaithan itu memberikan rasa waswas kepada bani Adam dan terlebih kepada orang-orang mukmin. Namun, itu bisa diobati dengan dua hal:
1.       Seorang mukmin tidak berpaling kepada perasaan waswas ini, bahkan berpaling darinya dengan sebenar-benarnya. Sebab, itu dari syaithan dan tidak memudharatkannya.
2.       Ia menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Karena, apabila seorang mukmin sibuk berdzikir kepada Allah, syaithan pasti menjauh darinya. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berfirman tentangnya(syaithan):
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾
004.(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
Yaitu: ia memberi waswas kepada hamba Allah ketika lalai dari berdzikir kepada Allah. Dan ia bersembunyi – yaitu menjauh – darinya, sewaktu hamba itu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karenanya, Dia menyifatinya dengan waswas(bisikan) yang bersembunyi.
Dan yang saya nasehatkan kepada penanya dan yang semisalnya, untuk ia mengamalkan dua perilaku berikut ini:
Pertama: tidak berpaling kepada waswas ini, dan tidak memperhatikan serta  terpengaruh kepadanya, yang dengan itu akan hilang waswas tersebut darinya, dengan ijin Allah. Sebab, seandainya manusia memberi perhatian dan berpaling kepadanya, waswas itu akan bertambah dan syaithan akan semakin kokoh darinya.
Kedua: memperbanyak berdzikir kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, membaca Al-Qur’an, dan isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari (godaan) syaithan serta membaca ayat kursi dan mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas). Dan ia terus mengulang-ulang hal tersebut. Dengan ini, akan hilang waswas tersebut, dengan ijin Allah.
(Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan)

16/03/12

Tiga Tingkatan Takwa

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Takwa itu tiga tingkatan:
Pertama: Penjagaan hati dan anggota badan dari dosa-dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Kedua: Penjagaan keduanya dari perkara-perkara yang makruh.
Ketiga: Penjagaan dari sesuatu yang berlebihan dan tidak memiliki arti.
Maka, yang pertama itu memberikan kehidupan bagi seorang hamba, yang kedua memberi manfaat bagi kesehatan dan kekuatannya, dan yang ketiga menghasilkan kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan baginya.
(Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim, hal. 59)

29/01/12

Ikhlash VS Cinta Pujian


Al-Imam Ibnul Qayyim - semoga Allah merahmatinya - berkata:
“Ikhlash tidak akan pernah bersatu di dalam hati dengan cinta pujian, sanjungan, dan tamak kepada apa yang ada pada manusia. Sebagaimana tidak akan pernah menyatu antara air dengan api dan rasa letih dengan gugusan bintang di langit.
Maka, jika jiwamu berbicara kepadamu untuk ikhlash lalu ia menghadap kepada rasa tamak, maka sembelihlah ia dengan pisau al-ya’s (putus-asa). Dan (jika) ia menghadap kepada pujian dan sanjungan, maka tinggalkanlah keduanya dengan zuhudnya  orang-orang yang mencintai dunia karena akhirat.
Kemudian, jika telah istiqomah penyembelihan tamak dan zuhud terhadap pujian dan sanjungan, pasti mudah atasmu berbuat ikhlash.
Dan jika kamu berkata:
“Dan apa yang mempermudah untuk bisa menyembelih sifat tamak dan cinta pujian serta sanjungan?!”
Aku jawab:
·         Adapun menyembelih sifat tamak, maka yang akan mempermudahmu:
ilmumu yang yakin bahwa tidak ada sesuatu yang ditamaki kecuali ia berada di tangan Allah semata, perbendaharaan-perbendaharaan-Nya tidak ada yang memilikinya selain Dia. Dan tidak seorang hamba pun diberi sesuatu darinya kecuali Dia(pemberinya).
·         Adapun zuhud (meninggalkan) terhadap pujian dan sanjungan, akan mempermudahmu: ilmumu bahwa tidak seorangpun yang pujiannya memberi manfaat dan memperindah, tidak pula celaan yang memudharatkan dan memperjelek, kecuali (pujian dan celaan) Allah semata. 
Sebagaimana seorang Arab pedalaman berkata kepada Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh pujianku itu baik, celaanku itu jelek.” Maka beliau bersabda:
ذَاكَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ
Itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebab itu, tinggalkanlah pujian dari seseorang yang pujiannya tidak memperindah keadaanmu, dan celaan seseorang yang celaannya tidak menjelekkanmu.
Dan cintailah pujian dari yang setiap keindahan itu ada dalam pujian-Nya, dan seluruh yang jelek terdapat pada celaan-Nya.
Dan ia tidak akan mampu untuk itu kecuali dengan kesabaran dan keyakinan.
Lalu, ketika kamu kehilangan rasa sabar dan yakin, kamu akan seperti seseorang yang ingin bepergian mengarungi lautan tanpa kendaraan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ ﴿٦٠﴾
Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. Q.S. Ar-Ruum: 60.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ ﴿٢٤﴾
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. Q.S. As-Sajdah: 24.”
(Al-Fawaa’id, Ibnul Qayyim, hal. 187 – 188)

27/01/12

Hati Berpenyakit

Asy-Syaikh Muhammad al-Amin Asy-Syinqithy – semoga Allah meridhainya – berkata :
“Dan ketahuilah bahwa hati berpenyakit di dalam Al-Qur’an digunakan dalam dua jenis:
Pertama: (hati yang terjangkiti) penyakit kemunafikan, syak (keraguan), dan kufur. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً ﴿١٠﴾
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Q.S. Al-Baqarah: 10.
Dan firman-Nya di sini:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ ﴿٥٣﴾
Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Q.S. Al-Hajj: 53.
Yaitu: kekufuran dan keraguan.
Kedua: penggunaan hati berpenyakit untuk yang cenderung kepada perbuatan fahisyah(keji) dan zina. Dan yang termasuk makna ini, firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ﴿٣٢﴾
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Q.S. Al-Ahzaab: 32.
Yaitu: (Hatinya) condong kepada berbuat zina dan semisalnya.
(Sumber rujukan: Adhwa’ul Bayan, hal. 1163)

Tiga Jenis Hati

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – ia berkata:
“Hati itu ada tiga: sehat-lembut, keras, dan lemah.
-          Maka, (hati) yang tunduk kepada al-haq(kebenaran) dan kokoh di atasnya itulah (hati) yang kuat, lembut lagi sehat.
-          Yang tunduk (kepada kebenaran) namun tidak kokoh di atasnya, itulah (hati)yang lemah.
-          Dan yang tidak tunduk kepadanya secara keseluruhan, itulah hati yang keras.
Wallahu a’lam.”
(Majmu’ul Fawaid wa Iqtinaadhul Awabid, hal.  223)

25/11/11

Keberhasilan HANYA bagi Pemilik Hati yang Bersih

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbalysemoga Allah merahmatinya – berkata :

Tidak ada yang selamat pada esok hari (kiamat) kecuali orang yang bertemu Allah dengan hati yang bersih. Allah Ta’ala berfirman :

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ﴿٨٩﴾
088. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
089. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Q.S. Asy-Syua’ara : 88 – 89.

Hati yang bersih yaitu yang suci dari kotoran-kotoran penyelisihan (terhadap syariat).

Adapun seorang yang mengotori (hatinya) dengan sesuatu hal yang dibenci (Allah) maka tidak layak untuk berada di sisi Al-Quddus (Yang Maha Suci) kecuali setelah dibersihkan di dalam bara api adzab.

Kemudian, jika kotoran itu telah hilang darinya maka ia telah pantas untuk berada di sisi-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik.

Sedangkan hati-hati yang baik, maka telah layak untuk berada di sisi-Nya sejak awal.

Allah berfirman :
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ ﴿٧٣﴾
"Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, kamu telah berlaku baik,
maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".
Q.S. Az-Zumar : 73.

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ ﴿٣٢﴾
032. (yaitu) orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka):
" Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, masuklah kamu ke dalam surga itu".
Q.S. An-Nahl : 32.

Dan siapa yang tidak membakar hatinya pada hari ini (ketika di dunia) dengan api penyesalan atas apa yang telah lalu, atau dengan api kerinduan untuk bertemu Sang Kekasih (Allah), maka api jahannam yang sangat panas diperuntukkan baginya.

Tidak butuh kepada pembersihan dengan api Jahannam kecuali yang tidak menyempurnakan pelaksanaan tauhid dan menegakkan hak-haknya.

(Tahqiqu Kalimatil Ikhlash yang tergabung dalam Majmu’ Rasail Al-Hafizh Ibn Rajab, jilid 3 hal. 65.)

24/11/11

Meraih Hati yang Baik

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata :

Kebaikan hati itu terjadi dengan :
  • Kesempurnaan inabah[1] kepada Allah,
  • Tawakkal [2] yang kokoh kepada-Nya,
  • Kesempurnaan ikhlash untuk-Nya,
  • Dan ia mencintai kebaikan bagi seluruh makhluk.
Adapun rusak dan berkurangnya (kebaikan hati) disebabkan lawan dari semua itu. Dan inilah kandungan makna Sabda NAbi r :

إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad pasti baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh jasad akan rusak . ketahuilah dia (segumpal daging) itu : Hati.

Dan hakekat (baiknya hati) itu ketika Allah memberikan kepadanya kecintaan kepada iman dan menghiasinya di dalam hatinya. Dijadikan ia benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dan Dia menjadikannya termasuk orang-orang yang terbimbing.

Maka inilah kebaikan pada batin dan lahir (seseorang). Adapun lawannya (kejelekan hati) itu dengan lawan dari yang tersebut di atas.

(Majmu’ul Fawa’id wa Iqtinaadhul Awabid, hal. 15 – 16)




[1] Ibnul Qayyim – semoga Allah merahmatinya – berkata : Hakekat Inabah : Menetapnya hati di atas ketaatan kepada Allah, mencintai-Nya, dan menghadap kepada-Nya. (Al-Fawa’id hal. 36)

[2] Ibnul Qayyim berkata : “Sesungguhnya tawakkal adalah amalan hati. Dan peribadahannya dengan bersandar kepada Allah, percaya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, dan ridha dengan ketentuan-Nya kepadanya. Karena, ia mengilmui pencukupan Allah Subhanahu dan kebaikan pilihan-Nya untuk hamba-Nya ketika ia pasrah kepada-Nya, bersamaan ia menegakkan sebab-sebab yang diperintahkan dan bersungguh-bersungguh dalam mendapatkannya.”
(Ar-Ruuh 1/ 254, maktabah syamilah)

26/09/11

Allah Hanya Melihat Hati dan Amalan

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ » رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ((Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati dan amalan-amalan kalian)). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya.
Faedah-faedah mulia dalam hadits ini diantaranya:

1.       Makna hadits: bahwa Allah tidak membalas seseorang berdasarkan bentuk  jasad dan tidak pula atas harta-harta yang kosong dari kebaikan.  Dan itu semua tidak mendekatkan kepada-Nya. Tidak lain Allah hanya melihat kepada hati-hati yang itu tempatnya takwa dan melihat amalan-amalan kalian apakah baik atau tidak (tata caranya).
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴿١٣﴾
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Q.S. Al-Hujuraat: 13.
2.       Bahwa suatu amalan itu teranggap dan bernilai di sisi Allah dengan niat yang ikhlash dan baik bukan dari bentuknya. Sehingga yang dihukumi adalah niat dari yang beramal. Jika niatnya ikhlash maka amalan itu amalan yang shalih. Jika niat pelaku amalan itu tidak ikhlash karena Allah maka amalannya itu rusak walaupun bentuknya adalah amalan shalih.
3.       Hendaknya seseorang tidak berbangga-bangga dengan banyaknya melakukan amalan shalih namun tidak ikhlash karena itu tidak bernilai di sisi Allah. Seseorang yang berinfak dengan nilai yang sedikit disertai ikhlas  itu lebih baik dari seseorang yang berinfak dengan jutaan atau milyaran rupiah namun itu karena riya'. Sebab, yang pertama tercatat sebagai amalan shalih dan memberatkan timbangan amal pelakunya sedangkan yang kedua tidak.
4.       Kecantikan itu ada dua: yang zhahir (tampak) dan bathin (tersembunyi). Kecantikan batin seperti keimanan, ketakwaan, ilmu, akal yang sehat, kedermawanan, akhlak yang mulia. Inilah yang dilihat oleh Allah dan yang dicintai-Nya. Sehingga keindahan batin itu lebih baik dari keindahan zhahir.
5.       Keindahan zhahir seperti harta dan jasmani itu tidak bernilai dan tidak dilihat oleh Allah kecuali jika digunakan di dalam ketaatan kepada-Nya.
6.       Seorang mukmin yang memiliki kecantikan yang batiniah akan memiliki wibawa dan disenangi manusia sesuai dengan kadar keimanannya. Barangsiapa yang melihatnya akan mencintai dan segan kepadanya walaupun ia berkulit hitam dan tidak tampan atau cantik secara fisik. Dan ini hal yang kita saksikan di lingkungan kita.
Dan sebaliknya jika seseorang memiliki keindahan lahiriah namun berakhlak jelek, pelaku kemaksiatan, dan hal-hal yang terlarang, maka akan dibenci dan tidak memiliki kewibawaan di hadapan orang mukmin.
7.       Jika tempat takwa itu di hati maka tidak ada yang bisa menelaahnya kecuali Allah 'Azza wa Jalla. Orang yang menampakkan ketakwaaan secara zhahirnya maka itu yang kita hukumi. Adapun niatnya maka itu antara dirinya dengan Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi segala sesuatu.
8.       Sesungguhnya takwa jika telah ada di hati seseorang maka akan tampak buahnya di amalan anggota badannya dengan ia istiqamah dan meninggalkan kemaksiatan. Dan seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman akan tampak cahaya iman di wajahnya dan akan dikenakan rasa cinta dan wibawa di hadapan manusia.
9.       Di dalam hadits terkandung itsbat (penetapan) sifat nazhar(melihat) bagi Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan pandangan makhluk.
10.   Jika Allah tidak melihat kepada bentuk jasad dan harta seseorang lalu bagaimana kita mengutamakan seseorang dengan sesuatu yang Allah tidak mengutamakannya dengan hal itu? Seperti mengutamakan orang kaya yang fasik dari orang miskin yang shalih. Maka seharusnya kita melihat dan menilai seseorang sebagaimana yang Allah lihat pada seseorang itu yaitu kebaikan amalan-amalan mereka.  
11.   Keindahan jasad, pakaian, dan penampilan itu ada 3 macam:
·         Yang terpuji, yaitu yang diperuntukkan bagi Allah untuk menolong kepada ketaatan kepada-Nya, menunaikan perintah-perintah-Nya dan menjawab seruan-Nya. Sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dahulunya berhias untuk menemui utusan-utusan yang datang kepadanya. Juga berpakaian yang baik di hadapan musuh untuk menunjukkan wibawa kaum muslimin, berbusana yang indah dan harum ketika menghadiri shalat, dan yang semisalnya yang di dalamnya terkandung peninggian kalimat Allah, menolong agama-Nya, dan membuat marah musuh-musuh-Nya.
·         Yang tercela, yaitu yang digunakan untuk dunia, kepemimpinan, berbangga-bangga, sombong, dan mengantarkan kepada syahwatnya serta ia menjadikan itu puncak keinginan dan tujuannya.
·         Yang tidak terkait dengan pujian dan celaan, yaitu yang lepas dari dua niat dan dua sifat yang tersebut di atas. 

(Rujukan: Al-Kabair Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab, I'anatul Mustafid Al-Fauzan, Minhaajus Sunnah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Jami'ul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab, Majmu' Fatawa wa Maqaalat Ibnu Baz, Al-Fawaid Ibnul Qayyim, Raudhatul Muhibbin Ibnul Qayyim)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes