11/12/11

Dua Tempat Berdiri di Hadapan Allah

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata:

“ Seorang hamba memiliki dua tempat berdiri di hadapan Allah :

-          Berdiri di hadapan-Nya ketika shalat.

-          Berdiri di hadapan-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya(hari kiamat).

Maka, siapa yang berdiri dengan sebenar-benarnya di tempat yang pertama(shalat), pasti dimudahkan atasnya tempat berdiri yang terakhir.

Dan siapa yang meremehkan tempat berdiri ini(shalat) dan tidak memenuhi haknya, pasti akan dipersulit atasnya tempat berdiri yang itu(di hari kiamat).

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلاً طَوِيلاً ﴿٢٦﴾

 إِنَّ هَؤُلاَء يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءهُمْ يَوْماً ثَقِيلاً ﴿٢٧﴾

026. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.

027. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). Q.S. Al-Insaan: 26 – 27.

(Al-Fawaaid, hal. 242 – 243)

Mengapa Doa itu Seluruhnya Ibadah?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata :

"Sabda Nabi – shalallahu ‘alaihi wasallam : “Doa itu otak ibadah” atau “Doa itu seluruhnya ibadah”, tidak lain yang demikian itu dikarenakan beberapa hal, diantaranya :

-          Bahwa doa di dalamnya terdapat sikap merendah kepada Allah, menampakkan kelemahan dan kebutuhan (hamba) kepada Allah.

-          Bahwa ibadah setiap kali hati lebih khusyu’ dan pikiran hadir padanya, maka ia lebih utama dan lebih sempurna. Dan doa merupakan ibadah yang paling dekat untuk mendapat tujuan  ini karena hajat  seorang hamba membawanya kepada kekhusyukan dan kehadiran hati.

-          Bahwa doa mengharuskan untuk tawakkal dan isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah. Sesungguhnya tawakkal itu adalah penyandaran hati kepada Allah dan percaya kepada-Nya untuk meraih hal-hal yang dicintai dan berlindung dari hal-hal yang dibenci.

Dan doa akan memperkuatnya(tawakkal), bahkan mengungkapkan dan memperjelas (tawakkal)dengannya. Karena, seorang yang berdoa mengetahui kebutuhannya yang sempurna kepada Allah. (dan ia mengetahui) bahwa kebutuhannya itu di tangan Allah dan ia memintanya kepada Rabbnya dengan pengharapan dan percaya kepada-Nya. Dan inilah nyawa dari ibadah.

-          Bahwa seorang yang berdoa ketika memohon kepada Allah untuk suatu kemasalahatan dan yang bermanfaat baginya serta meminta kebutuhan-kebutuhannya kepada Allah; mungkin seseorang menduga bahwa itu adalah tujuan(dari doa) dan jika telah didapat apa yang ia berdoa kepadanya, maka ia telah meraih tujuan (doa). Dan seandainya belum berhasil maka usahanya telah sia-sia. Ini adalah dugaan yang keliru.

Maka, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – mengabarkan bahwa ia(doa) itu adalah ibadah, baik yang diminta hamba itu dikabulkan atau tidak, sesungguhnya ia telah melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan berdoa kepada-Nya sebagaimana jika ia shalat atau membaca (Al-Qur’an) atau berdzikir kepada Allah.

Jika ia mendapatkan bersama dengan ibadah ini – yang ia (ibadah) adalah tujuan utama (berdoa) – apa yang ia inginkan, jikapun tidak maka ia telah memperoleh dan mendapatkan ibadah kepada Rabb-Nya.

Termasuk dari nikmat Allah atas seorang hamba untuk Dia memerintahkannya berdoa, memenuhi hajat dan kebutuhan mendesak dengan memohon kepada Allah untuk ia mendapatkan ibadah yang agung ini.

Sehingga, sebagian salaf berkata : “ Sesungguhnya jika aku memiliki suatu hajat kepada Allah lalu aku berdoa kepadanya, kemudian ia bukakan kepadaku kelezatan bermunajat kepada-Nya, aku tidak berangan-angan bersamanya bahwa kebutuhanku tidak dipenuhi, karena aku takut jiwaku berpaling dari munajat dan ibadah (doa) ini (kepada angan-angan mendapatkan kebutuhanku).”

Dan sebagian yang lain berkata: “Sungguh benar-benar engkau diberkahi dalam suatu kebutuhan yang engkau telah memperbanyak dari mengetuk pintu Sayyid(Tuhan)mu.”

(Majmu’ul Fawaid wa Iqtinadhul Awaabid, hal 45 – 46)

Adab Menasehati

As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya - berkata :
Seseorang mencela seorang yang termasuk ahli agama dan membuka aibnya serta memperinci sebagian apa yang ia tercela dengannya.
Lalu diantara orang-orang yang hadir bertanya kepadanya:
  • Apakah kamu yakin dengan apa yang kamu cela itu ada dalam dirinya? Dari jalan mana kamu dikabarkan tentangnya?
  • Kemudian, jika perkara yang kamu sebutkan itu berdasar keyakinan maka apakah halal bagimu untuk membuka aibnya atau tidak?
Adapun (jawaban) yang pertama:
Aku mengetahui bahwa kamu belum duduk bersama laki-laki tersebut dan mungkin kamu belum bertemu dengannya. Kamu hanya membangun perkataanmu di atas perkataan sebagian orang tentangnya.
Ini dimaklumi bahwa tidak halal bagimu untuk membangun celaan berdasar berita dari perkataan orang-orang semata. Telah diketahui adanya orang yang jujur dan pendusta, orang yang mengabarkan berdasar apa yang ia lihat dan yang ia dengar. Juga pendusta yang membuat-buat perkataannya. Maka telah jelas, bahwa seluruh penetapan ini menjadikan tidak halal bagimu untuk mencelanya.
Kemudian kita berpindah kepada poin kedua :
Yaitu bahwa kamu yakin adanya aib pada diri orang yang kamu sebutkan aibnya itu dan telah datang kabar dengan jalur yang pasti. Maka, apakah kamu telah berbicara kepadanya, menasehatinya, dan melihat apakah ada udzur pada dirinya atau tidak?
Orang itu menjawab : “Aku sama sekali belum berbicara kepadanya tentang ini?”
Maka dikatakan padanya : “Ini tidak halal bagimu. Tidak lain yang wajib atasmu jika mengetahui perkara tercela pada saudaramu untuk kamu menasehatinya dengan semampumu sebelum melakukan sesuatu yang lain.
Setelah itu, jika kamu telah menasehati dan ia terus menerus menentangnya maka lihatlah apakah pencelaanmu kepadanya dihadapan orang-orang terdapat kemaslahatan dan kegagalan, atau kebalikan dari itu?
Dan bagaimanapun keadaannya, kamu telah menampakkan dalam pencelaanmu kepada orang ini sikap kecemburuan terhadap diin dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Padahal hakekatnya kamu telah melakukan kemungkaran.
Dan betapa banyak orang yang muncul darinya semisal perkara-perkara yang mudharat seperti ini yang muncul dari cara pandang yang lemah dan kurangnya sikap wara’.
Dan Allah Yang Maha Mengetahui.
( Faedah ke-28 dari kitab Majmu’ul Fawaid wa Iqtinadhul Awaabid karya as-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy, hal, 44 – 45 )

sumber: http://www.minhaajussunnah.wordpress.com

10/12/11

Jujur Membimbing kepada Seluruh Kebaikan

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy – semoga Allah merahmatinya – berkata :

“Allah sungguh telah memerintahkan kepada kejujuran dan memuji orang-orang yang berbuat jujur. Dia (Allah) telah mengabarkan bahwa jujur itu bermanfaat bagi pemiliknya di dunia dan akhirat, dan bagi mereka ampunan serta pahala yang besar.

Allah Ta’ala berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur. Q.S. At-Taubah: 119.


وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ ﴿٣٣﴾
Dan orang yang membawa kejujuran/kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Q.S. Az-Zumar: 33.

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ ﴿٢١﴾
Tetapi jikalau mereka jujur (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Q.S. Muhammad : 21.

هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ﴿١١٩﴾
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kejujuran mereka.
Q.S. Al-Maaidah: 119.

Ayat-ayat pujian terhadap kejujuran sangatlah banyak.

Dan kejujuran itu akan menunjukkan kepada seluruh kebajikan dan kebaikan, sebagaimana dusta akan mengantarkan kepada seluruh kejelekan dan kerusakan. Orang yang jujur dicintai Allah, dicintai hamba-hamba Allah, terpandang kemuliaan agama dan dunianya. Bahkan, tanda kemuliaan, keterpandangan, dan kedudukan yang tinggi : jujur.

Dan sifat jujur itu memiliki faedah-faedah yang agung, diantaranya :
-          Perkara-perkara yang mulia yang telah kita isyaratkan (sebelumnya) berupa ketundukan kepada perintah Allah, mendapat pahala yang besar dan ampunan, bahwa orang yang  jujur akan mengambil manfaat dari kejujurannya di dunia dan akhirat, ia (jujur) menyeru kepada kebajikan, kebajikan membimbing menuju surga. Dan senantiasa seseorang berhati-hati dalam kejujuran sehingga tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur(shiddiq) berada di derajat dan kedudukan yang tertinggi.
-          Siapa yang terkenal kehati-hatiannya dalam kejujuran, kedudukannya pasti meninggi di sisi makhluk, sebagaimana menaik (posisinya) di sisi Al-Khaliq.
-          Orang-orang merasa tenang dengan perkataan  dan perbuatannya.
-          Ia memiliki martabat yang tinggi dalam kemuliaan, terpandang, dan mendapat pujian yang baik.
-          Dan orang-orang akan merasa aman dari kejelekan, makar, dan pengkhianatannya.

Di seluruh posisi keagamaan dan keduniaan, kamu tidak akan mendapati orang yang jujur kecuali ia berada pada derajat yang tinggi.

Jika ia di posisi pemberi fatwa, mengajar, dan memberi bimbingan, maka orang-orang tidak akan berpaling dari perkataannya kepada perkataan orang lain. Dan mereka merasa tenang kepada bimbingan, pengajaran, dan kepahamannya sebab itu dibangun di atas kejujuran.

Jika ia memberi kesaksian yang umum atau persaksian khusus, hukum-hukum diputuskan berdasarkan kesaksiannya.

Jika ia mengabarkan suatu berita khusus atau umum, orang-orang percaya kepada beritanya, mengagungkan dan menghormatinya.

Sampai-sampai, seandainya ia jatuh dalam suatu kesalahan dalam hal itu, mereka memberi kemungkinan yang baik untuknya.

Dan jika ia bermuamalah kepada manusia dengan muamalah duniawi – menjual, membeli, menyewa, perdagangan, atau terkait hak-hak yang besar dan kecil – , orang-orang berlomba-lomba bermuamalah dengannya dan merasa tenang untuk muamalah itu tanpa ada keraguan.

Cukuplah bagimu akhlak ini, yang orang-orang cerdas tunduk kepada kebaikan dan kesempurnaannya, orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan mengakui kesempurnaannya. Maka, ia termasuk dari bukti kebenaran Rasulullah dan kesempurnaan apa yang Beliau bawa dari agama yang lurus ini, yang akhlak agung ini bagian dari akhlaknya, dan seluruh akhlaknya berada di atas petunjuk ini.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.”

(Fathur Rahiim Al-Malaakil ‘Allaam, As-Sa’dy,  hal. 99 – 100.)

05/12/11

Enam Syarat Ittiba’

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmatinya – berkata di dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Kamalisy –Syar’I wa khatharil Ibtida’, hal. 21 – 23 :
“Wahai saudara-saudaraku,
Sesungguhnya Al-Mutaba’ah (beramal sesuai tuntunan Rasulullah) tidak akan terlaksana kecuali jika amal itu sesuai (dengan tuntunan Rasulullah) dalam enam hal :
Pertama : Sebab, seperti : seseorang shalat dua raka’at dengan sebab turunnya hujan.
Kedua : Jenis, seperti : seseorang mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang.
Ketiga : Kadar, seperti : seseorang shalat Maghrib empat rakaat dengan sengaja.
Keempat : Tata cara, seperti seseorang berwudhu memulai dengan kedua kaki dan mengakhiri dengan wajahnya.
Kelima : Waktu, seperti : seseorang menyembelih (kurban) pada bulan Ramadhan.
Keenam : Tempat , seperti seseorang I’tikaf di padang pasir.
Saudara-saudara….
Cengkeramlah sunnah Rasul –shalallahu ‘alaihi wasallam – dengan gigi-gigi gerahammu, ambillah jalan salafus shalih, dan jadilah seperti apa yang mereka dahulu berada di atasnya!
Dan kalian lihatlah apakah itu memudharatkan kalian?”
Selesai perkataan Beliau dengan beberapa perubahan dan peringkasan.
(Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 178)
Sumber : http://www.minhaajussunnah.wordpress.com

Hukum Seseorang Mengaku sebagai SALAFY Namun Duduk Bersama Hizbiyyun Berdalih Menasehati Mereka?

Seseorang mengaku sebagai Salafy(pengikut manhaj salafus shalih), akan tetapi ia duduk bersama hizbiyyun. Ia telah dinasehati atas perbuatannya itu namun berdalih “Aku memberikan arahan dan menasehati mereka”, bagaimana kami menghukumi orang ini?
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy –semoga Allah merahmatinya – berkata :
Menasehati tidak mengharuskan untuk duduk bersama mereka. Dan menahehati (mereka) dilakukan dalam waktu terbatas. 

Adapun, kamu duduk bersama mereka dengan argument untuk menasehati mereka, maka kamu menasehati lalu (dengannya) akan berubah amalan mereka, menyelisihi amalan mereka yang terdahulu. Jika kamu katakan – misalnya – kamu menasehati mereka namun mereka tidak mendengarkan atau menerima nasehatmu, maka kenapa kamu duduk bersama mereka, pulang dan pergi dengan mereka?

Jika mereka tidak mendengarkan nasehat darimu, jangan pergi mendatangi mereka dan duduk bersama mereka. Namun, (dalam keadaan ini) jika kami melihat kamu datang-dan pergi bersama mereka, kamu duduk bersama mereka, maka kami telah mengetahui bahwa kamu dari golongan mereka.


( Al-Fatawa Al-Jaliyyah hal 141 – 142. )
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes