Seseorang mencela seorang yang termasuk ahli agama dan membuka aibnya serta memperinci sebagian apa yang ia tercela dengannya.
Lalu diantara orang-orang yang hadir bertanya kepadanya:
- Apakah kamu yakin dengan apa yang kamu cela itu ada dalam dirinya? Dari jalan mana kamu dikabarkan tentangnya?
- Kemudian, jika perkara yang kamu sebutkan itu berdasar keyakinan maka apakah halal bagimu untuk membuka aibnya atau tidak?
Aku mengetahui bahwa kamu belum duduk bersama laki-laki tersebut dan mungkin kamu belum bertemu dengannya. Kamu hanya membangun perkataanmu di atas perkataan sebagian orang tentangnya.
Ini dimaklumi bahwa tidak halal bagimu untuk membangun celaan berdasar berita dari perkataan orang-orang semata. Telah diketahui adanya orang yang jujur dan pendusta, orang yang mengabarkan berdasar apa yang ia lihat dan yang ia dengar. Juga pendusta yang membuat-buat perkataannya. Maka telah jelas, bahwa seluruh penetapan ini menjadikan tidak halal bagimu untuk mencelanya.
Kemudian kita berpindah kepada poin kedua :
Yaitu bahwa kamu yakin adanya aib pada diri orang yang kamu sebutkan aibnya itu dan telah datang kabar dengan jalur yang pasti. Maka, apakah kamu telah berbicara kepadanya, menasehatinya, dan melihat apakah ada udzur pada dirinya atau tidak?
Orang itu menjawab : “Aku sama sekali belum berbicara kepadanya tentang ini?”
Maka dikatakan padanya : “Ini tidak halal bagimu. Tidak lain yang wajib atasmu jika mengetahui perkara tercela pada saudaramu untuk kamu menasehatinya dengan semampumu sebelum melakukan sesuatu yang lain.
Setelah itu, jika kamu telah menasehati dan ia terus menerus menentangnya maka lihatlah apakah pencelaanmu kepadanya dihadapan orang-orang terdapat kemaslahatan dan kegagalan, atau kebalikan dari itu?
Dan bagaimanapun keadaannya, kamu telah menampakkan dalam pencelaanmu kepada orang ini sikap kecemburuan terhadap diin dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Padahal hakekatnya kamu telah melakukan kemungkaran.
Dan betapa banyak orang yang muncul darinya semisal perkara-perkara yang mudharat seperti ini yang muncul dari cara pandang yang lemah dan kurangnya sikap wara’.
Dan Allah Yang Maha Mengetahui.
( Faedah ke-28 dari kitab Majmu’ul Fawaid wa Iqtinadhul Awaabid karya as-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy, hal, 44 – 45 )
sumber: http://www.minhaajussunnah.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar