05/02/12

Apakah Maulid Dianjurkan oleh Rasulullah dan Salaf?

Asy-Syaikh Muhammad Amman Al-Jamiy – semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas – berkata:
“Telah lewat pembicaraan tentang perkembangan ilmu kalam dan kelompok-kelompok(sempalan Islam). Dengan demikian, selayaknya untuk kita mengetahui juga kapan muncul perayaan dengan nama “maulid Nabi”?
Kita seluruhnya mengetahui kapan Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan, berapa lama Beliau hidup, dan kapan wafatnya Beliau – atasnya shalawat dan salam. Namun, perayaan hari kelahirannya(maulid), kapan terjadinya?
Perayaan maulid Nabi yang pertama, kapan ini terjadi? Ini pertanyaannya.
Jika kita merujuk kepada tarikh(sejarah), sebatas pengetahuan saya, perayaan pertama terjadi dengan nama:
-          Maulid Nabi.
-          Kemudian maulid ‘Ali bin Abi Thalib.
-          Kemudian (maulid) Fathimah.
-          Kemudian (maulid) Hasan dan Husain (cucu Rasulullah), semoga Allah meridhai keduanya.
-          Kemudian (maulid) khalifah yang ada pada waktu itu.
Enam (6) perayaan.
Kapan terjadinya ini?
Di masa Fathimiyyun, yang shahih: abidiyyun.
Orang-orang – ‘abidiyyun – ingin mengangkat kedudukan mereka dan mendakwakan bahwa mereka adalah Fathimiyyun, penisbahan kepada (keturunan) Fathimah az-Zahra’.
Mereka ingin mengokohkan nasab palsu ini dengan menampakkan kecintaan kepada Ahlul Bait(keturunan Rasulullah). Dan termasuk dari penampakan kecintaan dengan mengadakan perayaan-perayaan ini.
Setiap tahun, mereka mengadakan enam perayaan ini sebagai pengagungan mereka kepada Ahlul Bait. Faktanya, mereka bukan dari keturunan mereka (ahlul bait). Mereka menisbahkan diri (kepada Fathimah) dan ingin mengokohkan penisbahan ini sebagaimana yang telah kami sampaikan. Mereka telah melakukan yang demikian itu.
Jika kita kembali kepada catatan sejarah dengan mencari makna dan tujuan dari perayaan ini, seandainya tujuan dari perayaan maulid Nabi  - ‘alaihishshalatu wassalam – untuk menampakkan kecintaan kepada Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – dan memuliakannya, kita semua beriman dan seluruh orang mukmin (meyakini) bahwa tidak ada yang lebih mencintai Rasulullah  - shalallahu ‘alaihi wasallam – daripada Abu Bakr ash-Shiddiq, sahabat yang (menemani Rasulullah) di gua (ketika hijrah).
Abu Bakr ash-Shiddiq yang kalian telah mengetahui posisinya dan perjalanan hidupnya, yang Allah telah menguatkan kaum muslimin dengannya di hari wafatnya Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – ketika orang-orang mukmin terguncang dengan wafatnya Beliau. Sampai-sampai Umar berkata (pada waktu itu): “Sesungguhnya Beliau pergi untuk kembali. Beliau pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya dan akan kembali.” Dan siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah wafat, maka ia (Umar) akan memenggal kepalanya dengan pedangnya. Terjadi kebingungan pada mereka sampai tingkatan seperti ini.
Namun, Allah mengokohkan sahabat yang (menemani Rasulullah) di gua (Abu Bakr). Orang itu, seorang tua yang tenang, Allah telah mengokohkan kaum mukminin dengannya.
Abu Bakr tidak merayakan (maulid), ini sebagian sifat-sifatnya, Umar juga tidak merayakan, demikian pula Utsman dan Ali serta seluruh Shahabat. Tidak pula Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, Imam yang empat yang diakui keimamannya, mereka tidak mengenal perayaan maulid.
Khulafaur Rasyidin, khalifah-khalifah dari bani Umayyah dan ‘Abbasiyah seluruhnya sampai masa (datangnya) abidiyyun, mereka tidak mengenal apa yang disebut dengan perayaan(maulid).
Jika demikian (maulid) adalah bid’ahnya abidiyyah atau fafhimiyyah sebagaimana ungkapan yang mereka namakan diri mereka dengan (sebutan) ini.
Seseorang bertanya, dan banyak orang yang bertanya tentang ini, mereka berkata: “Kami tidak menghendaki apapun. Semua yang kami inginkan adalah memperingati. Para Shahabat tidak merayakan karena mereka dekat dari sisi zaman kepada Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun kami – setelah waktu sejarah yang panjang ini – ingin memperingati, mengingat Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah (perkataan mereka) ini bisa diterima?
Kita bertanya-tanya: Kapan kaum muslimin lupa kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam – sampai kita perlu mengingat-ingatkan mereka dengan perayaan, berkumpul menyiapkan makanan dan minuman serta dupa wangi-wangian di malam dua belas Rabi’ul Awwal di setiap tahun.
Apakah kaum muslimin telah melupakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Dan apakah boleh bagi mereka untuk melupakan Beliau?
Tidak.
Tidakkah muadzin mereka ketika adzan mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Tidak  lain ia juga mengucapkan:
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Aku bersaksi bahwa Muhammad itu rasul(utusan) Allah.
Tidaklah seorang muslim masuk ke dalam masjid kecuali ia mengucapkan:
بِاسْمِ اللهِ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْل ِاللهِ
Dan setiap orang yang memperbanyak shalat, selain yang fardhu, di setiap shalatnya ia bershalawat atas Rasulullah - shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan tidaklah seorang muslim akan keluar dari masjid kecuali ia mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidaklah seorang penuntut ilmu (agama) membaca pelajarannya kecuali ia bershalawat atas Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam. Di satu pelajaran berulang-ulang kali (ia bershalawat).
Jika kita membicarakan nikmat Allah, kita tidak lupa akan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan seluruh muslimin (juga demikian).
Dengan demikian, kita tidak butuh kepada apa yang disebut “Peringatan Maulid”.
Dari informasi lain, mereka mengatakan:
Dari sisi luar, benar bahwa ia (perayaan maulid) itu mungkar jika di dalamnya  terjadi ikhtilath (campur-baur) antara dua jenis. Dan terkadang terjadi sesuatu yang tidak baik untuk disebutkan dalam perayaan-perayaan itu, di tempat-tempat yang bertemu dua jenis insan di dalamnya serta terjadi apa yang terjadi. Namun, jika kita melaksanakan perayaan itu di rumah-rumah kita dengan pintu-pintu yang terkunci, tidak ada ikhtilath di dalamnya, kita hanya membaca sirah Nabi, menyantap hidangan dan minuman untuk memperingati Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan kita membaca sirah Beliau.
Jawabannya:
Apakah kalian berkeyakinan bahwa amalan ini adalah amalan shalih yang kalian bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengannya atau itu amalan yang sia-sia?
Tentu saja mereka tidak akan mengatakan bahwa itu sia-sia bahkan tidak lain amalan shalih.
Jawabannya:
Apakah kalian berprasangka bahwa kalian boleh untuk mendatangkan suatu amalan shalih untuk mencari ridha Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan sebaik-baik umat ini tidak mengetahuinya.
Sebaik-baik kalian (umat Islam) adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, lalu yang setelah mereka.
Mereka (generasi terbaik umat Islam) tidak mengetahuinya, apakah kalian mengetahui kebaikan dan amalan shalih yang diterima di sisi Allah yang Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak mendatangkannya dan tidak pula  Khulafaur Rasyidin.
Inilah makna bid’ah secara zatnya, sebab bid’ah adalah mengamalkan sesuatu yang zhahirnya amalan shalih namun ia tidak disyariatkan.
Inilah perbedaan antara bid’ah dan maksiat. Maksiat adalah penyelisihan, kamu melakukan sesuatu yang dilarang atau meninggalkan suatu perintah. Ini maksiat.
Adapun bid’ah, engkau mendatangkan suatu amalan yang zhahirnya adalah amalan shalih seperti puasa, shalat, perayaan yang diada-adakan. Inilah bid’ah secara zatnya.
Dan setelahnya:
Semisal hari-hari (perayaan maulid)ini dan setelahnya, sebagian orang akan datang ke kota Madinah untuk melaksanakan perayaan di Madinah.
Mereka mendapati ancaman keras yang khusus di Madinah. Apakah ancaman ini?
Ketika Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam – menjelaskan batas-batas wilayah Madinah dan menerangkan bahwa Beliau mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim (‘alaihissalam) mengharamkan Makkah serta menjelaskan batas-batas wilayahnya, Beliau bersabda tentang hak Madinah:
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا – أَوْ آوَى مُحْدِثًا -  فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Siapa yang mengadakan-adakan sesuatu yang baru (muhdats) di dalamnya – atau menolong orang yang berbuat muhdats – maka atasnya laknat dari Allah, Malaikat, dan manusia seluruhnya. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak datang suatu ancaman pun yang seperti ini, walaupun di Makkah.
Madinah bukan negeri biasa, negeri yang Allah pilih untuk hijrahnya Rasul-Nya – ‘alaihishshalatu wassalam – , dijadikan ibukota pertama bagi kaum muslimin, tempat yang dimakamkan Rasulullah di dalamnya lalu akan dibangkitkan darinya.
Oleh sebab itu, siapa yang datang (hijrah) ke Madinah lalu ia tertimpa suatu kebutuhan, kefakiran, keletihan,  dan ia bersabar atas itu, dia di atas janji bersama Rasulullah – ‘alaihishshalatu wassalam – yaitu Beliau akan memberi syafaat atau saksi pada hari Kiamat.
Dan Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – menganjurkan bagi kaum muslimin untuk tinggal dan mati di Madinah yang Beliau – ‘alaihishshalatu wassalam – tidak menganjurkan (semisalnya) atas Makkah bersamaan ia (Makkah) memiliki keutamaan dan berlipatnya pahala shalat di dalamnya.
مَن اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوْتَ فِي الْمَدِيْنَةِ فَلْيَفْعَلْ
Siapa dari kalian yang mampu untuk mati di Madinah, maka lakukanlah.
(H.R. ath-Thabrani, dari Sabi’ah Al-Aslamiyyah dan Samithah al-litsiyyah)
Inilah kota Madinah yang demikian ini kedudukannya, lalu kita datang untung melakukan suatu kebid’ahan yang Allah dan Rasul-Nya – shalallahu ‘alaihi wasallam – tidak meridhainya, tidak memerintahkannya, dan tidak mengerjakannya. Dan Khulafaur Rasyidin juga tidak melaksanakannya sedangkan kita membantah:
Kami tidak melakukan apapun (dari bid’ah). Kami tidak berbuat kemungkaran, pertemuan hanya antara laki-laki saja, membaca sirah, dan udzur-udzur yang lain.
Ini seluruhnya tidak bermanfaat. Kamu lihatlah amalan ini, apakah kamu meyakini bahwa ia adalah amalan shalih yang disyariatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau bukan?
Jika kamu meyakini bahwa ia(perayaan maulid) itu adalah amalan shalih yang mendekatkan diri kepada Allah, maka kamu telah berbuat bid’ah.
Imam Malik – imam Darul Hijrah – berkata:
“Siapa yang mengada-adakan suatu bid’ah di dalam Islam lalu ia melihatnya suatu kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam – menyembunyikan (ilmu tentang suatu kebaikan) dan tidak menyampaikan (seluruh syariat).
Jika kamu didatangkan suatu amalan yang secara zhahir amalan shalih, dan ia bukan amalan yang datang dari jalur Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam –, kamu seakan-akan melengkapi RAsulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – dan mengatakan dengan lisan halmu bahwa Beliau belum menyampaikan segala sesuatu (dari agama) bahkan ada celah-celah yang perlu dipenuhi dengan bid’ah-bid’ah ini.
Dan Imam Malik, dahulunya, termasuk yang paling keras dalam mengingkari bid’ah-bid’ah ini dan yang selainnya.
Maka, jika kita merujuk kepada sejarah para Shahabar dan para imam, kita tidak akan mendapati apa yang membuat kita senang dengannya. Bahkan, kita akan menemui sesuatu yang membuat kita lari dari bid’ah ini.
Seandainya harus untuk beramal shalih pada hari kelahiran Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam –, maka kita mengamalkan apa yang Rasul – shalallahu ‘alaihi wasallam – syariatkan kepada kita. Puasa hari senin, baik itu pada bulan Rabi’ul Awwal atau di bulan yang lainnya sepanjang tahun.
Dan kita merasa cukup dengan apa yang telah mencukupi orang-orang generasi pertama(Islam).
Kebaikan segala kebaikan di dalam apa yang dilakukan oleh salafus shalih. Dan seluruh kejelekan ada pada kebid’ahan orang-orang yang datang terakhir.
وبالله التوفيق .
وصلى الله وسلم وبارك على بينا محمد وآله وصحبه



0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes