16/05/12

Hati yang Istiqamah


Iman dan istiqamah dua teman seiring sejalan yang keduanya tidak mungkin untuk dipisahkan. Iman tanpa istiqamah minimal berbuah kemaksiatan dan maksimal kekufuran atau kemunafikan. Wal’iyadzubillah. Dan mustahil bagi seseorang untuk istiqamah tanpa iman.
Oleh sebab ini, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah menasehati umatnya untuk beriman lalu beristiqamah, sebagaimana dalam sabdanya:
قُلْ : آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah! (Hadits Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, riwayat Muslim)
Lalu apa istiqamah itu?
Asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim – semoga Allah merahmatinya – berkata,“Para ulama sepakat bahwa istiqamah adalah pertengahan di antara dua sisi, yaitu lurus tanpa ada kebengkokan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا ﴿١﴾ قَيِّماً ﴿٢﴾
001. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;
002. sebagai bimbingan yang lurus. Q.S. Al-Kahfi: 1 – 2.
Yaitu: tidak ada kebengkokan di dalamnya, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, tidak turun dan tidak naik bahkan pertengahan dan lurus.
Demikian pula mereka mengatakan:
“Amalan yang utama adalah pertengahan dari dua sisi, misalnya: keberanian itu pertengahan antara nekat dan penakut, kedermawanan pertengahan antara berlebih-lebihan dan sangat irit. Seperti itulah istiqamah.”
Jika kita ingin melaksanakan istiqamah di dalam amalan Islam, kita pasti mendapatinya masuk ke setiap bagian darinya. Ia adalah timbangan yang seorang hamba mengukur amalan-amalan dengannya.
Keterangan dari salaf telah datang dalam menjelaskan makna istiqamah. Penjelasan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – ketika ia membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Ia berkata: “Mereka telah beriman kepada Allah dan istiqamah di atas hal itu sampai mati.”
Dan Umar – semoga Allah meridhainya – menerangkan: “Mereka telah beriman kepada Allah lalu istiqamah dan tidak menyimpang seperti penyimpangan serigala.”
Maka, istiqamah di atas iman kepada Allah adalah terus-menerus(kontinyu) di atasnya sampai bertemu Allah dengan ia tetap di atas istiqamahnya itu.”(Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Athiyyah bin Muhammad Salim, Al-Maktabah Asy-Syamilah 6/ 47)
Asy-Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshoriy – berkata:
“Diambil faedah dari hadits:
Perintah untuk istiqamah yaitu berbuat kebenaran dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan niat.
Dan landasannya adalah istiqamah hati di atas tauhid sebagaimana penafsiran Abu Bakr ash-Shiddiq terhadap firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Apabila hati telah istiqamah di atas mengenal Allah(ma’rifatullah), takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengormati-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap, memohon, dan tawakkal kepada-Nya serta berpaling dari selain-Nya, anggota badan pun akan ikut istiqamah menaati-Nya. Karena, sesungguhnya hati itu raja dan anggota-anggota badan adalah pasukannya. Jika sang raja istiqamah, maka pasukannya akan istiqamah pula.”
(At-Tuhfatur Rabbaniyyah fi syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, Ismail bin Muhammad al-Anshariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah 1/ 22)
Dengan ini, kita mengetahu bahwa istiqamah itu berlaku bagi hati dan anggota badan. Kaidah yang telah dipahami bersama bahwa kebaikan hati berbuah kebaikan amalan. Demikian pula, istiqamah hati akan menghasilkan istiqamah anggota badan.
Lalu bagaimana hati itu bisa istiqamah?
Mari kita lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berikut ini:
“Dan kelurusan (istiqamah) hati itu dengan dua hal:
Pertama: kecintaan kepada Allah didahulukan di atas segala jenis kecintaan.
Kemudian, apabila terjadi pertentangan antara cinta Allah Ta’ala dan cinta yang selain-Nya, cinta kepada Allah mendahului cinta yang selain-Nya. Sehingga ia melaksanakan konsekuensi dari cinta itu.
Dan betapa mudahnya pengakuan seperti ini dan betapa sulit mengamalkannya. Ketika ujian datang(menguji cinta kepada-Nya), seseorang akan dimuliakan atau dihinakan. Betapa banyak hamba (ketika datang ujian) mendahulukan apa yang dicintainya dan disenangi hawa nafsunya atau dicintai pembesarnya atau pimpinannya atau syaikhnya atau  keluarganya, di atas apa yang Allah cintai.
Hamba yang seperti ini belum mengedepankan cinta kepada Allah di atas segala jenis cinta. Ia belum memutuskan sesuatu berdasarkan  rasa cinta itu dan belum memerintahkan kepadanya.
Dan sunnatullah terhadap seseorang yang demikian keadaannya, untuk ia dihalangi dari mencintai-Nya dan menggerakkan kecintaan atas-Nya. Ia tidak mendapat dari cinta-Nya kecuali dengan susah-payah  dan terseok-seok, sebagai balasan pengedepanan hawa nafsunya dan hawa nafsu dari orang-orang yang ia agungkan atau yang ia cintai atau mendahulukan kecintaan kepadanya di atas cinta kepada Allah.
Allah telah benar-benar menghukumi dengan ketentuan yang tidak bisa dibantah dan ditolak, bahwa: siapa yang mencintai sesuatu selain-Nya, ia akan diadzab dengannya. Itu suatu keharusan.
Siapa yang takut kepada selain-Nya, Dia kuasakan sesuatu itu atasnya. Dan siapa yang tersibukkan dengan sesuatu dari selain-Nya, maka itu kemalangan atasnya.
Siapa yang mengutamakan yang selain-Nya di atas mengutamakan-Nya, tidak diturunkan barakah padanya. Siapa yang mencari ridha selain-Nya dengan (sesuatu yang menimbulkan) kemurkaan-Nya, Dia pasti memurkainya. Dan ini suatu kemestian.
Yang kedua: Hal yang menjadikan hati istiqamah yaitu mengagungkan perintah dan larangan. Dan itu tumbuh dari pengagungan terhadap yang memerintah dan melarang.
Sesungguhnya Allah mencela seseorang yang mengagungkan-Nya namun tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً ﴿١٣﴾
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?
Q.S. Nuh: 13.

Mereka (ahli tafsir) menyebutkan tafsir ayat ini yaitu “Mengapa kalian tidak takut kepada  kebesaran Allah?”

Dan betapa indah perkataan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) tentang pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya: “Yaitu: keduanya (perintah dan larangan) tidak ditentang dengan mencari rukhsah(keringanan), tidak dilawan dengan sifat keras dari orang yang berlebihan, dan tidak dibawa kepada suatu argumentasi yang melemahkan ketundukan (kepada-Nya).”
Dan makna perkataannya “Bahwasannya awal tingkatan pengagungan Yang Maha Benar – ‘Azza wa Jalla – yaitu mengagungkan perintah dan larangan-Nya”, yang demikian itu dikarenakan seorang mukmin mengenal Rabbnya melalui risalah-Nya yang dibawa oleh Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – kepada seluruh manusia.
Konsekuensi risalah itu: tunduk kepada perintah dan larangan Rasulullah. Dan itu tidak lain terjadi dengan mengagungkan perintah Allah dan mengagungkan serta menjauhi larangan-Nya.
Maka, dengan pengagungan seorang mukmin terhadap perintah Allah dan larangan-Nya, itu menunjukkan pengagungan terhadap yang memberi perintah dan larangan tersebut.
Dan ia, dengan derajat pengagungan ini, akan termasuk golongan orang shalih yang dipersaksikan kepada mereka keimanan, pembenaran, kelurusan akidah, dan terlepas dari kemunafikan yang besar.
Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan suatu perintah karena dilihat oleh makhluk, mencari posisi dan kedudukan di sisi mereka.
Dan ia bertakwa dari perkara-perkara yang haram karena takut jatuh kedudukannya di pandangan manusia. Juga, ia takut dari hukuman duniawi berupa penegakan hukum had yang ditetapkan pembuat syariat – shalallahu ‘alaihi wasallam – atas pelanggaran dari keharaman.
Sehingga, orang ini, ia melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan  bukan karena mengagungkan perintah dan larangan dan bukan pula untuk mengagungkan pembuat perintah dan larangan itu.
Kemudian, tanda bagi pengagungan perintah-perintah (pembuat syari’at):
-          Menjaga waktu dan batasan-batasannya,
-          memeriksa rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan kesempurnaannya,
-          bersemangat untuk melaksanakan pada waktunya,
-          bersegera kepada(pelaksanaan)nya ketika (datang waktu) wajibnya,
-          sedih, , dan menyesal sewaktu lepas satu dari hak-hak perintah itu, seperti: sedih dari ketinggalan shalat berjama’ah.
Dan ia memahami, seandainya diterima shalatnya yang bersendirian, telah lepas darinya (pahala berjama’ah) dua puluh tujuh kali lipat.
(Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, hal. 28 – 29)
Kita memohon kepada Allah keteguhan di atas agama-Nya sampai bertemu dengan-Nya.


0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes