14/01/12

Ilmu itu Bukan Umbar Kata-kata


Adz-Dzahabi – semoga Allah merahmatinya – berkata ketika menyebutkan biografi Utsman Ad-Darimy (Siyar A’lamin Nubala’, 13/ 323):
“Sesungguhnya ilmu itu bukan banyaknya periwayatan namun ia adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. Dan syaratnya (untuk masuk ke dalam hati): Ittiba’ dan lari dari hawa nafsu serta kebid’ahan.”
Ibnu Rajab – semoga Allah merahmatinya – berkata (Bayanu fadhli ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf, hal 57 – 58):
“Dan kebanyakan orang-orang yang datang terakhir telah terfitnah dengan ini. Mereka berprasangka bahwa yang banyak perkataan, debat, dan argumennya dalam permasalahan-permasalahan agama, maka ia yang lebih berilmu daripada yang tidak demikian itu.
Ini suatu kebodohan semata.
Lihatlah kepada pembesar-pembesar dan ulama-ulama dari kalangan Shahabat seperti: Abu Bakr, Umar, ‘Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Yazid bin Tsabit, bagaimana keadaan mereka dahulu?!
Perkataan mereka lebih sedikit daripada Ibnu ‘Abbas dan mereka lebih berilmu darinya.
Seperti itu juga perkataan Tabi’in lebih banyak daripada perkataan para Shahabat, dan para Shahabat lebih berilmu daripada mereka.
Demikian pula perkataan Tabi’ut Tabi’in lebih banyak daripada perkataan Tabi’in dan Tabi’in lebih berilmu daripada mereka.
Maka, ilmu itu bukan banyaknya periwayatan dan bukan pula perkataan yang banyak. Namun, ia adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati yang seorang hamba memahami kebenaran dengannya, membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dengannya, dan menyampaikan ilmu itu dengan ungkapan sederhana yang tercapai maksud (ucapan dengannya).”
(Muntaqol Fawaid, Faisol al-Hasyidiy, hal. 22 – 23)


Kebebasan Berpikir dalam Timbangan Syariat

Kami mendengar dan membaca kalimat “kebebasan berfikir” dan selainnya dari kalimat-kalimat menyesatkan di sebagian koran atau majalah. Dan itu merupakan seruan kepada kebebasan dalam berakidah.
Lalu, apa tanggapan anda tentangnya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – berkata:
Tanggapan kami atasnya: bahwa yang membolehkan bagi seseorang bebas berakidah, meyakini agama-agama apa yang ia kehendaki, maka ia telah kafir.
Sebab, setiap yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh untuk mengambil agama selain agama (yang dibawa) Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam -, diminta taubatnya. Jika bertaubat (maka ia bebas), jika tidak maka wajib membunuhnya.
Dan agama itu bukan kumpulan pemikiran namun ia adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla yang Dia turunkan kepada rasul-rasul-Nya agar manusia berjalan di atasnya.
Dan kalimat ini , yang saya maksud : kata “pikiran/ gagasan” yang dimaksud dengannya “diin/agama”, wajib untuk dihapus dari kamus buku-buku Islam. Karena, ia mengantarkan kepada makna yang rusak, yaitu dikatakan Islam itu: pikiran/ gagasan, nashrani: pikiran, yahudi itu: pikiran.
Yang saya maksud dengan nashrani: yang orang-orangnya menyebutnya dengan al-masihiyyah(pengikut Al-Masih).
Dengan demikian, ia (kalimat itu)mengantarkan syariat-syariat itu sekedar dijadikan pemikiran-pemikiran (berasal dari) bumi yang dianut oleh siapa yang menghendaki.
Dan faktanya, bahwa agama-agama samawi adalah benar-benar agama yang datang dari langit, dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla, yang  orang-orang meyakini bahwa ia (agama-agama samawi) itu adalah wahyu dari Allah, yang hamba-hamba-Nya beribadah dengannya. Dan tidak boleh untuk digunakan kata “pikiran/ gagasan” untuknya.
Dan ringkasan dari jawaban:
Bahwa siapa yang berkeyakinan boleh untuk seseorang mengambil agama sesuai keinginannya, ia bebas dalam agamanya, maka ia telah kafir kepada Allah ‘Azza wa Jalla karena Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ ﴿٨٥﴾
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya. Q.S. Ali-Imraan: 85.
Dan Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ ﴿١٩﴾
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Q.S. Ali-Imraan: 19.

Maka, tidak boleh bagi seseorang untuk menyakini bahwa agama selain Islam boleh (untuk dianut), boleh bagi seseorang untuk menghambakan diri (kepada Allah) dengannya.
Bahkan, jika ia berakidah seperti ini, maka para ulama telah jelas-jelas mengatakan bahwa ia telah kafir (sebab keyakinan itu) keluar dari agama (Islam).”
(Al-Manahiy al-Lafzhiyyah, al-Utsaimin, hal. 116)

Merdeka atau Diperbudak?

Apa hukum perkataan seseorang “Saya bebas merdeka”?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Jika orang yang berkata itu seorang yang merdeka dan ia memaksudkan bahwa ia bebas dari perbudakan/ hamba sahaya, maka ya (benar) dia bebas dari perbudakan makhluk.
Adapun jika yang ia inginkan bahwa ia merdeka dari ‘ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka benar-benar jelek pemahamannya tentang makna penghambaan dan tidak mengetahui makna kebebasan.
 Sebab, penghambaan kepada selain Allah itulah perbudakan.
Adapun penghambaan seseorang kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla itulah kebebasan.
Hingga,  sesungguhnya jika ia tidak menghinakan diri kepada Allah, pasti ia menghinakan diri kepada selain-Nya.
Sehingga, disini ia telah memperdaya  dirinya sendiri jika berkata: saya merdeka. Yaitu : ia bebas dari ketaatan kepada Allah dan tidak menegakkan(ketaatan kepadanya).”

Dan asy-Syaikh –semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang ucapan seorang pelaku maksiat yang ketika diingkari perbuatannya berkata, “Saya bebas dalam segala perilaku saya?
Beliau menjawab:
“Ini tidak benar. Kita katakan,” Kamu tidak bebas dalam bermaksiat kepada Allah.
Bahkan jika kamu memaksiati Rabbmu, maka kamu telah keluar dari kemerdekaan – yang  engkau sedang mengaku-akunya – di dalam penghambaan kepada Allah menuju perbudakan kepada syaithan dan hawa nafsu.”
(Al-Manahiy al-Lafzhiyyah, Al-Utsaimin, hal. 117)

08/01/12

Hukum Shalat di Belakang musyrik atau fasik?


Apakah sah shalat di belakang seorang imam yang beristighatsah kepada orang-orang yang telah mati dan memohon bantuan kepada mereka?
Dan bagaimana dengan seseorang yang berdusta dan sengaja berdusta serta suka mengganggu orang-orang shalih, sedang ia mengimami orang-orang. Apakah ia dikedepankan (untuk mengimami) di dalam shalat jika terkenal dengan kedustaan dan kefasikan?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjawab:
Tidak sah shalat di belakang seorang  pelaku kesyirikan syirik akbar(besar) yang mengeluarkannya dari agama.
Berdoa kepada orang-orang yang telah mati dan beristighatsah kepada mereka, ini syirik akbar mengeluarkan (pelakunya) dari agama(Islam).
Maka, orang ini bukan muslim. Tidak sah shalat itu bagi dirinya dan tidak pula bagi yang shalat di belakangnya.
Tidak lain, dipersyaratkan untuk menjadi imam: seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ia mengamalkan agama Islam secara lahir dan batin.
Adapun laki-laki yang lain(yang disebutkan kedua) dan perbuatannya, maka ini suatu perbuatan dosa besar: dusta.
Melakukan suatu dosa besar yang di bawah kesyirikan dan mengganggu orang-orang muslim, ini termasuk dosa besar tidak berkonsekuensi kekufuran.
Dan ia tidak pantas untuk dijadikan seorang imam.
Namun, seseorang yang datang (untuk shalat) dan mendapati orang-orang sedang shalat sedangkan ia (lelaki fasik) itu mengimami mereka, maka (tidak mengapa) ia shalat di belakangnya dan tidak shalat bersendirian, sampai ia mendapati seorang imam yang shalih lagi istiqomah maka ia pergi kepadanya (untuk shalat di belakangnya).

(As’ilah wa ajwibah fil iman wal kufri, hal 68 – 69 )

01/01/12

Amalan itu Rukun dan Bagian di dalam Iman atau Syarat Penyempurna ?

Apakah amalan-amalan itu rukun dan bagian di dalam iman atau ia syarat penyempurna  di dalamnya?
Asy-Syaikh Abdul  Aziz Ar-Rajihy – semoga Allah menjaganya – berkata:
“Iman itu perkataan dengan lisan dan perkataan dengan hati, amalan dengan hati dan dengan anggota badan sebagaimana terdahulu.
Dan tidak dikatakan: ia (amalan-amalan itu) syarat kesempurnaan atau ia keluar (bukan bagian) dari iman atau ia suatu keharusan dari kelaziman-kelaziman iman atau konsekuensi (tuntutan) dari iman atau ia (amalan-amalan) itu dalil/ bukti atas iman; ini seluruhnya datang dari murji’ah.”
(As’ilah wa Ajwibah fil iman wal kufri, Ar-Rajihy, hal 14 – 15.

Kemudahan setelah Kesulitan

 Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah merahmatinya berkata - :
“Ini kabar gembira dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi kepada Rasul – shalallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam – dan kepada seluruh umatnya.
Dan kesulitan terjadi pada Rasulullah – ‘alaihish shalatu wassalam – ketika di Makkah dan di Tha’if. Demikian pula ketika di Madinah dari orang-orang-orang munafik.
Maka Allah berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Yaitu: Sebagaimana Kami telah melapangkan untukmu dadamu, Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.

Dan ini nikmat yang besar. Demikian pula kesulitan ini yang menyempitkanmu, mesti ada kemudahan untuknya.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
006. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Q.S. Al-Insyiraah : 5 – 6.

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini : “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Dan pemaknaan perkataan beliau – semoga Allah meridhainya – bersamaan dengan penyebutan (di dalam ayat) kesulitan dua kali dan kemudahan dua kali, ahli balaghah berkata:
Pemaknaan perkataan beliau bahwa kesulitan tidak disebutkan kecuali sekali (dalam firman-Nya):
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾
Kalimat الْعُسْرِ diawal diulang dalam ayat kedua dengan “ال” alif lam  , maka “ال” disini untuk ‘ahd adz-dzikry (sesuatu yang dipahami dan disepakati dalam benak pikiran).
Adapun kata “kemudahan” tidak datang dalam bentuk mu’arraf (dengan “ال”), bahkan nakirah (tanpa “ال”).
Dan kaedahnya: jika isim diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf, maka yang kedua itu sama dengan yang pertama kecuali jarang sekali.
Dan jika isim diulang dua kali dalam bentuk nakirah, maka yang kedua bukan yang pertama.
Karena (ayat) yang kedua nakirah, maka dia bukan yang pertama.
Dengan demikian, di dalam dua ayat yang mulia tersebut ada dua kemudahan dan satu kesulitan sebab الْعُسْرِ /kesulitan diulang dua kali dengan bentuk mu’arraf.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾
005. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Perkataan ini adalah kabar dari Allah Yang MAha Mulia dan Maha Tinggi, dan berita-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi adalah sesempurna dan sejujur-jujur pengabaran -. Dan janji-Nya tidak akan luput.
Maka, setiap kali suatu perkara menyulitkanmu maka tunggulah kemudahan.
Adapun dalam permasalahan-permasalahan syar’i maka itu terlihat jelas. Di dalam shalat: shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring. Ini kemudahan.
Jika sulit berdiri, duduklah! Jika duduk sulit atasmu maka shalatlah dalam keadaan kamu berbaring!
Dan ketika berpuasa, jika kamu mampu dan tidak dalam safar maka puasalah! Jika tidak mampu, berbukalah!
Jika kamu sedang safar(bepergian), berbukalah!
Dalam ibadah haji, jika kamu mampu melakukan perjalanan kepadanya maka berhajilah! Jika tidak mampu, maka tidak ada kewajiban haji atasmu.
Bahkan, jika kamu telah berangkat haji namun tertahan dan tidak mungkin menyempurnakannya maka tahalul dan menyembelihlah! Dan batalkan haji!
Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ﴿١٩٦﴾
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat. Q.S. Al-Baqarah : 196.

Dengan demikian, seluruh kesulitan yang didapati seseorang dalam beribadah, dia akan mendapati pemudahan dan kemudahan.

Seperti itu juga, dalam qadha’ dan qadar, yaitu ketentuan Allah atas seseorang dari berbagai musibah, kesulitan hidup, kesempitan dada dan yang lainnya, janganlah berputus asa karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Dan pemudahan (urusan) terkadang tampak secara lahir, misal: seseorang dalam keadaan fakir, maka urusan-urusannya menyempitkannya. Lalu, Allah memudahkan baginya kecukupan.
Misal yang lain: seseorang sakit, kecapekan, yang sakit itu sangat memberatkannya. Kemudian Allah sembuhkan ia darinya. Ini pemudahan yang tampak.

Disana, ada pemudahan yang maknawi, yaitu pertolongan Allah untuk seseorang bersabar. Ini pemudahan.
Jika Allah telah menolongmu di atas kesabaran, pasti segala kesulitan akan mudah bagimu. Dan permasalahan yang sulit ini yang seandainya turun ke atas gunung pasti merobohkannya, itu dengan pertolongan Allah atasmu untuk bersabar maka menjadi sesuatu yang mudah.

Dan kemudahan itu bukanlah maknanya sesuatu itu akan terselesaikan secara sempurna saja.
  • ·         Kemudahan itu (dengan) keluar dan hilangnya kesulitan. Ini kemudahan yang kasat mata.
  • ·         Dan (kemudahan itu) dengan Allah menolong seseorang untuk bersabar sehingga permasalahan yang sangat sulit menjadi sesuatu yang mudah atasnya. Kita katakan ini sebab kita meyakini kebenaran janji Allah.

(Tafsir Juz ‘Amma, Al-Utsaimin, hal 217 – 218.)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes