Iman dan istiqamah dua teman seiring sejalan
yang keduanya tidak mungkin untuk dipisahkan. Iman tanpa istiqamah minimal berbuah
kemaksiatan dan maksimal kekufuran atau kemunafikan. Wal’iyadzubillah.
Dan mustahil bagi seseorang untuk istiqamah tanpa iman.
Oleh
sebab ini, Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam – telah menasehati umatnya untuk
beriman lalu beristiqamah, sebagaimana dalam sabdanya:
قُلْ : آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ
اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah! (Hadits Sufyan bin ‘Abdillah
ats-Tsaqafi, riwayat Muslim)
Lalu apa istiqamah itu?
Asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim – semoga Allah
merahmatinya – berkata,“Para ulama sepakat bahwa istiqamah adalah pertengahan
di antara dua sisi, yaitu lurus tanpa ada kebengkokan, sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا ﴿١﴾ قَيِّماً ﴿٢﴾
001. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada
hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di
dalamnya;
002. sebagai bimbingan yang lurus. Q.S. Al-Kahfi: 1 – 2.
Yaitu: tidak ada kebengkokan di dalamnya, tidak ke kanan dan
tidak ke kiri, tidak turun dan tidak naik bahkan pertengahan dan lurus.
Demikian pula mereka mengatakan:
“Amalan yang utama adalah pertengahan dari dua sisi, misalnya:
keberanian itu pertengahan antara nekat dan penakut, kedermawanan pertengahan
antara berlebih-lebihan dan sangat irit. Seperti itulah istiqamah.”
Jika kita ingin melaksanakan istiqamah di dalam amalan Islam,
kita pasti mendapatinya masuk ke setiap bagian darinya. Ia adalah timbangan
yang seorang hamba mengukur amalan-amalan dengannya.
Keterangan dari salaf telah datang dalam menjelaskan makna
istiqamah. Penjelasan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya –
ketika ia membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami
ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Ia berkata: “Mereka telah beriman kepada Allah dan istiqamah
di atas hal itu sampai mati.”
Dan Umar – semoga Allah meridhainya – menerangkan: “Mereka
telah beriman kepada Allah lalu istiqamah dan tidak menyimpang seperti
penyimpangan serigala.”
Maka, istiqamah di atas iman kepada Allah adalah terus-menerus(kontinyu)
di atasnya sampai bertemu Allah dengan ia tetap di atas istiqamahnya itu.”(Syarhul
Arba’in An-Nawawiyyah, Athiyyah bin Muhammad Salim, Al-Maktabah
Asy-Syamilah 6/ 47)
Asy-Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshoriy – berkata:
“Diambil faedah dari hadits:
Perintah untuk istiqamah yaitu berbuat kebenaran dalam
seluruh perkataan, perbuatan, dan niat.
Dan landasannya adalah istiqamah hati di atas tauhid
sebagaimana penafsiran Abu Bakr ash-Shiddiq terhadap firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami
ialah Allah" kemudian mereka istiqamah(meneguhkan pendirian mereka). Q.S. Fushshilat: 30.
Apabila hati telah istiqamah di atas mengenal
Allah(ma’rifatullah), takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengormati-Nya,
mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap, memohon, dan tawakkal kepada-Nya
serta berpaling dari selain-Nya, anggota badan pun akan ikut istiqamah
menaati-Nya. Karena, sesungguhnya hati itu raja dan anggota-anggota badan
adalah pasukannya. Jika sang raja istiqamah, maka pasukannya akan istiqamah
pula.”
(At-Tuhfatur Rabbaniyyah fi syarhil Arba’in an-Nawawiyyah,
Ismail bin Muhammad al-Anshariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah 1/ 22)
Dengan ini, kita mengetahu bahwa istiqamah itu berlaku bagi
hati dan anggota badan. Kaidah yang telah dipahami bersama bahwa kebaikan hati
berbuah kebaikan amalan. Demikian pula, istiqamah hati akan menghasilkan
istiqamah anggota badan.
Lalu bagaimana hati itu bisa istiqamah?
Mari kita lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
– semoga Allah merahmatinya – berikut ini:
“Dan kelurusan (istiqamah) hati itu dengan dua hal:
Pertama: kecintaan kepada Allah didahulukan di
atas segala jenis kecintaan.
Kemudian, apabila terjadi pertentangan antara cinta Allah
Ta’ala dan cinta yang selain-Nya, cinta kepada Allah mendahului cinta yang
selain-Nya. Sehingga ia melaksanakan konsekuensi dari cinta itu.
Dan betapa mudahnya pengakuan seperti ini dan betapa sulit
mengamalkannya. Ketika ujian datang(menguji cinta kepada-Nya), seseorang akan
dimuliakan atau dihinakan. Betapa banyak hamba (ketika datang ujian)
mendahulukan apa yang dicintainya dan disenangi hawa nafsunya atau dicintai
pembesarnya atau pimpinannya atau syaikhnya atau keluarganya, di atas apa yang Allah cintai.
Hamba yang seperti ini belum mengedepankan cinta kepada Allah
di atas segala jenis cinta. Ia belum memutuskan sesuatu berdasarkan rasa cinta itu dan belum memerintahkan
kepadanya.
Dan sunnatullah terhadap seseorang yang demikian
keadaannya, untuk ia dihalangi dari mencintai-Nya dan menggerakkan kecintaan
atas-Nya. Ia tidak mendapat dari cinta-Nya kecuali dengan susah-payah dan terseok-seok, sebagai balasan
pengedepanan hawa nafsunya dan hawa nafsu dari orang-orang yang ia agungkan
atau yang ia cintai atau mendahulukan kecintaan kepadanya di atas cinta kepada
Allah.
Allah telah benar-benar menghukumi dengan ketentuan yang
tidak bisa dibantah dan ditolak, bahwa: siapa yang mencintai sesuatu
selain-Nya, ia akan diadzab dengannya. Itu suatu keharusan.
Siapa yang takut kepada selain-Nya, Dia kuasakan sesuatu itu
atasnya. Dan siapa yang tersibukkan dengan sesuatu dari selain-Nya, maka itu
kemalangan atasnya.
Siapa yang mengutamakan yang selain-Nya di atas
mengutamakan-Nya, tidak diturunkan barakah padanya. Siapa yang mencari ridha
selain-Nya dengan (sesuatu yang menimbulkan) kemurkaan-Nya, Dia pasti
memurkainya. Dan ini suatu kemestian.
Yang kedua: Hal yang menjadikan hati istiqamah yaitu mengagungkan
perintah dan larangan. Dan itu tumbuh dari pengagungan terhadap yang
memerintah dan melarang.
Sesungguhnya Allah mencela seseorang yang mengagungkan-Nya
namun tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ
لِلَّهِ وَقَاراً ﴿١٣﴾
Mengapa kamu tidak
percaya akan kebesaran Allah?
Q.S. Nuh: 13.
Mereka (ahli tafsir)
menyebutkan tafsir ayat ini yaitu “Mengapa kalian tidak takut kepada kebesaran Allah?”
Dan betapa indah perkataan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah)
tentang pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya: “Yaitu: keduanya
(perintah dan larangan) tidak ditentang dengan mencari rukhsah(keringanan),
tidak dilawan dengan sifat keras dari orang yang berlebihan, dan tidak dibawa
kepada suatu argumentasi yang melemahkan ketundukan (kepada-Nya).”
Dan makna perkataannya “Bahwasannya awal tingkatan
pengagungan Yang Maha Benar – ‘Azza wa Jalla – yaitu mengagungkan perintah dan
larangan-Nya”, yang demikian itu dikarenakan seorang mukmin mengenal Rabbnya
melalui risalah-Nya yang dibawa oleh Rasulullah – shalallahu ‘alaihi wasallam –
kepada seluruh manusia.
Konsekuensi risalah itu: tunduk kepada perintah dan larangan
Rasulullah. Dan itu tidak lain terjadi dengan mengagungkan perintah Allah dan
mengagungkan serta menjauhi larangan-Nya.
Maka, dengan pengagungan seorang mukmin terhadap perintah
Allah dan larangan-Nya, itu menunjukkan pengagungan terhadap yang memberi
perintah dan larangan tersebut.
Dan ia, dengan derajat pengagungan ini, akan termasuk
golongan orang shalih yang dipersaksikan kepada mereka keimanan, pembenaran,
kelurusan akidah, dan terlepas dari kemunafikan yang besar.
Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan suatu perintah
karena dilihat oleh makhluk, mencari posisi dan kedudukan di sisi mereka.
Dan ia bertakwa dari perkara-perkara yang haram karena takut
jatuh kedudukannya di pandangan manusia. Juga, ia takut dari hukuman duniawi
berupa penegakan hukum had yang ditetapkan pembuat syariat – shalallahu ‘alaihi
wasallam – atas pelanggaran dari keharaman.
Sehingga, orang ini, ia melakukan dan meninggalkan suatu
perbuatan bukan karena mengagungkan
perintah dan larangan dan bukan pula untuk mengagungkan pembuat perintah dan
larangan itu.
Kemudian, tanda bagi pengagungan perintah-perintah (pembuat
syari’at):
-
Menjaga waktu dan batasan-batasannya,
-
memeriksa rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan
kesempurnaannya,
-
bersemangat untuk melaksanakan pada waktunya,
-
bersegera kepada(pelaksanaan)nya ketika (datang waktu)
wajibnya,
-
sedih, , dan menyesal sewaktu lepas satu dari hak-hak
perintah itu, seperti: sedih dari ketinggalan shalat berjama’ah.
Dan ia memahami, seandainya diterima shalatnya yang
bersendirian, telah lepas darinya (pahala berjama’ah) dua puluh tujuh kali
lipat.
(Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, hal. 28 – 29)
Kita memohon kepada Allah keteguhan di atas agama-Nya sampai
bertemu dengan-Nya.
0 comments:
Posting Komentar