Tampilkan postingan dengan label Seputar Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seputar Ilmu. Tampilkan semua postingan

11/03/12

Empat Langkah Menuju Tarjih

Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul – semoga Allah menjaganya – berkata:
“Setiap permasalahan ilmiah yang dilalui (seorang penuntut ilmu) berada di atas empat tahapan, yang setelah(melewati)nya seorang penunutut ilmu akan mengetahui mana (pendapat) yang rajih (kuat) dalam permasalahan-permasalahan yang terjadi silang pendapat di dalamnya.
Dan tahapan-tahapan itu:
Pertama: dalil yang tetap (shahih).
Kedua: metode istidlal yang shahih terkait dalil itu.
Ketiga: (dalil itu) selamat dari yang me-mansukh-nya.
Keempat: selamat dari pertentangan (dengan dalil lain).

Empat tahapan ini akan dilewati setiap permasalahan yang butuh pengamatan dan tarjih di dalamnya.
Permasalahan-permasalahan ilmu itu banyak namun termasuk dari pelandasan (yang baik)  bagi seorang penuntut ilmu, untuk ia menjaga ushul/ landasan ini.
Yaitu: ia melihat setiap permasalahan dengan menjaga ushul ini:
Yang pertama: tetap(shahih)nya dalil-dalil dalam pemasalahan itu.
Kemudian yang kedua: ia melihat keabsahan dalam beristidlal dengan dalil-dalil tersebut.
Lalu, yang ketiga: selamatnya dalil-dalil ini dari pe-mansukh.
Setelahnya, yang keempat: selamatnya (dalil-dalil itu) dari pertentangan.

Kita akan mendatangkan satu contoh:
Pembatal-pembatal wudhu’ itu banyak, kita akan ambil salah satunya – misalkan – pembatal wudhu’ karena muntah.
Seorang penuntut ilmu membaca batalnya wudhu’ disebabkan muntah. Ia berkata: “Aku ingin melihat (pendapat yang rajih dalam) permasalahan ini.”
Kita katakan: “Ya. Lihatlah dalam permasalahan ini, apakah ada dalil yang tetap (shahih) bahwa muntah itu membatalkan wudhu’?”
Ia menjawab: “Ya. Seorang ulama menyebutkan hadits :
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ، فَتَوَضَّأَ»
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam muntah, lalu Beliau berwudhu’.
( Hadits Abu Darda’, riwayat at-Tirmidzy dan al-Hakim)

Dan hadits ini shahih.
Jika demikian, langkah pertama telah ditetapkan: “adanya dalil yang tetap (shahih)”.
Kemudian, ia melihat langkah kedua: “keabsahan beristidlal (dengan dalil itu).”
Apakah shahih untuk beristidlal dengan dalil ini bahwa muntah itu pembatal wudhu’?
Dia melihat, apakah di dalam hadits terdapat penunjukan yang jelas bahwa wudhu’ Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – pada saat itu dikarenakan muntah?
Tidak ditemukan di dalam hadits, penunjukan yang jelas bahwa wudhu’ Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – disebabkan muntah.
Kenapa?
Karena tidak ada di dalamnya kecuali sekedar perbuatan?
Dan “sekedar perbuatan” di sisi ulama, tidak menunjukkan kepada wajib. Bahkan, menunjukkan kepada istihbab(sunnah).
Dan yang mereka maksud dengan “sekedar perbuatan” yaitu: perbuatan yang datang dari Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam –  yang tidak memberi penjelasan terhadap suatu ayat atau hadits yang (bermakna) global.
Apakah kita mengambil dari hadits ini: wajib bagi seseorang yang muntah untuk ia berwudhu’?
Tidak. Kita tidak mengambil (hukum) ini dari hadits tersebut.
Dengan demikian, kita katakan: “Hadits ini bersamaan dengan keabsahan penunjukan bahwa mengeluarkan muntah membatalkan wudhu’, ada pandangan (tertentu) di dalamnya.”
Dan sisi pandangan itu: bahwa hadits itu tidak mengandung kecuali sekedar perbuatan (dari Rasul) yang tidak menunjukkan kepada wajib.
Dengan ini, penuntut ilmu telah menerapkan langkah pertama dan langkah kedua. Dan permasalahan ini telah selesai dalam bentuk yang seperti ini serta tidak butuh untuk melaksanakan langkah ketiga dan keempat.
Dan terkadang datang permasalahan-permasalahan yang di dalamnya terdapat hadits-hadits yang tarik-menarik. Kita ambil contoh kedua, dari permasalahan pembatal wudhu, misalnya hadits:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Siapa yang menyentuh farji(kemaluan)nya, maka berwudhu’lah!

Kita katakan: praktekkanlah kaedah!
Ia (si penuntut ilmu) pun membahas kemudian mendapati hadits ini terdapat perbedaan pendapat tentang (keshahihan)nya. Dan yang rajih bahwa itu hadits yang hasan.
Maka, ia telah selesai dari ushul yang pertama.
Kemudian ia masuk ke langkah yang kedua: apakah sah beristidlal dengan hadits itu?
Kita katakan: ya, sah untuk beristidlal dengannya. Zhahir-nya menunjukkan bahwa wudhu’ batal dengan sebab menyentuh kemaluan.
Setelahnya ia masuk ke langkah yang ketiga: ia melihat keselamatan hadits dari pe-mansukh.
Di sini, dalam hadits ini , sebagian ulama menyebutkan bahwa ia mansukh. Dan yang me-mansukh-kannya adalah hadits Thalq – semoga Allah meridhainya -:
“Aku bertanya kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam tentang menyentuh kemaluan (apakah membatalkan wudhu’?), Beliau bersabda:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بَضْعَةٌ مِنْكَ
                                       Tidaklah ia (kemaluan) itu kecuali bagian dari dirimu.                                     

Sebagian ulama berkata: hadits ini datang terakhir dan hadits itu (yang awal) datang pertama. Sehingga, yang terakhir me-mansukh yang pertama.
Jika demikian, hadits yang kedua me-mansukh hadits yang pertama.
Dan kamu akan menemui sebagian ulama berpendapat:
Saya tidak menerima pendapat tentang mansukh karena hukum asalnya tidak ada mansukh. Namun, hadits ini bertentangan dengan yang pertama.
Kemudian, ia berpindah ke langkah yang keempat: selamat dari pertentangan. Lalu, ia berkata: “Hadits ini bertentangan dengan hadits yang pertama. Dan aku akan menjama’ (menggabungkan) keduanya:
Ø  Siapa yang menyentuh kemaluannya dengan syahwat, batal wudhunya sebagai pengamalan hadits:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Siapa yang menyentuh farji(kemaluan)nya, maka berwudhu’lah!

Ø  Dan siapa yang menyentuh kemaluannya sebagaimana ia menyentuh anggota tubuhnya yang lain – yaitu tanpa syahwat – wudhu’nya tidak batal, sebab Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بَضْعَةٌ مِنْكَ
                Tidaklah ia (kemaluan) itu kecuali bagian dari dirimu.
Dan ulama yang lain – termasuk Muhammad bin Yahya adz-Dzuhly syaikh dari Al-Bukhari- berpendapat:
Aku membawa hadits yang pertama kepada istihbab (untuk berwudhu karena menyentuh kemaluan) tidak kepada wajib, sebab adanya qarinah (keterkaitan) dari hadits kedua. Dan aku menjama’ kedua hadits dengan metode ini. Dan ini pilihan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, dia berkata:
“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’, tidak lain mustahab untuk berwudhu’, sebagai bentuk penggabungan dari dua hadits.”
Dan ini pendapat Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana disebutkan al-Hakim dalam Ma’rifaatu ‘Uluumil Hadits.
Demikian, inilah permasalahan-permasalahan ilmu yaitu penerapan empat langkah di dalamnya.
Dan tujuan dari ushul (landasan menuntut ilmu) ini, bahwa: mengabaikan dari menjaga empat langkah ini, ketika melihat permasalahan-permasalahan ilmiah, akan membuat penuntut ilmu terjatuh ke dalam suatu yang dinamakan:
عَدَمُ التَّحْرِيْرِ لِلْمَسَائِل
tidak memerdekakan (memecahkan jawaban dari )permasalahan-permasalahan.
Dan termasuk perkara yang penting bagi penuntut ilmu, untuk ia berusaha memecahkan permasalahan ilmu yang dihadapinya.
Dan itu mungkin (untuk dilakukan) dengan metode penjagaan terhadap langkah-langkah ini ketika melihat setiap permasalahan, yang bermacam-macam pendapat dan dalil di dalamnya.
v  Dan yang dimaksud dengan “melihat tetap(shahih)nya dalil” , bahwa seorang penuntut ilmu melihat kepada dalil, apakah ia tetap(shahih) atau tidak?

·         Jika dalil itu adalah ayat Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu tsabit mutawatir tidak perlu dilihat tetap(keshahihan)nya.
·         Jika (dalilnya) adalah hadits, maka dilihat tetap(shahih)nya dan derajat diterima atau tertolaknya.
·         Jika (dalilnya) adalah ijma’, dilihat keshahihan ijma’ itu dan tidak ada yang penyelisihan dalam permasalahan itu.
·         Jika (dalilnya) dari qiyas, dilihat keabsahan syarat-syarat qiyas dan ketetapannya. Jika tidak (shahih atau tetap), maka itu adalah qiyas dengan terdapat perbedaan(dalam hukum).
Ini (penjelasan) global dari apa yang dimaksud dengan tetap(shahih)nya dalil. Dan dibawahnya terdapat rincian yang banyak.
v  Dan yang dimaksud  “melihat keabsahan istidlal”: untuk ia melihat apakah dalil sesuai dengan yang didakwakan atau tidak?
Seberapa banyak orang yang beristidlal dengan dalil yang shahih, (sedangkan hadits itu) tidak sesuai dengan dakwaannya. Bahkan ada yang berdalil dengan ayat Al-Qur’an namun (kandungan) ayat itu tidak sesuai dengan dakwaannya. Yang demikian itu, dikarenakan ketidak absahan istidlal (dengan dalil tersebut)!!
v  Dan yang dimaksud dengan melihat “keselamatan dari pe-mansukh”: ia melihat dalil yang ia beristidlal dengannya dalam suatu dakwaan, apakah ia tsabit muhkam (memiliki ketetapan hukum) atau termasuk yang di-mansukh.
Dan ia menerapkan kaedah-kaedah nasikh dan mansukh dalam hal itu.
v  Dan yang dimaksud melihat “keselamatan (dalil) dari pertentangan”: dalil  yang datang (dalam suatu permasalahan), tidak ada (dalil lain) yang menyelisihinya.
Dan ia menerapkan (dalam tahapan ini) kaedah mukhtalaful hadits (hadits-hadits yang zhahirnya bertentangan)  dan permasalahannya.
Dan setelah (melewati) langkah-langkah ini, ia akan  selamat dalam memperoleh pendapat yang rajih(kuat).
(at-Ta’shil fi Thalabil ‘Ilmi, Muhammad Bazmul, hal. 43, dan dinukilkan dari

21/01/12

Jenjang dan Tingkatan Ilmu


Ibnu Juma’ah – semoga Allah merahmatinya – berkata (Adabul Muta’allim wal ‘Alim, hal. 59):
Ilmu itu tiga jengkal:
Siapa yang masuk jengkal pertama, ia akan takbbur(sombong).
Dan siapa yang masuk jengkal kedua, ia akan tawadhu’ (rendah hati).
Dan yang masuk ke jengkal ketiga, ia tahu bahwa ia tidak tahu(tidak berilmu).

Dan Ibnul qayyim – semoga Allah merahmatinya – berkata (Miftaahud Daaris sa’adah):
Ilmu itu memiliki enam tingkatan:
Yang pertama: baik dalam bertanya.
Kedua: diam (mendengarkan ilmu) dengan baik.
Ketiga: pemahaman yang baik.
Keempat: menghafal.
Kelima: mengajarkan.
Keenam – dan ini buahnya - : mengamalkan dan menjaga batasan-batasannya (ilmu).
(Muntaqol Fawaid, al-Hasyidiy, hal. 17 – 18)

14/01/12

Kunci Sukses Menuntut Ilmu

Al-Imam asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Tidaklah seseorang menuntut ilmu dengan kekuasaan dan pemuliaan diri(jiwa) kemudian ia akan berhasil.
Akan tetapi, yang mencarinya (ilmu) dengan jiwa yang hina, kehidupan yang sempit, melayani ilmu, dan jiwa yang rendah hati – dia pasti berhasil.”
(Muntaqol Fawa’id, Faishal al-Hasyidiy, hal. 35)

Ilmu itu Bukan Umbar Kata-kata


Adz-Dzahabi – semoga Allah merahmatinya – berkata ketika menyebutkan biografi Utsman Ad-Darimy (Siyar A’lamin Nubala’, 13/ 323):
“Sesungguhnya ilmu itu bukan banyaknya periwayatan namun ia adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. Dan syaratnya (untuk masuk ke dalam hati): Ittiba’ dan lari dari hawa nafsu serta kebid’ahan.”
Ibnu Rajab – semoga Allah merahmatinya – berkata (Bayanu fadhli ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf, hal 57 – 58):
“Dan kebanyakan orang-orang yang datang terakhir telah terfitnah dengan ini. Mereka berprasangka bahwa yang banyak perkataan, debat, dan argumennya dalam permasalahan-permasalahan agama, maka ia yang lebih berilmu daripada yang tidak demikian itu.
Ini suatu kebodohan semata.
Lihatlah kepada pembesar-pembesar dan ulama-ulama dari kalangan Shahabat seperti: Abu Bakr, Umar, ‘Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Yazid bin Tsabit, bagaimana keadaan mereka dahulu?!
Perkataan mereka lebih sedikit daripada Ibnu ‘Abbas dan mereka lebih berilmu darinya.
Seperti itu juga perkataan Tabi’in lebih banyak daripada perkataan para Shahabat, dan para Shahabat lebih berilmu daripada mereka.
Demikian pula perkataan Tabi’ut Tabi’in lebih banyak daripada perkataan Tabi’in dan Tabi’in lebih berilmu daripada mereka.
Maka, ilmu itu bukan banyaknya periwayatan dan bukan pula perkataan yang banyak. Namun, ia adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati yang seorang hamba memahami kebenaran dengannya, membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dengannya, dan menyampaikan ilmu itu dengan ungkapan sederhana yang tercapai maksud (ucapan dengannya).”
(Muntaqol Fawaid, Faisol al-Hasyidiy, hal. 22 – 23)


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes